Sumatera Berduka: Kerusakan Lingkungan sebagai Konsekuensi Moral Peradaban

Sumatera

Milenianews.com, Mata Akademisi – Istilah ‘manusia’ dan ‘lingkungan’ merupakan dua kata yang tidak dapat dipisahkan dan saling mempengaruhi. Pengaruh alam terhadap manusia bersifat pasif, sedangkan pengaruh manusia terhadap alam bersifat aktif. Dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, aktifitas yang dilakukan manusia terhadap alam selalu menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan itu sendiri. Seperti halnya modernisasi pada abad ini telah berkembang pesat dalam bidang teknologi dan industri. Namun perkembangan ini sering tidak diimbangi dengan nilai-nilai tanggung jawab dan ketaatan terhadap prinsip keberlanjutan. Pada hakikatnya kerusakan lingkungan ini bukan hanya persoalan ekologis, tetapi merupakan cerminan dari konsekuensi moral peradaban manusia yang kehilangan keseimbangan spiritual dan etika. Sebagaimana yang sedang terjadi belakangan ini, banjir bandang yang hampir bisa disebut tsunami dan tanah longsor kian melanda pulau Sumatera yang kita ketahui kaya akan sumber daya alam nya.

Baca juga: Ekoteologi Perspektif Syekh Nawawi al-Bantani

Untuk mencari solusi dari permasalahan ini kita harus mengetahui apa akar masalah dari kerusakan ini. Faktor terjadinya bisa dari dua hal, yaitu faktor alam dan sosial. Faktor alam meliputi curah hujan yang tinggi dan badai siklon tropis yang terjadi di bagian utara pulau Sumatera. Faktor sosial meliputi perbuatan manusia yang tamak. Ironisnya, meskipun sudah diketahui menjadi faktor penyebab permasalahan ini, sikap tamak itu seringkali melekat dalam diri manusia. Dalam kasus ini, Sumatera sedang berduka. Kekayaan alam yang ada seringkali dianggap sebagai sumber kehidupan yang dapat dieksploitasi sepuasnya dan dikendalikan demi kesejahteraan manusia. Jika ditanya apakah itu akibat dari ulah manusia, maka jawabannya tentu saja. Bagaimana tidak, melihat kejadian sekumpulan kayu pohon yang sudah dipotong dan dikuliti dengan rapi, lalu diberi nomor sesuai dengan urutan, semuanya hanyut dan mengambang diatas permukaan air.

Kejadian ini membuktikan bahwa oknum tak bertanggung jawab lah yang menjadi pemeran utama dalam pembalakan liar yang jumlahnya sangat besar. Hal ini disebut dengan deforestasi. Deforestasi ini menyebabkan hutan yang seharusnya menjadi spons penyerap air, tetapi air malah tidak menyerap kedalam tanah dan langsung meluncur liar menjadi air bah. Selain itu, mengakibatkan berkurangnya kemampuan bumi untuk menyerap kembali karbondioksida dari atmosfer. Dampak nya selain banjir bandang tentu sangat banyak, serperti hal nya satwa yang menggantungkan tempat tinggal nya pada hutan, tentu akan kehilangan. Belum lagi jutaan orang di Negeri ini yang mata pencahariannya ada di hutan, apabila itu terjadi hilang pula mata pencaharian mereka.

Krisis lingkungan yang terjadi hari ini memperlihatkan bagaimana kerusakan ekologis merupakan gejala dari penyakit batin. Ketika peradaban menjadikan nafsu, ketamakan, dan kenyamanan materi sebagai tujuan utama, nilai-nilai spiritual seperti syukur, amanah, dan kesederhanaan perlahan memudar. Merujuk kepada Q.S. Ar-Rum ayat 41, Sayyid Qutb, seorang ahli tafsir era modern menyampaikan pendapat dalam karyanya yang berjudul Tafsir fi Zhilalil Qur’an. Ia menyatakan bahwa “kerusakan” pada ayat ini menunjukkan bahwa segala bentuk kerusakan alam adalah akibat langsung dari tindakan konsumtif manusia yang melampaui batas dan tidak sesuai kebutuhan, baik secara moral maupun ekologis. Hal ini sangat relevan ketika dikaitkan dengan bencana banjir bandang, tanah longsor, deforestasi, dan punahnya berbagai spesies.

Baca juga: Metode Talaqqi Wa Musyafahah dalam Pengajaran Modern: “Relevansi Pendekatan Syaikh Aiman Rusydi Suwaid”

Fenomena ini menunjukkan bahwa peradaban yang kehilangan kendali moral akhirnya menghasilkan lingkungan yang semakin rusak dan tidak seimbang. Dengan demikian, terjadinya peristiwa besar ini adalah konsekuensi atas tingkah laku manusia yang tidak bermoral. Sebagai manusia yang berakal dan berpendidikan, kita harus menyadari bahwa sebuah peradaban yang abai terhadap tanggung jawab dan moral, pada akhirnya akan menciptakan lingkungan hidup yang rusak, tidak stabil, dan penuh bencana bagi dirinya sendiri. Dengan kata lain, kerusakan di luar (lingkungan) adalah refleksi dari kerusakan di dalam (moral dan spiritual) peradaban tersebut. Solusi mendasar untuk krisis lingkungan tidak bisa hanya bersifat teknis seperti reboisasi atau teknologi ramah lingkungan, tetapi harus membenahi karakter dan nilai-nilai peradaban itu sendiri, yaitu dengan mengembalikan keseimbangan spiritual, kepedulian, dan rasa tanggung jawab terhadap alam.

Penulis: Siti Nur Kamila, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *