Epistemologi dan Prosedur Operasional Tafsir Maudhu’i: Studi Komparatif antara Konsep Al-Farmawi dan Kontribusi Sarjana Kontemporer

Tafsir Maudhui

Milenianews.com, Mata Akademisi – Tafsir maudhu’i berkembang sebagai jawaban atas kebutuhan untuk merumuskan solusi yang komprehensif dari Al-Qur’an terhadap persoalan-persoalan aktual, baik di ranah teologi maupun sosial-budaya. Abdullah Hayy Al-Farmawi (1977) dianggap sebagai perumus metodologi sistematisnya melalui empat langkah operasional, dengan landasan epistemologi yang bertujuan menangkap pandangan Al-Qur’an secara utuh dan objektif lewat penghimpunan serta analisis menyeluruh terhadap semua ayat terkait tema tertentu.

Baca juga: Metode Talaqqi Wa Musyafahah dalam Pengajaran Modern: “Relevansi Pendekatan Syaikh Aiman Rusydi Suwaid”

Seiring waktu, metodologi Al-Farmawi tidak hanya diaplikasikan tetapi juga dikritisi dan dimodifikasi oleh sarjana kontemporer sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tuntutan zaman. Pertanyaan kunci yang diajukan adalah: Bagaimana prinsip epistemologis dan tahapan metodologis tafsir maudhu’i versi Al-Farmawi, serta bagaimana pengembangan dan penyempurnaannya dalam pemikiran sarjana masa kini? Kajian ini penting untuk melacak evolusi metode penafsiran tematik dan mengidentifikasi arah perkembangannya ke depan.

Epistemologi Abdullah Hayy Al-Farmawi

Didasarkan pada dua prinsip fundamental yang bersifat tekstual-sistematis. Pertama, prinsip internal teks (al-Qur’an yufassiru ba’duhu ba’dan), yang menegaskan bahwa kebenaran dan keutuhan makna Al-Qur’an hanya dapat diakses dengan menyandingkan dan mendialogkan seluruh bagiannya yang relevan, sehingga Al-Qur’an diyakini mampu “menjelaskan dirinya sendiri”. Kedua, untuk menghindari subjektivitas dan penafsiran yang keliru (tafsir bi al-ra’y al-madzmum), diperlukan penerapan prosedur baku yang ketat, terstruktur, dan dapat direplikasi. Melalui metode ini, Al-Farmawi meyakini bahwa penafsir dapat mendekati maksud objektif Al-Qur’an mengenai suatu tema, dengan menempatkan otoritas utama pada teks yang diolah melalui sistem metodologis yang sistematis.

Sarjana Kontemporer: Elaborasi Epistemologi Kontekstual-Kritis

Sarjana seperti M. Quraish Shihab (Membumikan Al-Qur’an, 1992) dan Nashruddin Baidan (Rekonstruksi Ilmu Tafsir, 2000) tidak menolak pilar epistemologis Farmawi, tetapi memperluasnya. Kontekstualisasi sebagai Kebutuhan Epistemik: Shihab menekankan bahwa pemahaman holistik tidak cukup hanya dengan kompilasi teks, tetapi juga dengan memahami konteks turunnya ayat (asbab al-nuzul) dan konteks masyarakat di mana tafsir itu akan diaplikasikan. Epistemologi menjadi dialog antara teks dan realitas (al-waqi’).

Kritisisme terhadap Klaim Objektivitas: Baidan dan lainnya mengakui bahwa subjektivitas tidak dapat dihilangkan sepenuhnya, mulai dari pemilihan tema, batasan keterkaitan ayat, hingga penyusunan kerangka kesimpulan. Epistemologi mereka lebih reflektif-kritis, dengan menyadari bahwa hasil tafsir maudhu’i adalah produk interaksi antara teks, metodologi, dan konteks pemahaman penafsir (horizon of understanding). Mereka tidak lagi berpretensi mencapai satu makna objektif tunggal, tetapi lebih pada konstruksi pemahaman yang argumentatif dan kontekstual.

Prosedur Operasional

Tafsir Maudhu’i menunjukkan perbedaan signifikan antara konsep Abdullah Hayy Al-Farmawi dan kontribusi sarjana kontemporer seperti Quraish Shihab dan Nashruddin Baidan. Pada tahap pertama, penentuan tema, Al-Farmawi memilih tema yang bisa bersifat murni Qur’ani seperti iman dan tauhid, atau aktual untuk merespons kebutuhan masa kini, namun tanpa detail kriteria pemilihan yang mendalam. Sebaliknya, sarjana kontemporer menekankan pemilihan berdasarkan urgensi sosial dan relevansi untuk menjawab keraguan umat, memberikan rasionalisasi epistemik yang lebih kuat dan kurang teknis. Untuk tahap kedua dan ketiga, pengumpulan dan penyusunan ayat, Al-Farmawi mengumpulkan ayat terkait secara maksimal dan menyusunnya berdasarkan urutan turunnya (tartib nuzuli) untuk melihat perkembangan kronologis pewahyuan.

Sarjana kontemporer menerima pengumpulan maksimal namun mengkritik tartib nuzuli yang kaku, karena dapat mengaburkan konteks sosiologis lebih luas seperti periode Makkiyah versus Madaniyah; mereka lebih menekankan pengelompokan berdasarkan sub-tema atau aspek pembahasan untuk analisis sistematis, serta melibatkan ilmu-ilmu sosial seperti sejarah dan sosiologi melampaui analisis kebahasaan klasik. Pada tahap keempat, penyusunan kesimpulan (tadwin al-bahth), Al-Farmawi menyusun hasil secara sistematis dan deskriptif.

Sarjana kontemporer mengembangkan tahap ini lebih lanjut dengan menekankan kontekstualisasi dan aktualisasi implikasi kesimpulan teoretis ke konteks kekinian (seperti konsep “membumikan” Shihab), penyusunan kerangka teoritis awal untuk proses yang lebih terarah dan kritis, serta transparansi subjektivitas penafsir agar produk tafsir dapat dikritisi secara adil. Perbedaan ini menunjukkan bahwa sarjana kontemporer menambahkan elemen kritis dan interdisipliner yang membuat prosedur lebih komprehensif dibandingkan Al-Farmawi.

Analisis Komparatif dan Sintesis

Berdasarkan perbandingan tersebut, terdapat dua pergeseran epistemologis utama. Pertama, pergeseran dari pendekatan prosedural menuju aplikatif-kontekstual. Jika epistemologi Al-Farmawi berfokus pada aspek teknis “bagaimana” menafsirkan teks, sarjana kontemporer memperluasnya dengan pertanyaan “untuk apa” dan “dalam konteks apa”, sehingga orientasi penafsiran bergeser dari sekadar memahami teks menjadi menghasilkan pemahaman yang aplikatif dan relevan dengan kehidupan. Kedua, pergeseran dari objektivitas naif ke objektivitas kritis.

Al-Farmawi meminimalkan subjektivitas melalui prosedur baku, sementara sarjana kontemporer menyadari bahwa subjektivitas tak terelakkan, lalu mengelolanya dengan kerangka teori yang jelas, kontekstualisasi yang argumentatif, dan transparansi metodologis. Kedua pendekatan ini bersifat saling melengkapi: kerangka metodis Al-Farmawi mencegah penafsiran menjadi liar dan spekulatif, sedangkan elaborasi kontemporer mencegahnya menjadi mekanistis dan terisolasi dari realitas. Dengan demikian, epistemologi yang berkembang merupakan sintesis antara kesetiaan pada teks melalui metode sistematis dan relevansi bagi konteks melalui pendekatan kritis-kontekstual.

Baca juga: Sumatera Berduka: Kerusakan Lingkungan sebagai Konsekuensi Moral Peradaban

Studi komparatif ini mengungkap bahwa tafsir maudhu’i adalah metodologi yang hidup dan dinamis. Abdullah Hayy Al-Farmawi telah memberikan fondasi epistemologis dan procedural yang indispensable dengan menekankan prinsip penyandingan internal teks dan sistematisasi tahapan. Namun, sarjana kontemporer seperti M. Quraish Shihab dan Nashruddin Baidan telah berhasil memperkaya, mengkritisi, dan mengembangkan metodologi tersebut.

Mereka memperkuat landasan epistemologisnya dengan kesadaran kontekstual dan kritisisme, serta melenturkan dan mempertajam prosedur operasionalnya, terutama dalam hal pengelompokan ayat, penggunaan teori, dan penyusunan kesimpulan yang aplikatif. Pergeseran ini merefleksikan kebutuhan zaman akan tafsir yang tidak hanya benar secara metodologis tetapi juga relevan dan transformatif secara sosial. Dengan demikian, epistemologi tafsir maudhu’i terus berevolusi dari sebuah metode memahami teks menuju sebuah paradigma untuk berinteraksi dengan realitas melalui teks.

Penulis: Zazkia Fatimah Azzahra, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *