Milenianews.com, Mata Akademisi – Perkembangan teknologi digital telah mengubah hampir seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk cara manusia memahami agama. Jika pada masa sebelumnya pengetahuan keagamaan terutama diperoleh melalui majelis ilmu, kitab klasik, atau otoritas ulama yang diakui, kini situasinya berubah secara drastis. Ceramah singkat, video berdurasi satu menit, kultum dalam format reel, hingga rekomendasi algoritma media sosial secara perlahan menjadi penentu utama jalur seseorang dalam memahami ajaran agama. Fenomena ini memunculkan pertanyaan-pertanyaan mendalam: apa hakikat pengetahuan keagamaan di era digital? Siapa yang kini dianggap sebagai sumber kebenaran? Bagaimana realitas beragama terbentuk ketika algoritma justru menjadi penentu arah pencarian pengetahuan?
Baca juga: Epistemologi Sebagai Fondasi Integratif Dalam Pendidikan Islam Modern
Filsuf ilmu pengetahuan Karl Popper menyatakan bahwa pengetahuan pada hakikatnya selalu terbuka terhadap kritik dan tidak pernah absolut. Sementara itu, sosiolog pengetahuan Peter L Berger menjelaskan bahwa realitas sosial, termasuk realitas agama, terbentuk melalui proses konstruksi sosial yang terus bergerak mengikuti dinamika masyarakat. Kedua gagasan ini menjadi sangat relevan ketika pengetahuan agama kini diproduksi, ditafsirkan, dan disebarluaskan melalui platform digital yang memiliki logikanya sendiri. Karena itu, pembahasan mengenai ontologi pengetahuan keagamaan pada masa kini tidak dapat dilepaskan dari interaksi antara manusia, teks agama, dan algoritma.
Ontologi pengetahuan keagamaan: Dari teks klasik ke ruang digital
Ontologi ilmu pengetahuan berusaha menjawab apa yang dianggap ada, real, atau layak disebut sebagai pengetahuan. Dalam tradisi keagamaan klasik, sumber pengetahuan biasanya merujuk pada kitab suci, hadis, kitab turats, serta pandangan ulama otoritatif. Namun sebagaimana dikemukakan oleh Clifford Geertz, agama merupakan sistem makna budaya yang ditafsirkan secara sosial. Artinya, pengetahuan keagamaan tidak pernah berdiri sebagai teks semata, melainkan selalu terkait dengan cara masyarakat memaknainya.
Kehadiran ruang digital memperluas dan mengubah ontologi ini. Teks asli tidak lagi berdiri sendiri sebagai pusat rujukan karena penjelasan ulama bukan lagi satu-satunya otoritas. Konten digital seperti potongan ceramah, caption singkat, meme religius, hingga video animasi kini ikut membentuk pemahaman masyarakat terhadap ajaran agama. Dalam praktiknya, sesuatu sering dianggap sebagai “pengetahuan agama” bukan lagi karena bersumber dari otoritas ilmiah, melainkan karena konten tersebut viral, memiliki jutaan penonton, atau sering direkomendasikan algoritma.
Pandangan Manuel Castells tentang masyarakat jaringan (network society) menggambarkan fenomena ini dengan tepat: otoritas bergeser dari lembaga formal menuju flows, yaitu arus informasi yang terus bergerak. Karena itu, ceramah berdurasi 30 detik yang viral dapat memiliki pengaruh lebih besar daripada kuliah keagamaan berdurasi dua jam, apabila ia berada di tengah arus informasi digital yang kuat.
Algoritma sebagai agen ontologis baru
Salah satu fenomena paling menarik dalam era digital adalah munculnya algoritma sebagai aktor non-manusia yang ikut menentukan apa yang dianggap penting, benar, relevan, atau layak dipercaya. Mengacu pada teori Actor Network dari Bruno Latour, teknologi bukan sekadar alat pasif, melainkan agen yang mampu memengaruhi tindakan manusia. Dalam konteks ini, algoritma media sosial telah berperan sebagai agen ontologis baru yang ikut membentuk realitas pengetahuan keagamaan.
Algoritma membentuk realitas beragama dengan berbagai cara. Pertama, konten yang paling sering ditonton sering kali dianggap paling benar. Misalnya, pada platform TikTok atau YouTube, sistem rekomendasi akan memperlihatkan video ceramah yang memiliki interaksi tinggi. Penonton kemudian mengira bahwa ceramah tersebut adalah yang paling valid secara keagamaan. Kedua, para pengguna masuk dalam “ruang gema” (echo chamber) sebagaimana dijelaskan Eli Pariser, yaitu kondisi ketika seseorang hanya terekspos pada informasi yang sesuai dengan preferensinya saja. Ketiga, algoritma tidak hanya mengikuti preferensi pengguna, tetapi juga membentuk preferensi tersebut. Banyak pengguna tidak sengaja mencari sebuah ceramah; ceramah itu justru muncul karena algoritma menilai konten tersebut menguntungkan untuk ditayangkan.
Potret terkini dalam lanskap digital keagamaan
Pada lanskap digital keagamaan masa kini, laporan Kominfo menunjukkan meningkatnya distribusi dakwah ultra-singkat di platform seperti TikTok dan YouTube Shorts. Konten seperti “Hukum pacaran dalam 30 detik” atau “Cara cepat mendapatkan pahala besar” menjadi tren karena mudah dicerna dan sesuai pola konsumsi generasi digital. Namun, tren ini memunculkan tantangan epistemik: banyak konten memotong konteks fiqih secara ekstrem sehingga menghasilkan pemahaman yang kurang utuh.
Selain itu, berkembang pula fenomena AI generated religious content, yakni video dakwah yang sepenuhnya diproduksi kecerdasan buatan tanpa keterlibatan ulama. Beberapa di antaranya justru mendapat jutaan penonton, menunjukkan bahwa algoritma hari ini tidak hanya menyebarkan konten tetapi juga menciptakan otoritas.
Transformasi otoritas keagamaan: Dari ulama ke influencer
Menurut José Casanova, era modern ditandai dengan deprivatisasi agama, yaitu meningkatnya kehadiran agama dalam ruang publik. Namun, media sosial menghadirkan aktor baru: influencer religius. Mereka tidak selalu memiliki pendidikan agama formal, tetapi memiliki kemampuan komunikasi yang kuat, visual yang menarik, dan wawasan digital yang lebih luas dibandingkan para ulama tradisional. Perubahan ini menciptakan pergeseran ontologis besar. Seseorang kini dianggap sebagai “otoritas agama” bukan karena kedalaman ilmu, melainkan karena kemampuan membangun citra, menghadirkan narasi yang mudah dipahami, dan menguasai algoritma media sosial. Banyak figur TikTok atau Instagram memberikan fatwa singkat yang kemudian diikuti luas, meskipun substansinya kadang bertentangan dengan kitab-kitab rujukan klasik.
Di Indonesia, tahun 2025 ditandai meningkatnya jumlah da’i entertainer yang menggabungkan dakwah dengan vlog harian, komedi, atau drama pendek. Beberapa dari mereka bahkan merilis merchandise dan membangun komunitas penggemar, sehingga agama tidak hanya menjadi ajaran, tetapi juga bagian dari industri hiburan. Hal ini memperlihatkan bagaimana batas antara dakwah dan komersialisasi menjadi semakin tipis.
Realitas beragama di era digital: Antara peluang dan risiko
Era digital menghadirkan peluang besar bagi perkembangan pengetahuan agama. Akses terhadap ilmu menjadi lebih luas karena ceramah ulama dari berbagai negara dapat ditonton tanpa batasan ruang dan waktu. Pengetahuan agama menjadi lebih demokratis karena seluruh masyarakat dapat mempelajarinya secara mandiri. Selain itu, dakwah kreatif dalam bentuk animasi, podcast, atau diskusi interaktif membuat ajaran agama lebih mudah dipahami oleh generasi muda.
Namun, peluang tersebut juga diiringi berbagai risiko. Salah satunya adalah simplifikasi berlebihan. Pengetahuan agama yang kompleks sering disederhanakan secara ekstrem agar cocok dengan format video singkat. Fragmentasi otoritas juga menjadi masalah besar, karena tidak ada standar untuk menentukan siapa yang layak memberikan tafsir agama. Polarisasi meningkat ketika konten keras atau sensasional lebih mendapat perhatian. Selain itu, agama berpotensi mengalami komodifikasi karena dijadikan konten untuk memperoleh interaksi, bukan untuk mencapai kebenaran.
Menuju pemahaman ontologis baru
Baca juga: Ilmu, Keyakinan, Dan Pencarian Makna
Untuk memahami hakikat pengetahuan keagamaan di era digital, diperlukan paradigma baru. Masyarakat perlu menerima bahwa realitas digital kini menjadi bagian dari realitas ontologis manusia modern. Media bukan sekadar wadah penyampaian pesan, tetapi pembentuk makna. Institusi keagamaan perlu memadukan otoritas tradisional dengan pendekatan digital. Ulama harus mampu menghadirkan ilmu yang mendalam namun tetap relevan dan menarik di ruang publik digital. Masyarakat pun harus meningkatkan literasi digital keagamaan, yaitu kemampuan membedakan antara ajaran yang ilmiah dengan konten populer semata. Selain itu, algoritma tidak perlu dipandang sebagai ancaman, tetapi sebagai lingkungan epistemik baru yang harus dipahami dan dikelola.
Ontologi pengetahuan keagamaan di era digital telah berubah secara signifikan karena ceramah singkat, konten viral, dan algoritma yang membentuk cara masyarakat memahami agama. Konstruksi makna keagamaan kini banyak terjadi di ruang digital, sehingga tantangan terbesar adalah menjaga kedalaman ajaran di tengah arus informasi yang cepat dan sering dangkal. Era digital bukan hanya menjadi media dakwah, tetapi juga ruang yang membentuk ulang pengetahuan agama melalui interaksi antara manusia, teks, budaya, dan algoritma. Dalam situasi ini, penting untuk tetap kritis serta bijak dalam bersosial media dan memanfaatkan teknologi agar pemahaman keagamaan tetap kokoh dan bermakna.
Penulis: Tilka Ayatul, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.













