Tabarruk atau Tersesat? Membaca Fenomena Ali Gondrong dalam Bingkai Syariat

abah ali gondrong

Mata Akademisi, Milenianews.com – Mohammad Ali Shodiqin, atau lebih dikenal sebagai Abah Ali, kerap disapa dengan nama Ali Gondrong. Julukan tersebut kemungkinan berasal dari tampilan serta gaya rambut panjangnya sehari-hari. Oleh karena itu, beliau mendapatkan julukan sebagai Ali Gondrong. Dalam budaya masyarakat Indonesia, seseorang yang memiliki julukan biasanya dianggap memiliki tampilan karismatik, baik dari segi fisik maupun gaya.

Beliau merupakan pendiri sekaligus pengasuh pondok pesantren di salah satu daerah di Semarang. Selain itu, beliau juga merupakan pendiri Majelis Mafia Sholawat, yang beranggotakan anak-anak jalanan. Metode dakwahnya yang merakyat membuat anak-anak jalanan tertarik mengikuti jalan dakwah yang ia tawarkan.

Yang menarik untuk dibahas ialah batasan seorang ahli agama dalam ngalab berkah, terutama antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Dalam Islam, ngalab berkah lebih dikenal dengan istilah tabarruk, yang artinya mendoakan seseorang agar mendapat keberkahan. Namun, dalam kalangan masyarakat awam, istilah ini sering disalahpahami.

Baca juga: Ekonomi Islam ala Umer Chapra sebagai Solusi untuk Dunia yang Lebih Adil

Ngalab berkah dianggap sebagai bentuk doa yang langsung dikabulkan oleh Tuhan melalui seseorang yang dianggap taat. Akibatnya, banyak yang lupa membedakan antara ajaran yang sesuai syariat dan yang tidak dalam praktik dakwah.

Fenomena tabarruk mencerminkan tingginya kepercayaan publik terhadap spiritualitas dan pentingnya peran mediator, atau wasilah. Menurut masyarakat, pemimpin agama tidak hanya dianggap sebagai orang yang memiliki ilmu, tetapi juga sebagai sosok spiritual yang diyakini dapat memberikan berkah.

Habib Muhammad Alaydrus dalam bukunya Agar Hidup Selalu Berkah menjelaskan bahwa mendekatkan diri kepada orang-orang saleh merupakan salah satu cara memperoleh keberkahan hidup. Konsep ini mendorong masyarakat untuk meminta nasihat, doa, atau bahkan kontak spiritual dari guru yang dianggap memiliki hubungan khusus dengan Tuhan.

Ali Gondrong tampil sebagai figur spiritual yang oleh sebagian masyarakat dianggap memiliki kemampuan supranatural. Kharismanya dibentuk lewat narasi lokal, pengalaman mistis, serta testimoni individu yang merasa “terbantu” oleh kehadirannya. Namun, bentuk spiritualitas ini lebih dekat pada spiritualitas rakyat—yakni bentuk keberagamaan yang tumbuh dari bawah, berakar pada tradisi, kebutuhan praktis, dan harapan keseharian. Ia tidak sepenuhnya tunduk pada doktrin institusional agama, melainkan berkembang di ruang abu-abu antara iman, budaya, dan mitos.

Banyak orang memandangnya sebagai ekspresi iman dan upaya rohani untuk memperbaiki hidup. Namun, tabarruk menjadi problematik ketika melibatkan hubungan fisik atau privat antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Dalam Islam, hubungan semacam ini dibatasi demi menjaga kehormatan, mencegah fitnah, dan melindungi nilai moral. Ketika perempuan mencari berkah dari tokoh seperti Gus Ali, interaksi fisik atau emosional yang terlalu dekat bisa menimbulkan kontroversi dan menabrak batas-batas syariat, terutama dalam konteks relasi gender.

Ali Gondrong dihormati oleh sebagian masyarakat, terutama kalangan perempuan yang datang kepadanya untuk mencari berkah. Dalam beberapa dokumentasi dan laporan media, jamaah perempuan terlihat mencium tangannya, memegang tubuhnya, bahkan percaya bahwa kehadiran atau sentuhan Ali Gondrong bisa membawa rezeki, jodoh, atau kesembuhan. Praktik ini menunjukkan bentuk pengagungan terhadap pribadi Ali Gondrong yang melampaui batas wajar penghormatan dalam Islam. Banyak dari mereka tidak hanya meminta doa, tetapi juga mempercayai bahwa beliau memiliki kemampuan khusus untuk mengubah hidup mereka.

Perempuan-perempuan ini merepresentasikan subjek sosial yang sedang menghadapi persoalan hidup, seperti kemiskinan, urusan rumah tangga, percintaan, hingga penyakit. Kebutuhan spiritual yang bersifat emosional dan keinginan akan solusi instan membuat mereka rentan terhadap otoritas spiritual yang tidak selalu transparan. Oleh karena itu, penting untuk menempatkan tradisi tabarruk dalam kerangka kerja agama yang inklusif agar tidak bertentangan dengan prinsip dasar hukum Islam.

Perspektif Hukum Islam

Dalam Islam, konsep tauhid sangat ditekankan, yakni pengesaan Allah dalam segala aspek, termasuk dalam hal mencari manfaat dan menolak mudarat. Dalam Surah Yunus ayat 106, Allah SWT berfirman:

“Dan janganlah kamu menyembah selain Allah, apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudarat kepadamu; sebab jika kamu berbuat (yang demikian itu), maka sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang zalim.”

Ayat ini menegaskan bahwa keyakinan akan manfaat dari sesuatu selain Allah SWT, tanpa dasar syariat, merupakan pelanggaran tauhid.

Sebagian orang mungkin membela praktik tabarruk dengan merujuk pada sejarah, saat para sahabat mencari berkah dari rambut Nabi, air wudunya, hingga tempat shalat beliau. Namun, konteksnya jelas: mereka meyakini berkah tersebut berasal dari Allah melalui Nabi-Nya, bukan dari Nabi secara mandiri. Sedangkan dalam kasus Ali Gondrong, pengagungan terhadapnya telah mendekati bentuk pemujaan.

Persoalan lain adalah interaksi fisik antara Ali Gondrong dan jamaah perempuan. Dalam beberapa dokumentasi, terlihat adanya kontak fisik yang tidak sesuai dengan norma syariat. Padahal, dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya ditusuknya kepala salah seorang dari kalian dengan jarum besi lebih baik baginya daripada menyentuh perempuan yang tidak halal baginya.”

Jika hanya menyentuh saja sudah diperingatkan keras, maka interaksi yang dilakukan dalam konteks tabarruk tersebut menjadi sangat problematik.

Antara Keyakinan dan Penyimpangan

Praktik-praktik ini bisa menyeret masyarakat dalam kebodohan agama. Keyakinan terhadap hal-hal simbolik dan takhayul menggantikan ilmu yang sahih. Padahal, Islam datang untuk membebaskan manusia dari belenggu khurafat. Ulama terdahulu menekankan bahwa tabarruk yang dibenarkan hanyalah terhadap sesuatu yang syar’i, seperti Al-Qur’an, air zamzam, tempat-tempat suci, atau waktu-waktu tertentu yang diberkahi.

Jika seseorang meyakini bahwa Ali Gondrong memiliki kekuatan spiritual yang berasal dari dirinya sendiri, tanpa menyandarkannya kepada Allah, maka keyakinan itu bisa jatuh pada syirik. Dalam hadis riwayat Ahmad, Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya yang paling aku takutkan menimpa kalian adalah syirik kecil.”
Para sahabat bertanya, “Apakah syirik kecil itu, wahai Rasulullah?”
Rasul menjawab, “Riya (pamer).”

Jika riya saja termasuk syirik kecil, maka pengagungan terhadap individu sebagai sumber kekuatan spiritual tanpa izin Allah jelas lebih berat.

Ulama kontemporer seperti Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dan Syaikh Shalih al-Fauzan menegaskan bahwa mencari berkah kepada selain yang ditentukan syariat bisa jatuh pada bid’ah, bahkan syirik. Sebaliknya, ulama tradisional seperti dari kalangan Nahdlatul Ulama lebih lentur, selama praktiknya tidak menyimpang dari akidah, misalnya mencium tangan kiai sebagai bentuk penghormatan.

Namun, dalam kasus Ali Gondrong, masalah tidak hanya pada jamaah. Beliau sendiri tampaknya tidak berupaya meluruskan niat dan pemahaman para pengikutnya. Seorang alim sejati justru akan menjauh dari kultus dan menolak pengagungan yang berlebihan. Para wali Allah yang sejati dikenal rendah hati dan tidak membiarkan dirinya dijadikan objek pemujaan.

Literasi Keagamaan dan Solusi

Fenomena ini menunjukkan pentingnya literasi keagamaan di masyarakat. Banyak orang yang mencari berkah karena ketidaktahuan atau tekanan hidup. Maka dari itu, pendidikan agama yang mendalam harus diberikan, tidak hanya oleh lembaga formal, tetapi juga oleh tokoh agama yang kredibel. Pemerintah dan lembaga keagamaan wajib mengedukasi masyarakat tentang ajaran Islam yang murni dan menindak penyimpangan.

Dalam Islam, amal perbuatan dinilai dari niat dan caranya. Jika tabarruk dilakukan dengan cara yang benar, maka diperbolehkan. Tetapi bila dilakukan dengan keyakinan keliru, maka bisa berbahaya bagi akidah.

Baca juga: Relevansi Pemikiran Teologi Muhammad Abduh Di Era Kontemporer: Melampaui Sekedar Identitas Keislaman

Tabarruk bisa menjadi bentuk ibadah, tapi juga bisa jadi bid’ah atau bahkan syirik—tergantung niat dan pelaksanaannya. Kasus Ali Gondrong bukan sekadar soal penyimpangan akidah, tetapi juga cermin dari lemahnya pemahaman masyarakat terhadap Islam. Maka, tugas umat adalah menjaga kemurnian agama melalui dakwah, ilmu, dan amar ma’ruf nahi munkar.

Dalam kehidupan sosial, interaksi antara laki-laki dan perempuan memang tidak bisa dihindari. Islam memperbolehkannya dalam kondisi tertentu, asalkan sesuai syariat: tidak berduaan (khalwat), tidak menyentuh secara fisik, menjaga aurat, dan hanya berinteraksi jika diperlukan. Dalam konteks tabarruk, keberkahan boleh dicari dari hal-hal yang sahih—seperti Al-Qur’an, Nabi Muhammad SAW, dan peninggalan beliau yang diakui syariat.

Namun, mencari berkah dari sosok seperti Ali Gondrong yang tidak memiliki legitimasi syar’i bisa berujung pada kesyirikan, terutama jika disertai keyakinan berlebihan. Misalnya, perempuan yang bersalaman dengannya—yang bukan mahram—dan percaya bahwa tubuhnya mendatangkan berkah, maka itu merupakan bentuk tabarruk yang menyimpang. Islam mengajarkan untuk mencari berkah dengan berdoa, beramal saleh, dan menjauhi syirik.

Penulis: Muhamad Hizbullah, Dosen serta Wiwin Z, Ghefira Raudhatul Janah Azahra, Shelvi Novia Ramadani, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *