Budaya  

Penyair Ririe Aiko Menjadi Pemenang Sayembara Puisi Esai Antarbangsa

Melalui karyanya yang berjudul “Mata Kecil Yang Menangis”, penyair Indonesia asal Bandung, Ririe Aiko berhasil meraih kemenangan dalam  Sayembara Puisi Esai Antarbangsa di Sabah, Malaysia. (Foto: Istimewa)

Milenianews.com, Bandung—Penyair Indonesia asal Bandung, Ririe Aiko berhasil meraih kemenangan dalam  Sayembara Puisi Esai Antarbangsa di Sabah, Malaysia. Puisinya  yang berjudul “Mata  Kecil yang Menangis” mendapatkan Hadiah Sagu Hati, bersama dengan penyair D. Kemalawati (Aceh, Indonesia), Sasjira (Sandakan, Sabah, Malaysia), Miz Adlina Batritisyia Indra (Papar, Sabah, Malaysia).

“Menjadi salah satu pemenang dalam Sayembara Puisi Esai Antarbangsa di Sabah, Malaysia, merupakan pengalaman luar biasa—dan jujur saja, tak pernah terlintas dalam bayangan saya sebelumnya. Ketika kabar itu datang, menyebut nama saya tercantum di antara para pemenang dalam ajang festival puisi esai yang bergengsi ini, saya sempat tak percaya. Dunia puisi esai adalah medan baru bagi saya, yang belum genap satu tahun saya kenal,” kata Ririe Aiko, Jumat (27/6/2025).

Ia mengemukakan,  eski bukan sebagai juara pertama, penghargaan ini menjadi penanda penting dalam perjalanan kepenulisannya. Saya memulai karier di dunia literasi sebagai penulis naskah radio, kemudian merambah ke penulisan naskah FTV dan cerita horor. Saya bahkan sempat memantapkan diri sebagai penulis horor di salah satu blog. Namun sejak November 2023, saya berkenalan dengan genre puisi esai—dan di sanalah saya menemukan sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang bukan hanya baru, tetapi juga memberi makna yang dalam,” ujarnya.

Menurut Ririe Aiko, puisi esai bukan sekadar karya sastra; ia adalah perpaduan antara kepekaan rasa dan ketajaman fakta. Di dalamnya, bahasa yang indah bertemu dengan data dan realitas sosial. Menulis puisi esai bukan hanya soal merangkai bait, tetapi juga keberanian untuk bersuara. Ia menjadi medium untuk menyampaikan kritik, menyingkap ketimpangan, hingga membela mereka yang kerap terpinggirkan. Ini adalah genre yang menuntut bukan hanya estetika, melainkan juga empati, riset, dan integritas.

“Dari sana lahirlah buku pertama saya bertajuk “Sajak dalam Koin Kehidupan.” Bahkan hingga kini, lebih dari 100 puisi esai telah saya tulis dan publikasikan di blog pribadi. Setiap karya menjadi cermin dari kegelisahan, harapan, dan keinginan untuk memberi makna melalui kata. Menulis puisi esai, bagi saya, adalah upaya membumikan nilai-nilai kemanusiaan. Langkah kecil yang saya yakini memiliki makna besar,” paparnya.

Ririe Aiko mengaku  tidak berasal dari latar belakang yang memiliki banyak keistimewaan atau akses khusus. “Namun saya percaya, konsistensi, ketekunan, dan niat untuk memberi manfaat akan membawa kita pada bentuk kesuksesan yang sesungguhnya—kesuksesan yang tidak hanya membanggakan diri, tetapi juga memberi arti bagi orang lain,” tegasnya.

Menurutya, “Menjadi penulis bukanlah tentang seberapa populer kita, atau seberapa banyak penghargaan yang kita kumpulkan. Lebih dari itu, menjadi penulis adalah tentang kebermanfaatan. Tentang meninggalkan jejak-jejak kecil yang membantu orang lain memahami, merasakan, bahkan sembuh lewat tulisan.”

Ririe menambahkan, “Saya percaya bahwa nilai hidup tidak diukur dari seberapa tinggi pencapaian kita di mata publik, melainkan dari seberapa besar kebaikan yang bisa kita wariskan. Dan bagi saya, menulis puisi esai adalah cara paling jujur untuk menanamkan kebaikan itu—dengan cara yang saya bisa: lewat kata.”

Bagi Ririe Aiko, penghargaan ini bukanlah garis akhir, tetapi sebuah titik awal dari perjalanan panjang. “Saya bersyukur bukan karena telah menang, tetapi karena diberi kesempatan untuk terus belajar dan tumbuh di dunia yang baru. Dunia yang memberdayakan: puisi esai,” kata Ririe Aiko.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *