Shanghai ke Beijing, Melaju di Rel 300 Kilometer per Jam

shanghai ke beijing

Milenianews.com – Dari Shanghai ke Beijing, saya dan istri naik kereta cepat, kereta peluru. Jalur ini merupakan salah satu yang terpanjang dan tersibuk di dunia dengan jarak lebih dari 1.300 kilometer. Jalur tersebut menghubungkan dua kota terbesar di Tiongkok, masing-masing berpenduduk lebih dari 20 juta jiwa. Dalam sehari terdapat sekitar 40 perjalanan dengan variasi stasiun pemberhentian, kelas tiket, dan waktu tempuh.

Kereta tercepat dengan pemberhentian paling sedikit membutuhkan waktu 4 jam 20 menit. Yang lebih lambat menempuh perjalanan sekitar 6,5 jam. Jadwal keberangkatan dimulai pukul 06.30 dan berakhir pukul 20.00. Tiket dibeli secara daring, dengan harga mulai dari sekitar Rp1,2 juta hingga Rp3,8 juta untuk kelas termahal. Harga juga berubah sesuai musim.

Perjalanan kami dilakukan pada bulan Juli, musim panas, ketika suhu mencapai 35°C. Kekaguman muncul saat pertama kali turun dari bus di Shanghai Hongqiao Station. Stasiun ini begitu luas dan megah. Dibandingkan dengan Whoosh di Halim, ukurannya terasa jauh berbeda. Atapnya tinggi dan terang oleh cahaya alami yang masuk melalui kaca-kaca besar. Hall keberangkatan membentang sejauh mata memandang.

Baca juga: Udang Tapi Ayam, Ayam Tapi Udang

Kemegahan Arsitektur Hongqiao Station

hongqiao station

Ukuran bangunannya luar biasa, panjang 420 meter, lebar 200 meter, tinggi 70 meter, dan tanpa tiang di tengah. Sebagai sarjana teknik sipil, saya hanya bisa terkesima. Rasanya seperti melihat terminal bandara internasional, bukan stasiun kereta. Hongqiao memang tercatat sebagai stasiun terbesar di Asia. Suasananya mirip pasar raksasa, ribuan penumpang menyeret koper, ada yang duduk, ada pula yang berjalan tergesa. Fasilitasnya lengkap, mulai dari restoran, minimarket, hingga merek internasional seperti KFC dan Starbucks. Stasiun ini terhubung dengan hampir seluruh kota melalui tiga jalur metro.

Kami datang satu jam lebih awal. Untung saja tersedia ribuan kursi di area tunggu, sehingga menunggu tidak terasa membosankan. Untuk stasiun sebesar ini, terutama bagi yang pertama kali datang, sebaiknya memang meluangkan waktu lebih awal. Proses masuk cukup sederhana, hanya dengan memindai paspor di mesin otomatis. Tidak ada tiket fisik, tidak ada petugas jaga, bahkan tidak ada QR code seperti di Whoosh Jakarta. Paspor menjadi identitas untuk semua proses.

Dua puluh menit sebelum keberangkatan, pintu boarding dibuka. Ribuan orang bergerak rapi menuju eskalator yang membawa ke lantai bawah. Di sana sudah menunggu deretan kereta putih berkilau dengan moncong aerodinamis. Kereta cepat yang akan kami naiki sudah siap berangkat.

Makanan Stasiun Lebih Murah, Lebih Bervariasi

makanan stasiun bervariasi

Kami memilih kelas ekonomi dengan harga relatif murah dan rute yang singgah di banyak stasiun. Tidak masalah, karena waktu perjalanan tidak menjadi kendala. Ternyata kelas ekonomi pun nyaman. Kursinya lebar, ruang kaki luas, jendela besar, dan toilet bersih tersedia baik jongkok maupun duduk. Kursi tersusun dua-tiga per baris, full AC, serta dilengkapi colokan listrik untuk mengisi daya ponsel.

Rangkaian kereta terdiri atas 16 gerbong, dua kali panjang kereta Whoosh. Penumpang bisa membeli makanan di kereta. Pramugari mendorong troli yang menjual camilan, mi instan hangat, bento box, minuman ringan, kopi, teh panas, hingga produk Starbucks. Ada juga gerbong kantin kecil dengan pilihan makanan lebih lengkap yang bisa dinikmati di tempat.

Namun sebagian besar penumpang membawa makanan dari rumah atau membeli di stasiun. Alasannya jelas, harga di stasiun lebih murah dan pilihannya lebih banyak. Makanan juga bisa dipesan melalui aplikasi dengan QR code, lalu diantar langsung ke kursi. Semua pembayaran menggunakan aplikasi seperti Alipay atau WeChat Pay. Tidak ada uang tunai. Bagi orang asing memang agak merepotkan di awal, tapi setelah registrasi dengan kartu kredit, semua menjadi mudah.

Tepat pukul 10.00 pengumuman dalam bahasa Mandarin dan Inggris terdengar. Kereta melaju, dalam sekejap mencapai kecepatan 300 km per jam. Perjalanan berlangsung mulus hampir tanpa getaran. Layar digital di dinding menampilkan kecepatan dan peta perjalanan. Gedung-gedung tinggi Shanghai perlahan menghilang, berganti pemandangan pedesaan, ladang hijau, sungai berkilau, jembatan panjang, bukit, hingga terowongan.

Setelah Jinan, Gerbong Mulai Kosong

gerbong mulai kosong

Perjalanan berlangsung tenang. Sebagian penumpang sibuk dengan laptop, sementara saya lebih memilih menatap keluar jendela, mengagumi negara ini yang terlihat bersih, rapi, dan maju.

Sekitar satu jam perjalanan, kereta sampai di Nanjing, kota besar berpenduduk sembilan juta jiwa di tepi Sungai Yangtze. Kota ini beberapa kali menjadi ibu kota Tiongkok, termasuk pada masa awal Republik tahun 1912 sampai 1949. Beberapa penumpang turun, yang lain naik, kursi tetap penuh.

Empat jam kemudian kereta memasuki Jinan. Kota modern ini memiliki deretan gedung tinggi, bahkan kota setingkat kabupaten pun bisa memiliki ratusan gedung lebih dari 20 lantai. Stasiun Jinan West cukup luas, meski tidak sebesar Shanghai. Di sini banyak penumpang turun, sementara yang naik lebih sedikit, sehingga gerbong mulai tampak kosong.

Pemberhentian terakhir sebelum Beijing adalah Tianjin. Kota satelit ini hanya berjarak sekitar 100 kilometer dari Beijing, ditempuh dalam waktu 30 menit. Di sini lebih banyak penumpang turun, hampir tidak ada yang naik, gerbong pun semakin lengang.

Dalam perjalanan ini saya beberapa kali makan. Kami membawa bekal nasi kotak halal dari hotel untuk makan siang. Saya juga membeli camilan ringan serta kopi. Ada pengalaman unik, yaitu memesan Starbucks di kereta cepat Tiongkok. Rasanya menarik untuk dicatat.

Baca juga: Sosok Wahyu Saidi yang Tidak Pantang Menyerah Dalam Merintis Bisnisnya!

Selamat Sore, Beijing

beijing

Tepat pukul 16.20, kereta tiba di Beijing South Station. Pintu terbuka, penumpang mengalir menuju hall kedatangan berbentuk oval yang luas dan diterangi cahaya alami dari atap kaca raksasa. Stasiun ini cukup besar, meski tetap lebih kecil dibanding Shanghai. Ciri khasnya adalah kubah atap berbentuk oval dengan panjang 490 meter dan lebar 370 meter. Stasiun ini terhubung langsung dengan jaringan subway Beijing.

Di luar stasiun, ibu kota Tiongkok menyapa. Gedung pencakar langit berdiri berdampingan dengan tembok kota kuno. Jalan raya lebar dan padat, tetapi tidak macet, berpadu dengan bangunan bersejarah yang telah ada ribuan tahun.

Selamat sore, Beijing. Petualangan di kota ini baru saja dimulai.

Kontributor: Dr. Ir. Wahyu Saidi, MSc, seorang Entrepreneur, Peminat dan Penikmat Kuliner

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *