Milenianews.com, Mata Akademisi – Ulama memberikan definisi yang saling melengkapi untuk “Qira’at”, yang berasal dari kata “qara’a”, yang berarti “membaca”. Menurut Al-Zarqani, qira’at adalah perbedaan yang ditemukan dalam lafaz Al-Qur’an mengenai huruf dan cara pengucapannya. Imam Syihabuddin al-Qathalani menyebut qira’at sebagai bidang yang menyelidiki kesepakatan dan perbedaan para imam qira’at dalam hal bahasa, i‘rab, hazf, washl, dan aspek lain yang diperoleh melalui periwayatan. Selain itu, Ali al-Sabuni menyatakan bahwa qira’at adalah mazhab bacaan Al-Qur’an yang dinisbahkan kepada para imam Qurra’ melalui sanad yang mutawatir hingga Rasulullah SAW. Oleh karena itu, qira’at dapat dipahami sebagai ilmu yang mempelajari perbedaan cara pengucapan, metode, dan riwayat bacaan Al-Qur’an yang berasal dari para imam Qurra’ dan diwariskan kepada mereka melalui sanad yang mutawatir.
Baca juga: Kontribusi Akun Instagram Maslak Institute dalam Penyebaran Tafsir Modern di Sosial Media
Pembaca Al-Qur’an belakangan ini sering menggabungkan bacaan mereka (talfiq) karena mereka tidak memahami thariq dalam qira’ah, terutama Qira’at “Aṣhim” dengan Riwayat Ḥafṣ, yang dibaca oleh mayoritas muslim di dunia. Sebagai contoh, seseorang membaca saktah dalam bacaan tertentu meskipun ia menggunakan dua harakat mad munfashil, yang seharusnya dibaca dengan idgham daripada saktah.
Salah satu komponen penting dalam menjaga keaslian dan kemutawatiran bacaan Al-Qur’an adalah ilmu qira’at. Imam “Ashim bin Abi al-Najud” adalah salah satu imam qira’at yang paling berpengaruh. Bacaan Imam ‘Ashim menjadi rujukan utama bagi mayoritas umat Muslim di seluruh dunia, berdasarkan riwayat muridnya yang terkenal, Hafs Ibn Sulayman. Imam “Aṣhim” berasal dari Kufah, dan dia adalah salah satu tabi’in yang sangat dihormati. Ia memiliki hafalan yang kuat dan sanad bacaan yang lengkap dan dapat diandalkan. Murid-murid beliau, terutama Hafs dan Syu‘bah, menjadi perantara utama yang menyebarkan metode bacaan beliau ke berbagai wilayah. Bacaan “Ashim” diterima luas oleh ulama dan masyarakat Muslim karena kredibilitas sanad.
Menurut catatan I-Tsing, seorang agamawan dan pengembara China yang menumpang kapal para pedagang muslim Arab dan Persia, kedatangan Islam ke Nusantara diperkirakan sudah terjadi sejak tahun 51 H/671 M. Menurut Chou Ch’u-fei, Sriwijaya berfungsi sebagai pelabuhan penting yang menghubungkan Timur Tengah dan kawasan Timur Jauh sejak lama. Sejak abad ke-7 hingga abad ke-8 M, pedagang Arab, Persia, dan India berdagang dengan masyarakat Nusantara. Pada awal kedatangan orang-orang Muslim dari Arab dan Persia, fokus mereka lebih pada aktivitas ekonomi. Namun, para sufi mulai berlayar sejak abad ke-12 dan aktif menyebarkan Islam di Nusantara. Jika dikaitkan dengan pengaruh Persia, penaklukan Persia oleh Khalifah Umar bin Khattab pada tahun 17 H/637 M menyebabkan banyak orang Persia memeluk Islam dan belajar agama dari ulama di Kufah, yang merupakan pusat qira’at Abdullah bin Mas’ud, guru dari kakek Imam “Ashim.” Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Persia sangat mungkin mempelajari dan membawa qira’at Kufah, termasuk qira’at ‘Ashim riwayat Hafs, ke Wilayah Timur hingga sampai ke Nusantara.
