News  

Guru Besar IPB University Paparkan Strategi Peningkatan Produksi Udang Nasional

Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri M.S. menjadi narasumber Shrimp Talk: Mengenal Budidaya Udanf Lebih Dekat yang diadakan oleh JALA TECH secara daring, Selasa (20/6/2023). (Foto: Dok RD Institute)

 Milenianews.com, Bogor- Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri M.S. menjadi narasumber Shrimp Talk: Mengenal Budidaya Udang  Lebih Dekat yang diadakan oleh JALA TECH secara daring, Selasa (20/6/2023). Ia membawakan makalah berjudul “Industrialisasi Budidaya Udang Ramah Lingkungan untuk Menghasilkan Pertumbuhan Ekonomi yang Tinggi, Berkualitas, Inklusif dan Berkelanjutan”.

Dalam makalahnya, Prof. Rokhmin memaparkan strategi peningkatan produksi udang nasional dilakukan melalui beberapa program. Yakni, program revitalisasi tambak udang, program ekstensifikasi tambak udang (model klaster dan model mandiri), program ekstensifikasi tambak udanf  (klaster kolam bulat berbasis masyarakat), dan model klister budidaya udang rakyat untuk generasi milenial (dengan menggunakan teknologi kolam bundar).

Terkait program revitalisasi tambak udang, kata dia, tujuannya  untuk meningkatkan: (1) produktivitas, (2) efisiensi (keuntungan), (3) daya saing, dan (4) keberlanjutan (sustainability) setiap unit usaha tambak udang yang masih layak untuk direvitalisasi.

Teknologi  dan manajemen untuk mencapai tujuan: (1) skala ekonomi, (2) Best Aquaculture Practices, (3) ISCMS, dan (4) Environmentally Sustainable Development Principles.

ISCM  (Internal Supply Chain Management) — manajemen aliran barang internal dan jasa internal dan mencakup proses keseluruhan pengubahan bahan mentah menjadi produk akhir  — untuk petambak individual: Pemerintah membantu pengembangan kemitraan saling menguntungkan antara: produsen benur, produsen pakan, petambak, supplier, dan industri pengolahan.

“Caranya: dengan dikoordinir oleh Pokja Nasional, Bupati/Walikota disetujui Gubernur mengajukan unit-unit tambak udang yang layak untuk direvitalisasi di Kabupaten/Kota nya masing-masing, atau top down yang menentukan Pokja Nasional,” kata Prof. Rokhmin dalam rilis yang diterima Milenianews.com.

Terkait program ekstensifikasi tambak udang model klister, ia menjelaskan sebagai berikut: Lokasi: daerah (kawasan) relatif terpencil (remote areas); luas klaster dalam satu hamparan: 500 – 2.000 ha yang layak untuk dibangun hatchery, pabrik pakan, mini ice plant dan cold storage secara terpadu;  perusahan Inti bertanggung jawab memasarkan komoditas atau produk udang olahan ke pasar ekspor dan domestic; pola usaha: Inti – Plasma yang saling menguntungkan dan menghormati secara berkelanjutan, dimana Perusahaan Inti mengusahakan minimal 50% total luas tambak klister; pemerintah bertanggung jawab mencetak kawasan klaster tambak dan infrastruktur dasar (jalan, listrik, telkom, dan air bersih).

Terkait program ekstensifikasi tambak udang model mandiri, ia menjelaskan sebagai berikut: Lokasi: daerah (kawasan) dengan aksesibiltas tinggi ke sumber sarana produksi dan pasar, dan infrastruktur memadai; luas tambak individu mandiri: 5 – 50 ha per pengusaha.

“Pemerintah bertanggung jawab: (1) peyediaan kredit perbankan dengan bunga ralatif murah dan persyaratan relatif mudah, (2) pendampingan teknis dan manajemen, dan (3) penciptaan iklim investasi dan kemudahan berbisnis yang kondusif,” ujar Prof. Rokhmin yang juga ketua umum Masyarakat Akuakultur Indonesia  (MAI).

Ia juga membahas program ekstensifikasi tambak udang klister kolam buat berbasis masyarakat sebagai berikut:  Tujuan: mesejahterakan rakyat kecil dan pemerataan kesejahteraan; penerima manfaat: rakyat kecil dan kelompok milenial; luas: 4 ha per klaster; 2 ha untuk 60 unit kolam bulat, dan sisa lahan untuk kolam tandon, kolam sedimentasi, IPAL  (Instalasi Pengolahan Air Limbah)  dan prasarana.

“Peserta: 60 KK, setiap KK didampingi 2 sarjana atau lulusan Poltek (D3 – D4) akuakultur, dan setiap sarjana (D3, D4) punya hak usaha 2 unit serta bertanggung jawab sebagai pendamping 58 KK petambak,” tutur Prof. Rokhmin yang juga Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020-sekarang.

Ia juga menjelaskan model klaster budidaya udang rakyat untuk generasi milenial dengan menggunakan teknologi kolam bundar. Inovasi Teknologi Budidaya Udang itu sebagai berikut: teknologi kolam bundar dengan pemanfaatan teknologi berbasis industri 4.0  (automatic feeder, water quality monitoring,  nanobubble) yang dilengkapi aplikasi budidaya berbasis data (smart farming); skala ekonomi satu unit kolam bundar untuk mendapatkan pendapatan Rp 5 juta per bulan per pembudidaya adalah diameter 20 m ketinggian 1,5 m dengan kepadatan tebar 250 ekor/m2; dan pengelolaan usaha budidaya dilakukan dalam bentuk klaster, dimana skala ekonomi klaster minimal 60 unit kolam (60 pembudidaya).

Terus Meningkat

Sebelumnya, Prof. Rokhmin mengemukakan peran strategis buidaya udang bagi Indonesia yang terus meningkat. Yakni, permintaan (demand) dan harga udang sejak 1980-an sampai sekarang cenderung meningkat dan relatif stabil; dengan 99.000 km garis pantai (terpanjang kedua di dunia, setelah Kanada), Indonesia memiliki potensi produksi udang budidaya terbesar di dunia (FAO, 2010); Indonesia merupakan produsen dan pengekspor udang terbesar ke-4 sampai ke-2 terbesar di dunia.  Sekitar 80% total produksi udang Indonesia dari budidaya; sekitar 38% total nilai ekspor perikanan Indonesia (US$ 6 milyar) berupa udang (KKP, 2022); usaha budidaya udang (tradisional, semi-intensif, intensif, dan supra intensif) cukup – sangat menguntungkan; serta menyerap banyak tenaga kerja dan menghasilkan multiplier effects yang sangat besar.

Selain itu, lokasi usaha budidaya tambak udang di wilayah pesisir, perdesaan, dan luar Jawa à membantu mengurangi masalah disparitas pembangunan antar wilayah; budidaya udang is not ‘rocket science’ à Mayoritas rakyat Indonesia mampu menjalankan usaha budidaya tambak udang; dan budidaya udang merupakan SDA  (sumber daya alam) terbarukan à membantu terwujudnya pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

“Permasalahannya adalah industri pengolahan udang di Indonesia masih kekurangan bahan baku udang. Di satu sisi, harga udang lokal juga masih cukup tinggi dan kalah bersaing dengan udang impor. Selain itu, kurangnya bahan baku menjadi permasalahan utama yang dialami oleh unit pengolahan ikan (UPI) udang (dari total kapasitas sekitar 550 ribu ton/tahun, produksi udang lokal yang bisa masuk ke pengolahan hanya sekitar 350 ribu ton),” papar Prof. Rokhmin.

Merujuk data KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan), kata Prof. Rokhmin,   ada 2,8 juta ha potensi budidaya air payau, baru termanfaatkan 600 ribu hektar. Ada wilayah yang belum terkelola. “Bukan membuka lahan baru tapi mengoptimalkan lahan eksisting agar tak mengancam ekosistem mangrove. Karena nilai udang tinggi, perlu desain jangka panjang perlu belajar Vietnam. Perlu regulasi khusus sesuai daya dukung dan perlindungan HAM yang terlibat dalam tata niaga,”   ujar Prof. Rokhmin Dahuri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *