Tafsir Bil Ma’tsur Dalam Menghadapi Tren FOMO (Tiger Parenting)

Bil matsur

Milenianews.com, Mata Akademisi – Di tengah hiruk-pikuk dunia digital yang melahirkan generasi yang cemas generasi yang terus diterpa rasa takut ketinggalan (Fomo) akan tren, informasi, dan pengalaman sebuah disiplin ilmu klasik justru muncul sebagai penawar yang relevan: Tafsir bil Ma’tsur. Metode penafsiran Al-Qur’an yang berdiri kokoh di atas prinsip verifikasi sumber (sanad) dan pemahaman konteks (asbabun nuzul) ini, rupanya bukan hanya sekadar warisan akademis. Ia menawarkan semacam “vaksin intelektual” yang tepat sasaran untuk melawan kegelisahan modern. Dalam dunia di mana informasi yang tidak tersaring dan perbandingan sosial yang tidak sehat menjadi pemicu utama kecemasan, prinsip untuk tidak tergesa-gesa mempercayai sebuah informasi sebagaimana tercermin dalam penafsiran Q.S. An-Nisa’: 83 yang mengajarkan kita untuk membangun sistem imun. Lebih dari itu, kebiasaan untuk merujuk pada ahli, yang menjadi jiwa dari metode ini, melatih kita untuk berhenti sekadar “ikut-ikutan” dan beralih pada pengambilan keputusan yang didasarkan pada pertimbangan yang matang dari sumber yang terpercaya. pendekatan tafsir bil ma’tsur tidak hanya menyembuhkan gejala fomo, tetapi membangun ketahanan mental spiritual yang membuat seseorang mampu hidup lebih tenang dan bermakna di tengah hiruk-pikuk dunia digital.

Baca juga: Peran Mahasiswa dalam Bela Negara Melalui Literasi Digital

Fenomena tiger parenting membuat para remaja merasa ketakutan untuk tertinggal secara akademik dikarenakan ketatnya orang tua dalam pendidikan.Mereka yang hidup dengan aturan ketat justru mencari pelarian ke media sosial, namun malah terjerumus dalam perbandingan sosial yang memperparah kecemasan. Kontrol berlebihan dari orang tua tanpa pemahaman literasi digital menciptakan paradoks: anak dikekang di dunia nyata namun dibiarkan terpapar standar kesuksesan tidak realistis di dunia maya. Pola asuh kaku yang hanya menekankan pencapaian material tanpa pendekatan spiritual justru memicu krisis identitas dan rasa tidak percaya diri. Dampaknya, remaja kehilangan kemampuan menikmati proses belajar dan terus-menerus merasa tidak cukup baik dibandingkan orang lain.

Fenomena ini dalam realitas kontemporer melahirkan bentuk khusus fomo yang terwujud dalam kecemasan akademis remaja, di mana mereka terus-menerus merasa tertinggal pencapaian dari rekan sebayanya. Melalui lensa Tafsir bil Ma’tsur, kondisi ini dapat dipahami dengan pendekatan asbabun nuzul yang menekankan pemahaman konteks sebagai prasyarat penafsiran. Praktik pengasuhan ketat yang diterapkan tanpa mempertimbangkan realitas era digital di mana remaja hidup dalam bombardir standar kesuksesan artifisial di media sosial menjadi ibarat menafsirkan teks suci dengan mengabaikan latar historis pewahyuan. Sementara itu, prinsip sanad yang tercermin dalam Q.S. An-Nisa’: 83 tentang verifikasi sumber informasi menemukan relevansinya dalam sikap remaja korban tiger parenting yang cenderung mudah menyerap dan menyebarkan konten tanpa filter di dunia maya. Dengan demikian, akar persoalan fomo dalam pola asuh otoriter ini bersumber dari kegagalan memahami konteks zaman dan lemahnya budaya verifikasi informasi.