Namun, ada pendapat yang menyatakan bahwa Islam dan qira’at di Nusantara berasal dari India karena ekspansi Muhammad ibn al-Qasim ke India tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tradisi qira’at lokal. Mereka menganggap bahwa pengaruh Persia di India lebih dominan. Oleh karena itu, meskipun pedagang dari Arab, Persia, dan India memiliki kesempatan untuk menyebarkan jenis qira’at ke Nusantara, ulama Persia, karena berada di dekat Kufah dan dekat dengan tradisi qira’at “Ashim”, lebih mungkin untuk memainkan peran penting dalam menyebarkan qira’at “Ashim” riwayat Hafs ke wilayah Nusantara.
Riwayat Hafs ‘an ‘Ashim sangat populer di Timur Tengah dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Di banyak pesantren, lembaga tahfiz, dan sekolah Al-Qur’an, riwayat ini digunakan sebagai dasar untuk mengajar dan membaca Al-Qur’an. Penyebaran yang luas ini menunjukkan betapa besarnya pengaruh Imam “Aṣhim” dalam membangun tradisi bacaan umat Muslim di seluruh dunia.
Dua riwayat utama Imam ‘Aṣhim dalam qira’at adalah Hafs ‘an ‘Aṣhim dan Syu‘bah ‘an ‘Aṣhim. Hingga saat ini, riwayat Hafs masih digunakan paling banyak, terutama karena memiliki fitur yang mudah dibaca, jelas, dan stabil dalam transmisi. Riwayat ini menjadi standar dalam banyak mushaf modern karena sanadnya yang jelas dan periwayatannya yang kuat. Dengan banyaknya mushaf yang dicetak di era modern, riwayat Hafs semakin dominan. Bacaan ini sekarang menjadi standar internasional.
Dalam qira’at ‘Aṣhim riwayat Ḥafṣ, banyak kaidah bacaan yang menjadi ciri khas riwayat ini, meskipun beberapa detail dapat berbeda sesuai jalur (thariq) yang digunakan. Riwayat Ḥafṣ biasanya mencakup pembacaan basmalah diantara dua surah (kecuali antara al-Anfal dan at-Tawbah), penerapan ghunnah sesuai dengan kaidah qira’at pada umumnya, dan aturan tafkhim dan tarqiq huruf yang sesuai dengan standar qira’at yang paling umum. Hadits ini juga menerangkan hamzah waṣl dan hamzah qaṭ’ pada beberapa lafal. Selain itu, riwayat Ḥafṣ membaca beberapa tempat saktah, yang jumlah dan lokasinya dapat berbeda antara jalur periwayatan.
Studi Al Qur’an dan tajwid sangat dipengaruhi oleh riwayat Hafs. Pembelajaran menjadi lebih mudah dan seragam ketika mushaf dan bacaan diatur secara standar. Namun, untuk menghargai keragaman qira’at yang diwariskan oleh ulama klasik, memahami riwayat Hafs harus disertai dengan pemahaman riwayat lain yang juga shahih. Dengan pengetahuan ini, umat Islam dapat mempertahankan pemahaman mereka tentang sejarah dan variasi bacaan asli Al Qur’an, yang membantu menjaga kekayaan khazanah bacaan Al Qur’an. Riwayat Hafs dan Imam ‘Ashim sangat membantu menjaga keaslian bacaan Al Qur’an. Riwayat ini sangat penting dalam tradisi qira’at karena sanadnya yang jelas, mudah dibaca, dan tersebar di seluruh dunia. Dengan memahami fungsi dan dampaknya, kita dapat lebih menghargai kekayaan ilmu qira’at sekaligus meningkatkan kualitas pembacaan Al Qur’an di zaman sekarang.
Singkatnya, qira’at “Ashim” riwayat Hafs berkembang secara resmi di Nusantara baru pada abad ke-20. Ini dibuktikan dengan keberadaan sanad qira’at ulama Nusantara, khususnya KH. Muhammad Moenauwir dan KH. Munawwar. Sanad qira’at tersebut baru diambil dari Makkah al-Mukarramah pada tahun 1909 dan 1920.
Namun, berdasarkan beberapa kesamaan antara qawa’id ushuliyyah dan farsy al-huruf qira’at Al-Qur’an penduduk Nusantara dengan teori-teori qira’at yang terdapat dalam qira’at “Ashim riwayat Hafs”, dapat disimpulkan bahwa mereka membaca Al-Qur’an sejak awal Islam.
Penulis: Wudda Mutiara Agnia, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.













