Hidup di Dunia yang Serba Cepat

Hidup di Dunia yang Serba Cepat

Milenianews.com, Mata Akademisi – Kita hidup di zaman yang serba cepat. Perubahan terjadi hampir di semua aspek kehidupan, mulai dari teknologi, komunikasi, pendidikan, hingga cara manusia berpikir dan mengambil keputusan. Informasi datang tanpa henti melalui gawai, media sosial, dan berbagai platform digital. Segala sesuatu dituntut untuk efisien, instan, dan praktis. Dalam kondisi seperti ini, ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat dan menjadi penopang utama kemajuan peradaban manusia.

Namun, di balik kemajuan tersebut, muncul persoalan mendasar yang sering luput dari perhatian, yaitu sekularisasi ilmu pengetahuan. Sekularisasi bukan berarti menolak agama, melainkan memisahkan ilmu dari nilai-nilai moral, spiritual, dan religius. Ilmu dipahami sebagai sesuatu yang netral, bebas nilai, dan berdiri sendiri tanpa perlu mempertimbangkan makna hidup atau tujuan kemanusiaan. Akibatnya, ilmu berkembang dengan cepat, tetapi tidak selalu sejalan dengan kebaikan dan kebijaksanaan.

Fenomena ini menjadi sangat relevan untuk dikaji melalui perspektif filsafat ilmu, khususnya ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ketiga sudut pandang ini membantu kita memahami bagaimana ilmu memandang realitas, bagaimana pengetahuan diperoleh, serta untuk apa ilmu digunakan. Dengan memahami ketiganya, kita dapat melihat secara lebih utuh dampak sekularisasi ilmu dalam kehidupan manusia di dunia yang serba cepat.

Baca juga: Membongkar Kerumitan, Menyusun Keteraturan: “Terjemah Mulakhos” sebagai Solusi Pembelajaran Nahwu-Sharaf

Ontologi membahas hakikat realitas atau apa yang dianggap benar-benar ada. Dalam dunia modern yang serba cepat, realitas sering kali dipersempit hanya pada hal-hal yang bersifat fisik, material, dan dapat diukur. Sesuatu dianggap nyata apabila dapat dihitung, diuji secara ilmiah, dan dibuktikan secara empiris. Sementara itu, aspek nonmaterial seperti nilai moral, makna hidup, spiritualitas, dan kebijaksanaan batin kerap dianggap subjektif dan tidak ilmiah.

Pandangan ontologis seperti ini sangat memengaruhi cara manusia menjalani kehidupan. Dalam bidang pendidikan, misalnya, keberhasilan sering diukur dari angka, nilai, dan peringkat, bukan dari pembentukan karakter atau akhlak. Dalam dunia kesehatan, manusia kerap dipandang hanya sebagai tubuh biologis yang rusak dan perlu diperbaiki, tanpa memperhatikan kondisi mental dan spiritualnya. Bahkan dalam perkembangan kecerdasan buatan (AI), fokus utama lebih banyak diarahkan pada kecepatan dan akurasi, bukan pada dampak kemanusiaan dan etika.

Sekularisasi ilmu dalam aspek ontologi membuat manusia kehilangan pemahaman bahwa dirinya adalah makhluk yang utuh. Manusia bukan hanya tubuh dan akal, tetapi juga memiliki hati, perasaan, dan tujuan hidup. Ketika realitas dipersempit hanya pada aspek material, ilmu menjadi kering dan kehilangan ruh. Pada titik inilah sekularisasi ilmu pengetahuan menjauhkan manusia dari makna hidup yang sejati.

Epistemologi membahas bagaimana manusia memperoleh pengetahuan dan apa yang dianggap sebagai sumber kebenaran. Dalam ilmu modern, sumber pengetahuan yang diakui umumnya terbatas pada rasionalisme (akal) dan empirisme (pengalaman inderawi). Pengetahuan dianggap benar apabila dapat dibuktikan melalui logika dan data. Metode ini memang membuat ilmu berkembang dengan sangat cepat dan sistematis.