Solusi fundamental terhadap persoalan ini terletak pada penerapan prinsip merujuk ahli yang secara implisit terkandung dalam kedua kerangka pemikiran tersebut. Rekomendasi peningkatan literasi digital dan dialog terbuka bagi orang tua berjalan seiring dengan pesan Q.S. An-Nisa’: 83 tentang konsultasi kepada ulil amri dalam memverifikasi informasi. Dalam konteks tiger parenting, prinsip ini mengajak transformasi pola asuh dari pendekatan “salin-tempel” yang kaku menuju pengasuhan berbasis ilmu dengan berkonsultasi kepada psikolog dan pakar pendidikan. Bagi remaja, internalisasi prinsip ini melatih kecakapan kritis dalam memverifikasi setiap informasi di media sosial sebelum menerimanya, sehingga terhindar dari jebakan perbandingan sosial tidak sehat. Dengan menggunakan psikologi fomo dalam pendidikan, anak dan orang tua bisa mengembangkan ketahanan mental dan menggunakan fomo sebagai ancaman bagi mental dan mengubahnya menjadi peluang untuk perkembangan mental dan hidup sehat. Menurut Ibn Katsir, parenting Islam dalam Q.S Luqman ayat 13-19 mengarah kepada keseimbangan dan keutuhan dalam konseptualisasi, tauhid, akhlak, dan ibadah.

Menurut penafsiran Ibnu Katsir konsep parenting Islami yang terkandung dalam Q.S Luqman ayat 13-19 menekankan pendekatan yang seimbang dan holistik, mencakup aspek tauhid, akhlak, ibadah, dan sosial. Hal ini bertolak belakang dengan tren fomo (Fear of Missing Out) yang mendorong sebagian orang tua menerapkan tiger parenting pola asuh otoriter yang terobsesi pada prestasi akademis dan kompetisi duniawi, seringkali mengabaikan perkembangan emosional dan spiritual anak. Melalui tafsir bil ma’tsur, yang bersumber dari riwayat sahih dan penjelasan para sahabat serta tabi’in, kita memahami bahwa Luqman al-Hakim justru mengajarkan pentingnya keteladanan, komunikasi yang santun, kesadaran akan pengawasan Allah (muraqabah), serta keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat. Dengan merujuk pada tafsir yang otentik ini, orang tua Muslim dapat menghindari tekanan fomo yang berpotensi merusak fitrah anak, serta kembali pada pedoman Qur’ani yang tidak hanya menuntut anak berprestasi, tetapi juga membentuknya menjadi pribadi yang beriman, berakhlak mulia, dan memiliki ketenangan batin di tengah arus modernitas.

Konsep parenting dalam Q.S. Luqman ayat 13-19 dapat diperkuat dengan hadis yang mengutip riwayat dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: “Muliakanlah anak-anakmu dan perbaguslah akhlak mereka” (HR. Ibnu Majah). Hadis ini menekankan pentingnya menghormati anak sebagai individu dan memperbaiki akhlak mereka melalui keteladanan dan komunikasi yang baik, bukan melalui tekanan atau tuntutan berlebihan. Dengan merujuk pada sanad yang sahih ini, dapat disimpulkan bahwa parenting Islami sangat menekankan keseimbangan antara bimbingan spiritual, pembinaan akhlak, dan komunikasi yang penuh kasih sebuah pendekatan yang bertolak belakang dengan tiger parenting yang hanya fokus pada prestasi duniawi dan mengabaikan kebutuhan emosional serta spiritual anak.

Baca juga: Maqāshid Di Era Digital: Kerangka Tafsir Hidup Yusuf al-Qaradawi

Oleh karena itu, merujuk kepada pendekatan tafsir bil ma’tsur yang bersumber kepada Al-Qur’an, Hadist, serta riwayat-riwayat yang meliputi sahih, kita bisa memahami bahwa fenomena fomo yang sering di dalam pengasuhan itu memicu ‘tiger parenting’ adalah jauh panggang dari prinsip pendidikan Islam yang dikukuhkan Luqman al-Hakim serta dicontohkan oleh Rasullullah SAW. Parenting Islami itu bukan merupakan proses pengasuhan yang sekadar meniru tren, patut mengukir prestasi, dan bersaing, tetapi merupakan proses pengasuhan yang merupakan penanaman tauhid dikombinasi akhlak yang baik, serta komunikasi yang mengedepankan hikmah yang memanusiakan anak, dan mendengarkan suara hati mereka, serta mengutamakan piety di atas pareto, yaitu ketakutan untuk tidak mendapatkan sesuatu dari usaha yang keras karena akan tertinggal dalam sesuatu di dunia. Dalam kerangka tafsir bil ma’tsur, orang tua diharapkan untuk tidak antifragi dalam memberikan pengasuhan, dan memberikan pengasuhan yang seutuhnya, yaitu mengasuh dengan ikhlas hati, memberikan cinta dengan kasih sayang, dan mendampingi mereka untuk mengemban nilai-nilai yang ilahiyah yang akan abadi dalam sepanjang waktu.

Penulis: Felgia Riani, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *