Milenianews.com, Mata Akademisi – Spiritualitas dalam pandangan Ibn ‘Arabi merupakan perjalanan batin untuk kembali dari kondisi terpisah menuju kesatuan, dari kebingungan menuju pengenalan, serta dari gelap menuju cahaya. Perjalanan ini melampaui kemampuan rasional murni dan menuntut upaya mujahadah melalui ma‘rifah, kasyf (penyingkapan batin), hudur al-qalb (kehadiran hati), muraqabah (kesadaran akan pengawasan Tuhan), serta tazkiyah al-nafs (penyucian jiwa). Melalui dimensi-dimensi inilah kekosongan spiritual dapat dipenuhi. Ibn ‘Arabi bukan hanya membahas kehilangan arah spiritual, tetapi juga membangun kerangka pengetahuan, struktur logika akal, dan hakikat realitas sebagai basis perjalanan ruhani.
Di era modern, manusia hidup dalam kondisi serba cepat, penuh tekanan, distraksi digital, dan kompetisi yang tak kunjung berhenti. Teknologi yang semestinya memudahkan kehidupan justru melahirkan bentuk-bentuk penderitaan baru: stres kronis, kecemasan, kelelahan batin, serta hilangnya arah hidup. Dalam kondisi seperti ini, isu kesehatan mental menjadi fokus utama untuk memulihkan kejernihan hati dan kestabilan emosi. Namun, kesehatan mental tidak dapat ditopang hanya oleh pendekatan medis atau psikologis; ia membutuhkan kekuatan spiritual berupa makna hidup, ketenangan batin, dan hubungan yang mendalam dengan Sang Pencipta. Islam melalui Al-Qur’an dan tradisi tasawuf menawarkan fondasi kuat bahwa ketentraman sejati bersumber dari hati yang tersambung kepada Allah.
Krisis mental health sebagai krisis makna
Generasi Z kelompok yang lahir antara tahun 1997–2012 mengalami tingkat gangguan mental yang belum pernah setinggi ini. WHO mencatat bahwa satu dari tujuh remaja usia 10–19 tahun mengalami masalah kesehatan mental, dengan depresi dan kecemasan sebagai penyebab utama disabilitas pada kelompok usia tersebut. Di Indonesia, laporan Kemenkes RI (2023) menunjukkan bahwa 9,8% remaja memiliki gangguan mental emosional, angka yang meningkat sejak pandemi. Selain itu, durasi screen time yang mencapai 7–9 jam per hari serta tekanan media sosial di mana 45% Gen Z merasa harus tampil sempurna mendorong terbentuknya comparison culture yang merusak konsep diri.
Dalam psikologi modern, depresi dan kecemasan tidak semata-mata dianggap sebagai gejala biologis, tetapi juga manifestasi dari kekosongan makna hidup. Viktor Frankl menggambarkan fenomena ini sebagai existential vacuum—kekosongan eksistensial akibat hilangnya arah hidup. Al-Qur’an telah menggambarkan kondisi ini dalam firman-Nya: “Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh baginya kehidupan yang sempit.” (QS. Ṭāhā 20:124)
Ayat ini menunjukkan bahwa keterputusan dari nilai-nilai spiritual menghasilkan ḥayātan ḍankā kehidupan yang terasa sempit, gelisah, dan penuh tekanan. Banyak orang modern merasakan kehampaan ini meskipun dikelilingi hiburan dan kemudahan teknologi.
1. Ma‘rifah: Inti pengetahuan ruhani
Ma‘rifah adalah pengetahuan batin yang lahir dari pengalaman langsung, bukan dari hafalan atau argumentasi intelektual. Ia berarti mengenal Allah dengan hati, bukan sekadar melalui logika. Dalam tasawuf, akal hanyalah pintu masuk, sedangkan hati adalah tempat cahaya Ilahi bersemayam. Ma‘rifah membuat seseorang memandang realitas sebagai rangkaian tanda-tanda Allah dan menghadirkan kesadaran spiritual dalam setiap aspek kehidupan.
2. Kasyf: Penyingkapan dimensi batin
Jika ma‘rifah adalah puncak, maka kasyf adalah proses menuju puncak tersebut. Kasyf merupakan terbukanya tirai batin sehingga seseorang mampu melihat hakikat di balik bentuk lahiriahnya. Ini bukan ramalan atau kemampuan supranatural, tetapi hasil kejernihan batin. Ketika hati bersih dari sifat buruk seperti iri, dengki, dan amarah, seseorang dapat “melihat” dunia dengan mata hati dan menangkap pesan Ilahi yang tersembunyi dalam setiap peristiwa.
3. Hudur al-Qalb: Kehadiran hati yang sungguh-sungguh
Hudur al-qalb adalah kemampuan menghadirkan seluruh perhatian hati kepada Allah dalam setiap aktivitas. Lawan dari keadaan ini adalah mental wandering pikiran yang terus melayang, fokus yang mudah pecah, dan perasaan kosong meski jasad hadir secara fisik. Fenomena ini sangat dominan pada generasi modern.
Data menunjukkan bahwa 37% Gen Z mengalami kesulitan membedakan diri mereka di dunia nyata dan dunia digital, menyebabkan fragmentasi identitas. Hudur al-qalb menawarkan penyembuhan melalui keterhubungan penuh dengan realitas saat ini, bukan dengan persona digital. Ini sejalan dengan konsep khusyuk dalam ibadah kehadiran hati yang total yang dapat menjadi penangkal budaya multitasking dan distraksi tanpa akhir.
4. Muraqabah: Kesadaran bahwa Allah selalu mengawasi
Muraqabah adalah kondisi batin ketika seseorang hidup dengan kesadaran penuh bahwa Allah melihat dan mengetahui seluruh perilakunya. Konsep ini dekat dengan mindfulness, tetapi lebih mendalam. Jika mindfulness hanya fokus pada kesadaran diri, maka muraqabah menghadirkan kesadaran transendental: menyadari pengawasan Allah dalam setiap momen. Kesadaran ini melahirkan ketenangan, kehati-hatian, dan kejernihan tindakan.
Baca juga: Metode, Sistematika, dan Corak Tafsir Al-Baidhawi dalam Anwarut Tanzil
Bagi Generasi Z yang tumbuh dalam kebisingan digital, ajaran spiritualitas Ibn ‘Arabi memberikan jalan pulang menuju ketenangan: dari distraksi menuju fokus, dari identitas digital yang tercerai-berai menuju keutuhan diri, dari ketergantungan validasi eksternal menuju kesadaran nilai diri sebagai makhluk Ilahi. Spiritualitas bukan sekadar pelarian dari masalah dunia, tetapi pilar penting yang membuat manusia mampu menjalani kehidupan dengan lebih kokoh.
Dengan menghidupkan empat pilar spiritualitas ini, manusia dapat menemukan kembali kedamaian batin, kejernihan pikiran, dan arah hidup yang bermakna.
Penulis: Khumaira Yasmin Ibnu, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.