Namun, persoalan muncul ketika sumber pengetahuan lain seperti wahyu, agama, tradisi, intuisi, dan kebijaksanaan moral dianggap tidak relevan atau tidak ilmiah. Akibatnya, manusia cenderung lebih percaya pada data daripada nilai, serta lebih mengandalkan algoritma dibandingkan suara hati. Di era digital, kebenaran sering diukur dari seberapa viral suatu informasi, bukan dari kedalaman makna dan validitasnya.

Fenomena ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Banyak orang lebih percaya pada hasil tes kepribadian di internet daripada refleksi diri yang mendalam. Keputusan penting dalam hidup sering diambil berdasarkan statistik dan tren, bukan berdasarkan pertimbangan etis dan spiritual. Media sosial membentuk pola pikir instan yang membuat manusia semakin jarang merenung dan berpikir kritis.

Sekularisasi ilmu dalam aspek epistemologi membuat pengetahuan kehilangan kedalaman. Ilmu memang menjadi cepat, tetapi dangkal. Padahal, pengetahuan sejati tidak hanya berasal dari data dan logika, melainkan juga dari pengalaman hidup, nasihat orang bijak, serta nilai-nilai agama. Tanpa keseimbangan ini, ilmu gagal memahami manusia sebagai makhluk bermoral dan berjiwa.

Aksiologi membahas nilai dan tujuan dari ilmu pengetahuan. Dalam dunia yang serba cepat, ilmu sering dianggap netral dan bebas nilai. Ilmu dipahami semata-mata sebagai alat, bukan sebagai penunjuk arah. Selama sesuatu dapat dilakukan, maka dianggap sah, tanpa mempertanyakan apakah hal tersebut baik atau buruk bagi manusia dan lingkungan.

Inilah inti dari sekularisasi ilmu pengetahuan dalam aspek aksiologi. Ilmu digunakan untuk mengejar kemajuan, efisiensi, dan keuntungan, tetapi mengabaikan nilai moral dan etika. Dampaknya sangat nyata dalam kehidupan modern. Teknologi mempermudah hidup, tetapi juga membuat manusia merasa kesepian dan kehilangan makna. Media sosial mempercepat penyebaran informasi, tetapi sekaligus menimbulkan kecemasan dan perpecahan. Ilmu ekonomi mengejar pertumbuhan, sementara keadilan sosial dan kelestarian lingkungan sering kali dikorbankan.

Manusia menjadi sangat sibuk mengejar kecepatan hingga lupa bertanya: untuk apa semua ini? Apakah ilmu membawa manusia pada kebahagiaan dan kebaikan, atau justru menjauhkan dari nilai-nilai kemanusiaan? Tanpa arah nilai, ilmu berpotensi menjadi alat yang berbahaya.

Oleh karena itu, ilmu pengetahuan perlu dikembalikan pada tujuan dasarnya, yaitu untuk kemaslahatan manusia. Ilmu tidak cukup hanya cerdas dan cepat, tetapi juga harus bijak dan bermoral. Nilai agama, etika, dan kemanusiaan harus menjadi bagian dari arah penggunaan ilmu.

Baca juga: Mencari Hakikat Kebenaran di Era Viralnya Informasi

Hidup di dunia yang serba cepat memang membawa kemajuan besar dalam ilmu pengetahuan, tetapi juga melahirkan sekularisasi ilmu yang memisahkan ilmu dari nilai moral dan spiritual. Dalam perspektif ontologi, realitas dipersempit hanya pada aspek material. Dalam epistemologi, pengetahuan dibatasi pada data dan logika semata. Sementara dalam aksiologi, ilmu digunakan tanpa arah nilai dan tujuan kemanusiaan.

Padahal, manusia membutuhkan ilmu yang tidak hanya cerdas, tetapi juga bermakna. Ilmu harus mampu menjawab kebutuhan fisik sekaligus spiritual manusia. Di tengah arus kehidupan yang bergerak cepat, tantangan terbesar bukan sekadar mengejar kemajuan, melainkan menjaga agar ilmu tetap memiliki nilai. Dengan mengintegrasikan moral, agama, dan kemanusiaan ke dalam ilmu pengetahuan, kita dapat membangun kehidupan yang bukan hanya lebih cepat, tetapi juga lebih bijak dan bermakna.

Penulis: Emilia Safitri S, Mahasiswa institute ilmu Al-qur’an(IIQ) Jakarta

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *