Milenianews.com, Jakarta – Ferry Alberto Lesar, atau lebih kerap dengan sapaan Eyi Lesar, adalah sosok koreografer tari kontemporer yang lahir dan besar di Manado, Sulawesi Utara. Dari kota yang jarang orang mengenalnya sebagai pusat seni kontemporer, ia menegaskan identitasnya dengan membangun jejak karya hingga ke panggung internasional.
“Saya adalah tubuh yang lahir dari Manado, tetapi ditempa dan dibentuk ulang di Jakarta,” begitu ia menyebut perjalanan hidupnya.
Awal Mula: Tubuh yang Belajar Bicara

Kecintaan Eyi pada tari bermula sejak duduk di bangku kelas 4 SD. Saat itu, ia diminta tampil menari di panggung sekolah. Bagi sebagian anak, itu hanya momen sederhana. Namun baginya, itu adalah titik balik.
Ia menemukan bahwa tubuh bisa menjadi bahasa, medium untuk mengungkapkan hal-hal yang sulit disampaikan dengan kata-kata. Keyakinan inilah yang kelak menjadi fondasi hidupnya.
Baca juga: Mba Mawar IJK, Merintis Mimpi di Dunia EO MICE Pariwisata dan Capacity Building
Jejak Akademik dan Guru Inspiratif Bagi Eyi Lesar
Untuk menambah keyakinannya itu, Eyi menempuh pendidikan formal di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), kampus seni tertua di Indonesia. Di sana, ia belajar bahwa tubuh bukan sekadar wadah gerakan, melainkan cara membaca alam dan kehidupan.
Di samping itu, pengaruh para maestro turut membentuknya, seperti:
Prof. Sardono W. Kusumo, menanamkan filosofi tubuh dan alam.
Eko Supriyanto, mengajarkannya disiplin serta kemampuan menjembatani tradisi dan kontemporer.
Hartati (Uni Tati), menanamkan arti kepemimpinan dan tanggung jawab moral seorang seniman.
Bersama Hartati, yang kala itu menjabat Ketua Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta (2014–2019), Eyi belajar langsung bagaimana seni bisa menjadi tanggung jawab sosial, bukan hanya tontonan.
Gaya Koreografi: Tubuh yang Bernegosiasi

Sebagai koreografer, Eyi Lesar menggambarkan gaya karyanya sebagai “tubuh yang terus bernegosiasi dengan waktu, ruang, dan benda”. Gerakannya kerap hadir lewat repetisi, ruang terisolasi, dan situasi penuh tekanan. Ia sering menggunakan benda sehari-hari seperti lakban, bubble wrap, hingga mesin hoist untuk menciptakan atmosfer ketidakpastian.
Meski berangkat dari isu sosial, ia selalu menekankan dimensi intim seperti, ketakutan, kerentanan, sekaligus harapan manusia. Bagi Eyi, proses kreatif selalu dimulai dari pertanyaan, bukan jawaban.
Baca juga: Wahyu Saidi, Dari Doktor Hingga Pebisnis Kuliner Hebat
Kiprah dan Pencapaian Eyi Lesar
Sejak 2020, Eyi aktif di Yayasan Seni Tari Indonesia dan pernah dipercaya menjadi Ketua Program Festival. Dari situ, ia memahami pentingnya keberpihakan program seni yang harus hadir bagi masyarakat, bukan hanya lingkaran seniman.
Karyanya telah melanglang buana, baik di panggung nasional maupun internasional. Salah satu momen bersejarah adalah ketika ia tampil di festival internasional di Korea Selatan bersama Ahn Eun Me Dance Company. Saat itu, ia merasakan bahwa tubuhnya membawa identitas, sejarah, bahkan politik yang bisa dipahami lintas budaya.
Selain itu, keterlibatannya sebagai co-koreografer di Asian Games 2018 dan partisipasi di Indonesian Dance Festival menjadi tonggak penting pengakuan atas karyanya.
Suara Kritis untuk Manado

Meski telah melangkah jauh, hatinya tetap tertambat pada tanah kelahiran. Namun, kegelisahan muncul saat ia melihat ekosistem seni di Manado. Menurutnya, selama empat tahun terakhir, program yang dijalankan oleh Dewan Kesenian Kota Manado (DKKM) lebih banyak bersifat seremonial, seperti lomba dan festival yang kurang berdampak jangka panjang.
Eyi menilai bahwa Manado perlu menghadirkan ruang residensi, riset, dokumentasi, dan inkubasi koreografer. Hanya dengan itu, seniman lokal bisa tumbuh dengan karya yang relevan sekaligus berakar.
“Seni seharusnya menjadi bagian dari keseharian masyarakat, bukan sekadar perayaan di atas panggung,” tegasnya.
Dari sanalah, ia pun merasa penting untuk membuka percakapan publik mengenai peran DKKM dan Komite Tari, serta mempertanyakan apa kontribusi nyata yang sudah mereka berikan bagi perkembangan seni dan masyarakat di Manado.
Baca juga: Darlane Seniman Tari Berprestasi Kembali Mengabdi ke Tanah Air
Harapan dan Filosofi Hidup Seorang Eyi Lesar
Harapan terbesar Eyi adalah mendirikan program residensi tari kontemporer di Manado sebagai ruang yang mempertemukan seniman lokal, nasional, hingga internasional untuk tinggal, berinteraksi dengan masyarakat, dan melahirkan karya bersama.
Filosofinya sederhana namun mendalam, tubuh adalah arsip yang tak pernah habis digali. Ia menyimpan luka, perjalanan, sekaligus harapan. Baginya, keterbatasan bukan penghalang, tetapi justru sumber kreativitas.
“Selama alam semesta ini sehat, kita masih bisa bertahan, berkarya, dan bersentuhan dengan kehidupan lain,” ujarnya.
Perjalanan Eyi Lesar pun, bukan hanya tentang panggung dan pengakuan. Ia sedang membangun jembatan antara tradisi dan kontemporer, lokal dan global, individu dan masyarakat. Dengan tubuhnya, ia mengingatkan bahwa seni bukan sekadar hiburan, melainkan cara berkomunikasi, merawat identitas, dan membangun masa depan.
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.