Milenianews.com, Mata Akademisi – Penduduk Indonesia menjadi elemen penting dalam proses keberhasilan pembangunan negara. Tidak hanya sebagai objek, namun sebagai subjek pembangunan itu sendiri. Dengan bertambahnya angka kelahiran di setiap tahunnya, merupakan tugas pemerintah sendiri bagaimana cara untuk terus meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.
Sebagai manusia, kita terbagi dalam dua gender, laki-laki dan perempuan. Berbicara tentang gender di dalam masyarakat, biasanya digambarkan laki-laki dengan sosok yang kuat, yang bisa diandalkan, perkasa, tegar, dan rasional. Sedangkan perempuan, tergambar sebagai sosok yang lemah, penakut, emosional, dan pemalu.
Baca Juga : Pentingnya Pendidikan Bagi Perempuan
Sebenarnya, tidak ada batasan baik itu bagi perempuan ataupun laki-laki untuk berkarier, untuk berkarya, dan juga berproses. Keduanya punya hak dan porsi yang sama.
Akan tetapi di zaman sekarang yang tergolongnya sudah modern ini, masih banyak stigma masyarakat yang menyatakan bahwa tugas perempuan itu hanya di rumah, mengurus anak, mengurus suami, dan pekerjaan-pekerjaan rumah yang tidak berjenjang.
Contoh nyatanya orang-orang yang masih tinggal di daerah-daerah perkampungan dan pedesaan. Mungkin jika kita berbicara Jakarta dan kota-kota besar lainnya, stigma seperti itu sudah tergerus dan termakan oleh zaman seiring berjalannya waktu. Walaupun masih ada segelintir orang, yang tetap dengan pendiriannya dengan stigma seperti itu.
Berbicara tugas dan pekerjaan seorang perempuan atau feminis, mungkin dulu ada batasannya. Apalagi untuk para perempuan yang pekerjaan atau minatnya dibidang yang mayoritas di geluti oleh laki-laki seperti, di bidang mesin, sebagai ilmuwan, peneliti, dan lain sebagainya.
Tapi untuk sekarang, menurut saya, minoritas bukanlah sebuah batasan untuk perempuan melakukan pekerjaan yang diminatinya. Perspektif yang di ciptakan itu tergantung dari bagaimana cara kita menanggapinya.
Perihal isu ketimpangan gender, mungkin memang masih ada. Akan tetapi dengan semakin banyaknya perempuan-perempuan cerdas yang berani untuk speak up, maka itu bukanlah suatu hambatan lagi bagi perempuan.
Seharusnya bagi perempuan sendiri, dalam melakukan sesuatu jangan memperhitungkan faktor gender dan jangan merasa bahwa apa yang kalian lakukan itu berbeda agar tidak ada rasa merendahkan kemampuan sendiri. Karena kebanyakan kesuksesan itu, berkorelasi positif terhadap laki-laki dan berkolerasi negatif terhadap perempuan.
Sehingga pada akhirnya, ada kecenderungan untuk perempuan tidak terlalu menonjol dalam melakukan sesuatu karena perspektif itu tadi. Kemudian ada kecenderungan perempuan menarik diri tidak mau menunjukkan kesuksesannya karena ada pandangan dan stereotype-stereotype seperti itu.
Dan itu menjadi tantangan kita semua sebagai perempuan muda dari kalangan generasi milenial dan gen z. Lakukan apa yang menurut kalian bisa memberikan dampak positif bagi yang lainnya sebagai perempuan. Tidak ada salahnya untuk melakukan pekerjaan yang dikerjakan laki-laki selagi mampu, why not? Karena kita semua berhak melakukan apa yang kita inginkan selagi itu tidak mengganggu diri kita dan orang lain.
Selain dari itu, banyak masyarakat yang mengatakan bahwa kodratnya perempuan itu di dapur, di sumur dan di kasur. Tetapi saya lebih setuju dengan statement yang dikeluarkan oleh mbak Nazwa Shihab yang mengatakan bahwa kodrat perempuan itu hanya ada 3, haid, hamil dan menyusui. Selain daripada itu bukan kodrat. Laki-laki bisa memasak, laki-laki bisa mencuci, laki-laki bisa bersih-bersih, jadi bukan kodrat perempuan melakukan kegiatan rumah tangga.
Kembali ke masyarakat pedesaan yang masih banyak menganut paham patriarki. Hal seperti itu aneh bagi mereka bahkan sering dianggap jadi perempuan kok gak bisa apa-apa.
Di keluarga saya sendiri saja, jika saya pulang kampung pasti selalu ditegur oleh beberapa saudara saya, “ngapainsih sekolah tinggi-tinggi, toh ujungnya juga layanin suami buat masak, memang di sekolah diajarin apa?“…. Selalu seperti itu dan jika saya menjawab saya dibilang ngelawan ujungnya gini “Percuma sekolah tinggi-tinggi kalo sama yang lebih tua berani ngelawan”. Just the same.
Memang, yang paling tepat dilakukan hanyatersenyum kepada mereka yang menertawai. Tunjukkan bahwasanya kalian sebagai perempuan yang bukan tinggal di kota besar itu, bisa melakukan apa yang kalian mau dan kalian bisa.
Susah jadi perempuan itu, pulang malam di bilang perempuan gak bener, hari libur bangun siang di bilang males, kerja pakai handphone di bilang main HP terus gak ada kerjaan. Giliran bangun pagi, bersih-bersih, rajin dibilang tumben.
Perempuan yang mengambil peran banyak dianggap mendominasi, bahkan mendapat cacian atau makian. Tidak sedikit perempuan yang menganggap rendah dirinya sendiri karena terdoktrin oleh asumsi-asumsi masyarakat yang belum tentu itu benar adanya.
Baca Juga : Menalar Kekerasan Terhadap Perempuan
Mereka perempuan yang berani unjuk diri bahkan sering kali dihindari, bahkan banyak menuai cibiran juga. Banyak yang harus diperbaiki, tapi kita harus mulai dari diri sendiri tidak ada yang lebih tahu siapa perempuan, selain kita sendiri sebagai seorang perempuan.
Harga diri tidak ditentukan oleh orang lain, melainkan dari diri kita sendiri, yang tahu kekuatan dan kekurangan diri sendiri. Dan yang terpenting paham dengan apa yang hendak dikejar dan direallisasikan. Perempuan harusnya saling bergandeng tangan bukan saling menjatuhkan.
Penulis : Nur Khofifah Duta kebudayaan Ekologi DKI Jakarta, Mahasiswa Universitas Nusa Mandiri Jakarta
Jangan sampai ketinggalan info terkini bagi generasi milenial, segera subscribe channel telegram milenianews di t.me/milenianewscom.