Mata Akademisi, Milenianews.com – Kasus guru SMK mengenakan simbol profesor telah menimbulkan perdebatan di masyarakat. Kontroversi ini muncul setelah seorang guru dari SMK Citra Bangsa Mandiri di Purwokerto dikritik karena menggunakan kalung bertuliskan “Guru Besar”, gelar yang seharusnya hanya untuk profesor di universitas.
Gelar “Guru Besar” atau “Profesor” merupakan posisi akademik tertinggi yang diperoleh melalui proses seleksi yang ketat di perguruan tinggi, namun belakangan ini menjadi bahan perbincangan setelah insiden seorang guru SMK yang memakai kalung bertema “Guru Besar”, yang seharusnya menjadi simbol prestise bagi para dosen berprofesi profesor.
Baca juga: Etika yang Luruh di Mulut Kekuasaan
Tindakan ini menimbulkan pertanyaan etis dan makna simbol akademik. Sehingga menimbulkan pertanyaan: apakah tindakan tersebut hanya sekadar ekspresi gaya, pelanggaran etik, atau merupakan penyalahgunaan simbol akademik? Apakah ini menunjukkan bahwa masyarakat mulai kehilangan inti penghargaan terhadap pencapaian intelektual yang seharusnya terjadi jika gelar yang diraih melalui riset bertahun-tahun dianggap hanya sebagai aksesori biasa?
Pihak sekolah berargumen bahwa tradisi ini merupakan budaya yang sah di dalam institusi. Prisilia selaku Kepala SMK Citra Bangsa Mandiri memberikan pernyataan, “Acara wisuda ini sudah ada sejak tahun 2013, jadi sudah lebih dari satu dekade. Itu menunjukkan bahwa ini adalah bagian dari budaya sekolah, dan kegiatan ini telah menjadi bagian dari kurikulum di SMK Citra Bangsa Mandiri Purwokerto. Wisuda ini adalah bentuk penghargaan dan apresiasi untuk siswa yang telah menyelesaikan pendidikan. Dan tidak ada regulasi yang melarangnya.”
Etika akademik seharusnya menjadi pedoman moral utama bagi para pendidik. Bagi para pengajar, hukum hanya merupakan batas minimal yang harus ditaati, sedangkan etika akademik berfungsi sebagai kompas moral yang menuntun setiap langkah dalam menjalankan amanat pendidikan.
Etika akademik menjadi panduan untuk perilaku dalam konteks akademis, baik untuk mahasiswa, dosen, maupun staf pendidikan lainnya. Etika akademik berfungsi untuk menciptakan suasana belajar yang sehat, jujur, dan bermoral, serta mengedepankan nilai-nilai akademik yang esensial seperti integritas, tanggung jawab, dan kejujuran.
Penyalahgunaan simbol akademik dapat merusak makna dan nilai intelektualnya. Dalam konteks komunikasi simbolik, tindakan ini dapat diidentifikasi sebagai distorsi makna, di mana simbol yang seharusnya merepresentasikan pencapaian akademik tertentu disalahgunakan untuk tujuan yang tidak sesuai. Oleh karena itu, diperlukan strategi komunikasi pendidikan yang lebih jelas dan transparan untuk mengembalikan rasa penghargaan yang tulus atas pencapaian intelektual.
Baca juga: Guru, Jangan Egois dan Arogan (Catatan Hari Guru)
Menurut undang-undang, gelar “Guru Besar” hanya diperuntukkan bagi profesor di perguruan tinggi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, sebutan “Guru Besar” adalah gelar resmi bagi para profesor di perguruan tinggi. Penggunaan gelar ini oleh guru SMK bisa dianggap melanggar Pasal 42 ayat (1) yang menyatakan bahwa gelar akademik hanya boleh digunakan sesuai peraturan yang berlaku.
Simbol alternatif seperti “Guru Inspiratif” dapat dipilih tanpa melanggar norma akademik. Jika guru ini ingin mempertahankan citra yang berbeda, ia dapat memilih simbol atau istilah lain yang tidak bertentangan dengan regulasi yang ada, semisal “Guru Inspiratif” atau “Guru Berdedikasi”. Ini sejalan dengan prinsip keselarasan dalam citra pribadi, di mana identitas harus mencerminkan nilai-nilai profesional. Kasus ini menjadi pengingat akan pentingnya menghargai proses akademik dan menjaga makna dari simbol-simbol pendidikan tersebut.
Penulis: Qurrota A’yuni, Dosen serta Ainun, Faatiyatuz Zahra, Zata Hilya Nafisah, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.