Cerpen  

Nisakala, Jogja dan Kamu Adalah Masa Lalu

cerpen Nisakala, Jogja Kamu dan Aku adalah masa lalu

Sebuah kisah yang sudah selesai kisahnya, tapi tidak dengan ceritanya.

“Sebenarnya, apa kamu percaya jikalau pertemuan kita adalah salah satu konspirasi dari semesta?”

Jalan Kaliurang, terlihat ramai oleh hiruk pikuk manusia yang berlalu lalang. Dengan segala kesibukkan mereka masing-masing tanpa peduli bahwasanya kala itu gerimis tengah mengguyur kota Yogyakarta.

Aku terduduk diam merenung, tepat di sebuah kedai kopi yang biasanya sering aku kunjungi, Kopi Kenangan namanya. Sesuai dengan nama kedai ini, aku yang setiap bulan saat kalender menunjukkan tanggal 24, selalu datang ke kedai ini, tanpa adanya absen satu kalipun.

Latte yang kupesan kian lama kian dingin, tanpa tersentuh sedikitpun, hanya aku pandangi sembari menikmati aroma petrichor yang menyeruak ke dalam indra penciumanku.

**

Sebelumnya, perkenalkan aku Arutala. Sandhika Arutala, nama yang diberikan bapak kepadaku tepat 18 tahun yang lalu saat ibu melahirkan ku ke dunia.

Samar-samar tedengar alunan musik dari kedai yang tengah aku tempati ini, alunan yang sangat familiar mengalun indah, dan tanpa sadar aku ikut menggumamkan lagu yang tengah diputar itu.

Sejujurnya, lagu ini sangat berbekas dalam memori, menghantarkan jutaan kenangan yang dari dulu sudah berusaha dipendam, ditumpuk oleh kenangan baru dan dilupakan bersamaan dengan memori yang dihapus.

Disaat yang bersamaan, mobil penjual kopi tiba-tiba melintas di depan kedai yang aku sedang singgahi, lantas membawa kembali kenangan tentang mokop—yang mana hanya aku dan dia yang tau dan mengerti tentang hal ini. Tak sadar bibirku naik, hingga menyunggingkan sedikit senyum saat mengingat memori yang tak sengaja terbawa kembali.

Ingatanku terbawa kembali ke masa dimana aku, bertemu dengan dia— orang yang membuatku datang ke kedai ini setiap tanggal 24. Adiksa Mangkubuwono namanya, pria kelahiran Yogyakarta yang aku temuin di kedai kopi kenangan saat itu.

Parasnya rupawan, dengan aroma yang cukup maskulin dan penampilan yang terkesan rapi yang menambah kesan dewasa pada dirinya, membuat siapa saja akan terpana oleh rupanya.

“Permisi mbak, kursi di depan mbaknya kosong?,” tanyanya saat itu kepadaku, bertepatan saat aku sedang menikmati segelas frapucino dan sepotong kue yang beberapa menit lalu di hidangkan oleh pelayan.

“Iya mas kosong, kenapa ya mas?,” tanyaku pada orang yang saat ini ada di depanku. Matanya teduh, dengan senyum ramah yang terus menempel pada parasnya, membuat aku terpaku beberapa detik.

“Saya mau ikut duduk boleh mbak? Kebetulan kursi yang lain penuh,” ia bertanya namun wajahnya menunjukkan ekspresi penuh harap agar aku mengizinkannya duduk tepat di depanku.

Kulihat sekelilingku saat itu, dan benar saja kedai sedang sangat ramai pengunjung dan pada akhirnya kuperbolehkan ia duduk dan berbagi tempat denganku.

“Terima kasih ya mbak, sebelumnya perkenalkan saya Adiksa Mangkubuwono.”

**

Sejak pertemuan sore hari di kedai itu kian lama aku dan Diksa- panggilan yang ku berikan untuknya-, menjadi semakin dekat. Tak jarang kami menghabiskan waktu bersama saat akhir pekan, entah hanya menonton ke bioskop atau hanya berkendara memecah hening jalanan Yogya di malam hari.

Aku masih ingat hari itu tanggal 24 Agustus, disaat ia menyatakan perasaannya padaku. Tepat ditempat pertama kali kami berjumpa dan di waktu yang sama pula.

Lagi, memori tentangnya kembali terputar di ingatan kala kencan pertama yang kami lakukan di rumahnya. Sederhana bukan? Sangat sederhana malah. Malam itu aku ingat betul tanggal 27 Agustus, saat aku pertama kali menapakkan diri di huniannya, kesan pertama yang muncul dalam pikiranku adalah kesan nyaman.

Kala itu secangkir coklat panas ia hidangkan bersamaan dengan sewadah popcorn dan soft cookies yang turut hadir di meja depan sofa yang saat itu kami duduki. Film Titanic terputar dalam televisi yang cukup besar.

Aku menyandarkan kepalaku pada bahunya yang kosong, sambil menikmati film yang teputar dan elusan di kepala yang membuatku kian nyaman berada di dekatnya.

“Mau makan ga? Aku pesenin gofood ya?,” ucapnya saat itu kepadaku, simple tapi berkesan. Ia sangat tau apa yang aku butuhkan bahkan ketika aku tidak memintanya.

“Mau, tapi jangan yang berat ya aku lagi diet soalnya,” aku menerima tawarannya, dengan sedikit permintaan yang terucap dari belah bibirku.

“Jangan terlalu sering diet ya cantik, gak baik buat kesehatan kamu,” pintanya sembari mengelus pelan kepalaku, pipiku memanas dan sepertinya saat itu kurasa pipiku kian memerah.

Ia beranjak dari tempat duduknya, meninggalkanku dengan secangkir coklat hangat dan popcorn yang sedang aku makan. Tak lama ia kembali bersamaan dengan gitar hitamnya yang kuketahui sering dia mainkan lalu mematikan film yang sedang aku tonton.

Tadinya, aku ingin marah melihat saat itu film sudah memasuki adegan klimaks. Namun, ku urungkan melihat gesturnya yang seakan ingin melakukan sesuatu dengan gitarnya. Petikkan alunan gitar mulai terdengar, dibarengi suaranya yang sangat lembut memecah hening di kala itu.

“Ada hati yang termanis dan penuh cinta

Tentu saja kan kubalas seisi jiwa

Tiada lagi

Tiada lagi yang ganggu kita

Ini kesungguhan

Sungguh aku sayang kamu”

Alunan lagu cantik yang saat itu populer di kalangan remaja, mengalun indah bersamaan dengan suara gitar yang membuat pipiku kian memanas. Aku diam, menikmati alunan suaranya yang mengalun indah dan meresapi setiap lirik yang terucap olehnya.

“Lagu ini tuh bohong tau gak, harusnya judulnya itu bukan cantik tapi arutala.” Tiba tiba ia berucap setelah menyelesaikan lagunya, aku yang sadar akan kalimat yang ia maksud berusaha menahan senyumku. Namun apa daya pipiku kian memerah dengan senyum yang terpatri jelas dalam rupaku kala itu.

Memoriku kembali terputar pada hari minggu, 1 Oktober. Saat kamu memutuskan untuk berkencan ke salah satu museum yang cukup terkenal. Museum Benteng Vredeburg, siapa yang tidak tahu dengan museum yang satu ini. Museum yang terletak di jalan Margo Mulyo ini saat itu kami jadikan tujuan untuk berkencan.

Menyusuri lorong museum yang dingin dengan tangan yang bertaut menbuat saat itu aku merasa hangat. Mendengarnya yang menjelaskan tentang sejarah yang ada di museum ini membuatku tak merasakan sedikitpun kebosanan yang seharusnya aku rasakan saat ini.

Selepas selesai menyusuri setiap lorong dan ruangan di museum saat itu, ia mengajak aku pergi ke kedai gelato yang terletak persis di depan museum. Suasana saat aku memasuki kedai, tidak terlalu ramai, sayup-sayup aku mendengar alunan lagu yang diputar kala itu.

Saat itu, kami duduk di meja pojok menghadap ke jendela yang langsung memperlihatkan jalanan yang ramai kala itu, dengan dua buah gelato rasa blueberry cheesecake dan blackforest tersaji di hadapan kami berdua.

Hanya ada sedikit obrolan kala itu, setelah selelai kami memutuskan pulang memecah gerimis sembari bersenda gurau di atas motor yang kami naiki.

Tanpa sadar, aku tersenyum mengingat memori manis yang barusan terputar dalam ingatanku, memori dari sosok Adiksa Mangkubuwono yang sekarang sudah tidak dalam genggaman.

**

Aku tak akan pernah lupa ketika saat itu 24 April setelah 1 tahun 6 bulan hubungan kami berlangsung, kata selesai terucap dari mulutku dengan lantangnya.

Sebenernya, alasannya sepele cukup sepele malah untuk ukuran hubungan yang telah lama berjalan. Saat itu aku masih ingat betul permasalahan yang kami perdebatkan hingga membuat hubungan ini kandas.

Kala itu, tepat saat hujan tengah mengguyur kota Yogyakarta, ketika aku dan Adiksa sedang berkencan di rumahnya. Seperti bisa kami menonton film, meminum coklat panas dan Adiksa yang selalu menyanyikan suatu lagu untuk aku dengar.

Saat itu, aku yang tengah melihat ponsel sambil memperhatikan linimasa media sosial, tertarik dengan suatu konten yang menurutku cukup lucu untuk dijadikan topik saat itu, spontan akupun langsung membuat video yang sama persis seperti apa yang aku liat di linimasaku beberapa saat yang lalu.

“Sayang sayang lihat deh,” ucapku sembari memperlihatkan kepadanya video yang baru saja aku bikin, dengan template sugar daddy yang saat itu sedang hits saat itu membuat raut wajah Adiksa terlihat tidak suka.

“Jelek, kayak pelacur,” ucapnya setelah melihat video yang aku tunjukkan kala itu. Aku yang spontan terkaget langsung menanyakan apa maksud kalimat tidak koheren yang ia ucapkan barusan?

“Maksud kamu apa Sa?,” tanyaku dengan wajah yang sudah terlihat kesal.

“Iya kayak pelacur tau gak kesannya kamu godain om om di video itu,” ucapan Adiksa.

Cukup untuk menyulut emosiku yang saat itu sedang tidak stabil, kalimat yang ia ucapkan tidak sepantasnya ia lontarkan pada kekasihnya sendiri.

“Itu cuman candaan loh Adiksa Mangkubuwono, dan lagi apa maksud kamu ngatain aku pelacur?,” ucapku dengan amarah yang sudah tersulut,

Hatiku cukup sakit saat ia mengatakan hal itu, tidak, bukan cukup sakit tapi sakit sekali mendengar hal yang tidak pantas diucapkan kepada seorang perempuan, justru diucapkan oleh kekasihku sendiri.

Perdebatan panjang tak terelakan saat itu terjadi. Aku yang emosi dan sakit hati berusaha membela diriku sendiri atas kejadian tersebut.

Tak lama aku mengucapkan kata selesai, bersamaan dengan layangan tamparan yang mendarat di pipi Adiksa kala itu.

Aku keluar dari rumahnya, tak perduli hujan lebat yang mengguyur Yogyakarta dan aku di malam hari saat itu yang aku pikirkan hanya pulang.

Pulang ke rumahku dimana aku mendapatkan tempat ternyamanku.

Lamunanku buyar bersamaan dengan memori tentang Adiksa yang perlahan menghilang. Kini di depanku sesosok pria dengan aroma yang khas, sangat aku kenali.

“Maaf ya sayang aku datengnya lama,” ucapnya dengan suara kenali.

Tanpa sadar senyum mulai tersungging di wajahku merespon ucapannya dengan anggukan kecil.

Dia Ardhitya, namun aku biasa memanggilnya Adit. Kekasihku yang sekarang dan jauh lebih baik dari Adiksa.

Sejujurnya aku bukan merindukan Adiksa, aku seringkali datang ke Kedai ini karena aku merindukan kenangan saat aku bersama Adiksa.

Aku sangat bersyukur pernah memiliki Adiksa. Namun aku jauh lebih bersyukur karena sekarang aku memiliki Adit.

Ada sesuatu yang sangat aku rindukan, entah itu kamu, cerita kita, atau kita yang telah lama usai.

Penulis : Herlin Aprilianty

 

Sobat Milenia yang punya cerita pendek, boleh kirimkan naskahnya ke email redaksi@milenianews.com, untuk dibagikan ke Sobat Milenia lainnya.

Jangan sampai ketinggalan info terkini bagi generasi milenial, segera subscribe channel telegram milenianews di t.me/milenianewscom.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *