Amanah dan Keadilan: Meninjau Ulang Sistem Politik di Indonesia Melalui Lensa Tafsir Al-Maraghi

Amanah dan Keadilan

Milenianews.com, Mata Akademisi – Demokrasi di Indonesia berlandaskan prinsip bahwa kedaulatan tertinggi dipegang oleh rakyat, yang tercermin melalui kesetaraan hak setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan politik, termasuk kebebasan memilih pemimpin dan perlindungan hak-hak konstitusional dalam Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai landasan ideologis, Pancasila mengarahkan pelaksanaan demokrasi dengan menekankan musyawarah mencapai mufakat, semangat kebersamaan, serta penghormatan terhadap hak asasi manusia dan keadilan sosial, sehingga demokrasi diposisikan tidak hanya sebagai mekanisme pemilihan umum tetapi juga sebagai sistem nilai yang menegakkan kemanusiaan dan persatuan dalam keberagaman.

Sistem politik Indonesia idealnya dijalankan oleh pemimpin yang memegang amanah dengan mendengarkan aspirasi rakyat dan menegakkan hukum secara adil. Pancasila menetapkan penerapan nilai-nilai kebersamaan dan kemanusiaan sebagai cerminan jati diri bangsa, sehingga demokrasi harus berkembang menjadi orientasi bermasyarakat yang inklusif. Pengelolaan kekuasaan dalam kondisi ideal ini bertujuan melindungi hak seluruh warga negara tanpa memandang status sosial mereka.

Baca juga: Kosakata Sains dalam Bingkai Bahasa Arab klasik: Strategi Tantawi Jawhari dalam Memperkenalkan Ilstilah Moden

Realitasnya, pelanggaran amanah oleh pejabat publik telah memicu demonstrasi sebagai bentuk ekspresi ketidakpuasan masyarakat. Kondisi ini diperparah dengan praktik korupsi sistematis, kebijakan fiskal yang memberatkan tanpa diikuti peningkatan fasilitas publik, serta keterbatasan infrastruktur di sektor pendidikan dan transportasi. Masalah stunting yang tinggi, bencana ekologis akibat eksploitasi sumber daya alam ilegal, kemiskinan, nepotisme, dan rendahnya kesejahteraan guru menggambarkan ketidakadilan struktural yang kompleks. Fenomena ini secara kolektif menggerus kepercayaan publik dan mengukuhkan sistem yang cenderung menguntungkan kelompok elite tertentu.

Ahli politik sekaligus cendekiawan muslim, Nurcholish Madjid (Cak Nur), dalam Pidato Politik “Renungan Awal Tahun dan Reformasi” di Jakarta, Rabu (17/1/2001) mengkritik keras krisis moral di Indonesia dimana pemerintah menormalisasikan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang merusak amanah kepemimpinan dan fondasi Pancasila. Ia menekankan bahwa ketimpangan sosial akibat korupsi, kolusi dan nepotisme tersebut harus diberantas melalui penegakan hukum yang adil dengan menjaga keseimbangan hak dan kewajiban serta menghormati orang lain, sesuai nilai keadilan sosial sila kelima Pancasila. Kritik ini relevan hingga kini, dimana keadilan sosial Pancasila yang idealnya menjamin keseimbangan rohani dan materi, justru terhambat oleh maraknya korupsi, kolusi dan nepotisme yang merajalela dan menumpulkan nurani para pemimpin.

Akan tetapi, mufassir Al-Maraghi telah memberikan tafsiran yang menghidupkan dimensi sosial-politik dalam QS. An-Nisa’ ayat 58:

۞ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ ۗ… ٥٨

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil…”

Terkait sebab turunnya ayat tersebut, diceritakan dalam sebuah hadis Riwayat Ibnu Abbas bahwa suatu ketika Nabi Muhammad mengambil kunci ka’bah dari pemegang sahnya, Utsman bin Thalhah. Saat Utsman mengulurkan tangannya, Abbas bin Abdul Muthalib (paman Nabi) meminta kunci ka’bah disatukan dengan jabatan Siqayah (pemberi minum jamaah haji) yang saat itu ia pegang. Maka Utsman menarik kembali tangannya. Perkataan Abbas pun diabaikan oleh Rasulullah, lalu ia mengambil kuncinya, membuka lalu memasuki ka’bah, keluar dan melakukan thawaf. Setelah itu malaikat Jibril turun dan memerintahkan untuk mengembalikan kunci tersebut. Rasulullah pun memanggil Utsman bin Thalhah dan memberinya kembali kunci itu seraya bersabda, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya…” hingga beliau selesai membacakan ayat tersebut.

Baca juga: Konsep Hidayah Menurut Imam al-Mahalli: Analisis Menyeluruh Terhadap Ayat-Ayat Petunjuk dalam Tafsir Jalalain

Kisah ini mengisi kesenjangan dengan menganalisis fondasi kepemimpinan Indonesia melalui tafsir Al-Maraghi guna mengatasi krisis amanah dan ketidakadilan struktural. Tujuan utamanya meliputi perbandingan normatif apa yang seharusnya terjadi menurut wahyu terhadap kenyataan empiris yang ada, serta penyusunan rekomendasi reformasi politik berbasis pelayanan rakyat. Jabatan publik harus diposisikan sebagai amanah Ilahi yang dapat dipertanggungjawabkan, bukan sarana untuk mencari keuntungan atau penguatan kekuasaan semata. Prinsip amanah juga lebih utama daripada nepotisme karena menjamin tanggung jawab dan jujur kepada rakyat, begitu pula keadilan yang harus ditegakkan tanpa pandang bulu untuk mencegah diskriminasi.

Rekonstruksi kepemimpinan di Indonesia yang berlandaskan amanah dan keadilan menjadi langkah strategis dalam memulihkan kepercayaan publik sekaligus mengatasi ketidakadilan struktural yang ada. Upaya ini dapat direalisasikan melalui peningkatan kesadaran kepemimpinan melalui pentingnya integritas kepemimpinan dengan wahyu Allah, penguatan prinsip akuntabilitas amanah dalam Undang-Undang Dasar 1945, serta penerapan nilai keadilan dalam kebijakan publik guna melindungi hak-hak kelompok rentan. Dengan demikian, kekuasaan akan berfungsi sebagai instrumen pelayanan kepada rakyat, sesuai dengan teladan kenabian yang mengedepankan integritas dan keadilan.

Penulis: Imtiyaz Zahirah, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *