Mata Akademisi, Milenianews.com – Ketika zaman terus bergerak dengan wajah yang berubah-ubah—dari revolusi industri menuju era kecerdasan buatan—warisan pemikiran Islam klasik kembali ditelaah: adakah tempat bagi teologi dalam dunia modern yang rasional dan kompleks? Di tengah kebisingan antara radikalisme dan liberalisme, muncul kembali suara moderat yang telah bergema sejak abad ke-10: teologi Al-Asy’ari.
Teologi ini bukan sekadar warisan, melainkan fondasi hidup yang terus memberikan arah spiritual dan intelektual bagi umat Islam. Ia lahir sebagai respons atas ekstremitas rasionalisme Muktazilah, dan hingga kini tetap hadir sebagai penyeimbang antara akal dan wahyu, antara sains dan iman.
Antara Basrah dan Modernitas: Lahirnya Teologi Jalan Tengah
Abu al-Hasan Ali Ibn Isma’il al-Asy’ari, yang lahir di Basrah pada 873 M, awalnya adalah pengikut setia Muktazilah. Selama empat dekade ia bergulat dengan pemikiran rasionalisme murni, sebelum akhirnya beralih ke pendekatan yang lebih seimbang: mengakui pentingnya akal, namun tetap tunduk pada otoritas wahyu.
Dalam dunia yang menyembah logika dan data, pemikiran Al-Asy’ari terasa sebagai jembatan. Ia tidak mengabaikan potensi akal, namun menegaskan bahwa akal hanyalah alat untuk memahami kehendak Tuhan, bukan untuk menandingi-Nya. Konsep kasb, yakni usaha manusia yang tetap dalam bingkai kehendak Allah, menjadi simbol keseimbangan itu.
ʿĀdah dan Sains: Tuhan dalam Hukum Alam
Salah satu kontribusi penting Al-Asy’ari adalah gagasan tentang ʿādah (kebiasaan Tuhan). Dalam pandangan ini, hukum alam bukan realitas otomatis, melainkan keteraturan yang diciptakan Allah dan terus berlangsung karena kehendak-Nya. Di sinilah sains dan iman bersua dalam harmoni.
Ketika teknologi seperti AI berkembang pesat, teologi Asy’ariyah menegaskan: manusia tidak menciptakan dari ketiadaan. Mereka hanya memanfaatkan potensi ciptaan Tuhan—logika, matematika, dan daya pikir—untuk merakit teknologi. Maka, AI bukan tantangan bagi Tuhan, tetapi bentuk pemuliaan akal yang diberikan-Nya.
Rekayasa Genetik dan Sunnatullah
Sebagian kalangan mengkhawatirkan bahwa rekayasa genetika berarti “mengubah ciptaan Tuhan.” Namun, dalam perspektif Asy’ariyah, hal ini adalah bagian dari sunnatullah—hukum alam yang dapat dipelajari, dimanfaatkan, namun tetap harus dijalankan dalam batas etika dan syariat.
Ilmu pengetahuan bukanlah musuh iman, tetapi perlu dilandasi tanggung jawab moral. Ketika manusia menyentuh gen makhluk hidup, mereka sedang menjelajah hikmah Ilahi, bukan sedang menandingi-Nya.
Kasb dan Krisis Global: Tanggung Jawab dalam Takdir
Konsep kasb bukan hanya abstraksi teologis, melainkan prinsip moral yang konkret. Dalam isu krisis iklim, misalnya, manusia tak bisa berdalih bahwa kerusakan bumi adalah “takdir Tuhan.” Teologi Asy’ari mengajarkan bahwa manusia adalah khalifah, bukan perusak.
Dengan demikian, teologi ini menggabungkan dua sisi tanggung jawab: kebergantungan mutlak pada kehendak Allah dan komitmen penuh pada etika amal manusia.
Menjawab Sekularisme dengan Maslahah
Di tengah arus sekularisme yang memisahkan agama dari ruang publik, teologi Asy’ariyah menawarkan pendekatan wasathiyah—jalan tengah. Agama tidak harus dipaksakan dalam bentuk formal, namun nilainya seperti keadilan, amanah, dan maslahat dapat diterjemahkan dalam kebijakan demokratis.
Pemikiran ini sejalan dengan para ulama kontemporer yang memadukan nilai-nilai Islam dengan prinsip-prinsip konstitusional. Di tangan Asy’ariyah, agama tetap berperan aktif tanpa menjadi tirani.
Baca juga: Al-Qur’an sebagai Objek Perdebatan Teologi dalam Islam
Pluralisme dan Dakwah Lembut
Teologi Asy’ari tidak berhenti pada internal umat. Dalam konteks pluralisme agama, ia mendorong dialog antaragama yang sehat. Islam diakui sebagai agama terakhir, namun itu tidak menjadi penghalang untuk kerja sama lintas iman dalam membangun kebaikan bersama. NU sebagai representasi teologi ini di Indonesia adalah contoh nyata dari dialog yang bersahabat, namun tetap berprinsip.
Melawan Radikalisme dan Liberalisme
Di satu sisi, teologi Asy’ariyah menolak radikalisme: pandangan tekstual ekstrem yang memproduksi kekerasan dan pengkafiran. Di sisi lain, ia juga menolak liberalisme ekstrem: pandangan yang menjadikan agama relativistik dan tanpa batas.
Dalam isu LGBT, misalnya, teologi ini bersikap jelas namun tidak kasar. Ia menolak perilaku yang bertentangan dengan syariat (QS Al-A’raf: 80–81), namun juga menolak kekerasan. Dakwah dilakukan dengan kelembutan, bukan dengan vonis.
Asy’ariyah di Indonesia: Dari Pesantren ke Media Sosial
Di Indonesia, teologi Asy’ari tumbuh subur di pesantren-pesantren Nahdlatul Ulama. Di sinilah generasi muda Muslim diajarkan moderasi: tidak gampang mengkafirkan, tidak keras dalam berdakwah, serta tidak mudah terseret arus ideologi liar dari internet.
Melalui pendekatan ini, NU berhasil meredam hoaks keagamaan yang sering menyesatkan, seperti klaim bid’ah atau vonis kafir yang sembrono. Mereka menjelaskan bahwa tidak semua hal baru adalah sesat. Ada ruang pembaruan, selama tidak menyalahi prinsip dasar agama.
Menjadi Muslim Modern yang Tangguh dan Moderat
Teologi Asy’ariyah telah membuktikan dirinya sebagai kerangka teologis yang fleksibel dan kontekstual, tanpa kehilangan prinsip. Ia hadir sebagai penyejuk di tengah kegaduhan wacana ekstremisme dan liberalisme yang seringkali menyesatkan.
Bagi generasi muda, pemikiran ini menawarkan pegangan yang kuat: menjadi Muslim yang berpikir logis, menghargai ilmu pengetahuan, namun tetap teguh pada akidah. Inilah jalan menuju peradaban Islam yang tidak hanya maju secara teknologi, tetapi juga mendalam secara spiritual.
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.