Sahabatku, Madu-ku

sahabatku Maduku

Banyak yang harus kuceritakan padamu mas, tentang kita, tentang dunia dan tentang harapan yang pernah kau janjikan padaku 5 tahun lalu saat kau ucapkan ikrar itu dihadapan penghulu dan puluhan pasang mata yang menatap kita dengan berjuta kata bahagia penuh keberkahan. Mas, hingga saat ini masih lekat dalam ingatanku, manisnya bisik cinta yang hampir setiap pagi kau ucap lirih di telingaku, dan tiap hari pula aku selalu ceria penuh semangat menyambut mentari pagi dan bergelut dalam waktu hingga larut malam, itu karena satu sebab, bisik kata romantis penuh cinta yang selalu kau ucapkan padaku ketika aku membuka mata di waktu pagi.

Mas, masih ingatkah kenangan manis kita waktu kau datang melamarku dengan sejuta kata cinta dan kau memintaku untuk setia selalu mendampingimu sampai menutup mata, bahkan kau berjanji untuk hidup bersamaku selamanya, di dunia dan kelak di surga bersamamu. Mas masih ingatkah berapa buah hati yang kau minta dariku, dua, tiga, lima atau tujuh, bukan sebanyak itu tapi lebih banyak lagi, sebelas anak yang kau pinta, karena kau meyakini dengan banyak anak akan berlimpah pula rizki yang akan Allah berikan buat kita. Dan aku siap untuk menjadi ibu dari sebelas anak-anakmu.

Mas masih ingatkah pula akan kita bina menjadi siapa dan bagaimana jundi-jundi kita nantinya. Sejuta rencana yang penuh kasih dan cinta yang akan kita rajut hingga akhir nanti, membuatku sungguh yakin dan percaya kau mampu menjadi nahkoda bahtera kapal kita di samudra luas melewati ribuan kilometer gunung es yang akan menjadi ujian perjalanan romantis kita. Mas, apa kamu lihat malam ini ada purnama?? masih ingatkah kamu jika bulan cantik itu bersinar penuh menghiasi langit malam, kamu terbiasa mengajakku naik ke lantai atap rumah kita yang memang sengaja kamu buat dalkon khusus untuk menikmati malam bersama cantiknya sinar bulan ketika purnama, sambil kau peluk aku dan berkata “jadilah penghibur dikala dukaku, jadilah pendampingku di dunia ini dan di surga nanti, kau adalah belahan jiwaku, bidadariku, dan kau adalah perempuan yang kupercaya menjadi ibu untuk anak-anakku, madrasah pertama buat mereka jundi-jundiku. Bahagia bersamamu menjadi tujuan dalam hidupku, aku percaya dan akan tetap setia pada satu hati. Mas, kamu adalah laki-laki terbaik yang dikirim Allah untukku dan aku bahagia berjodoh denganmu.

Lima tahun sudah, banyak kisah indah yang sudah menjadi cerita romantis kita lalui. Mas, aku tau dua tahun terakhir ini bagaimana letihnya kamu menghadapi berbagai persoalan yang menjadi ujian dalam karirmu. Hampir setiap pekan kau pulang larut malam, lelah dan letihmu tersirat dalam raut wajahmu. Aku tak kuasa jika ingin berbagi cerita tentang waktu yang telah berlalu bersamaku di tiap hariku yang tanpamu, dan hampir setiap hari, aku hanya bisa bertemu kamu di akhir waktu dan itu pun kau gunakan untuk rehatmu, aku benar-benar tak kuasa untuk mengajakmu hanya sekedar duduk santai sambil menikmati secangkir teh hangat karena aku tak ingin mengganggu waktu istirahatmu hanya untuk mendengarkan beberapa cerita tentang waktu yang telah kulewati tanpamu. Meski terkadang aku juga butuh kamu, untuk mengurangi sedikit gundah yang membuncah di dadaku, aku ingin menumpahkan semua resah yang telah menumpuk dan menjadi sesak, mas aku ingin bercerita tentang kita dan tentang mimpi kita yang dulu pernah kita buat. Mas aku ingin melepas lelah ini bersamamu, dan aku pun juga ingin menjadi bagian dari letihmu, kita bisa saling memberi semangat dan energi baru untuk kembali tegak berdiri menyambut hari dan menyelesaikan setiap masalah yang menghalangi perjalanan kita. Mas bisakah kita sejenak saja berhenti dari segala aktivitas kita yang penat ini??

Mas Pras adalah laki-laki sederhana yang penuh semangat dan selalu optimis, dia adalah laki-laki yang sangat bertanggunjawab dan punya komitmen, prinsip nya juga teguh, dan yang paling penting buatku adalah setia pada satu cinta, dan akulah labuhan cintanya yang paling indah dan tak tergantikan, begitu katanya padaku. Sebenarnya yang buatku tertarik bukan hanya itu, yang aku yakini adalah Mas Pras mampu menjadi imamku yang bisa membawaku ke kehidupan abadi di surga. Mas Pras adalah anak tunggal dari keluarga Sultan Hadidjojokusumo. Keluarganya cukup terpandang di Kabupaten Karang Asem, tapi Mas Pras tidak pernah menganggap dirinya itu seperti ningrat yang harus dihormati dan disanjung-sanjung, bahkan iya tidak pernah memamerkan keningratannya, Mas Pras selalu tampil sederhana dan apa adanya. Dulu waktu perkenalan dengannya aku memang sempat tertipu dengan tampilannya yang sederhana, makanya aku berani menerima lamarannya, karena aku pikir kita adalah dua keluarga yang memiliki latar belakang sama, hidup sederhana dan apa adanya, selalu bersyukur atas segala nikmat yang telah kita miliki. Dan Mas Pras juga tidak pernah perpakaian yang mewah-mewah, dia juga sederhana gaya berpakaiannya. Karena itu pula aku sangat mengaguminya. Seminggu setalah dia melamar aku, keluarganya baru datang ke rumah aku, dan di situlah aku baru tau jika keluarganya adalah keturunan ningrat, tapi Ayah nya selalu berpesan bahwa keluarganya bukanlah siapa-siapa dan beliau sangat senang Pras sudah mampu memilih pilihannya sendiri, dan mampu membuat keputusan besar dalam hidupnya. Ayahnya pun sangat sayang padaku hingga saat ini. Hampir setiap pekan beliau juga bertanya kabarku, kabar Mas Pras kepadaku melalui telepon, tapi yang paling beliau harapkan adalah datangnya calon generasi penerus, seorang bayi kecil yang dinanti. Namun untuk seorang cucu tidak hanya dari mertuaku saja, orang tua kandung ku pun sebenarnya juga sangat menantikan hadirnya bayi mungil yang akan membawa suasana lebih bahagia lagi dalam keluargaku. Dan hal ini juga yang menjadi salah satu beban yang mengendap di otak ku, sudah lima tahun aku menikah dengan Mas Pras tapi hingga hari ini aku belum juga diberikan amanah itu, aku belum dipercaya oleh Allah.

Mas Pras terlalu sibuk dua tahun terakhir ini, kesibukkannya itu semakin bertambah ketika tanggungjawabnya menjadi bertambah di kantor, setelah dia mendapatkan promosi jabatan selaku Manager, dan aku tak mampu bercerita tentang beberapa hal yang harus aku terima dan dia pun perlu tau. Dua pekan lalu, aku memang sengaja datang ke dokter spesialis untuk berkonsultasi tentang sesuatu yang kurasa dalam tubuh ini, dan juga tentang kegalauanku yang hampir memasuki usia pernikahanku yang ke enam ini aku belum juga diberikan keturunan dan beberapa tanda yang dinanti pun tak kunjung datang, aku semakin penasaran jika melihat beberapa teman seangkatanku sudah menggendong bayi-bayi mungil mereka, aku sedih tapi tak mampu menangis, dan aku putuskan untuk bertemu dokter spesialis tanpa harus berunding dulu dengan Mas Pras. Karena aku memang tak tega jika melihat Mas Pras pulang kerja, sepertinya dia sudah terlalu lelah dan letih.

Sesuai dengan janji yang telah aku buat dengan dr. Rara hari jumat setelah makan siang sekitar pukul satu aku datang untuk berkonsultasi tentang kegalauan hati ini. Rara adalah sahabat aku sewaktu SMA, dia adalah sahabat terbaikku dan yang sangat mengerti tentang sifat dan beberapa prinsip aku yang sangat kuat dan sedikit keras kepala. Rara juga sudah kenal baik dengan keluargaku, sejak SMA dia sudah sering main dan kadang menginap di rumah, tapi sejak aku menikah aku memang jarang bertemu dengannya namun kami tetap berkomunikasi melalui bbm atau telepon. Dan untuk soal kegalauan aku kali ini, sudah sejak lama secara tidak langsung aku sharing dengannya, tapi baru kali ini aku secara langsung bertemu dengan Rara. Rara memang sengaja memintaku datang setelah makan siang sesudah jadwal praktiknya selesai, maksudnya agar aku bisa leluasa sharing dan berkonsultasi juga sedikit bernostalgia tentang masa-masa di SMA.

Rara belum menikah hingga saat ini, bukan karena belum ada yang memintanya untuk menjadi istrinya tapi alasan yang sama selalu dia lontarkan untuk menunda pernikahan, dia selalu bilang “aku belum siap jadi ibu”. Dengan alasan ketidaksiapannya menjadi seorang ibu itu pula dia beberapa kali ditinggalkan oleh calon pendampingnya dan kini dia memilih untuk sendiri sampai dia merasa siap untuk menjadi ibu. Usia dr. Rara hanya terpaut beberapa bulan dengan usiaku yang tahun ini berusia tiga puluh dua tahun. Di usia sekarang Rara belum memikirkan untuk menikah tapi aku sudah galau karena tak kunjung diberikan anak sebagai titipan dari Allah.

Bagaimana Ra hasil pemeriksaan kamu pada tubuhku?? Apa yang dapat kamu simpulkan?? Apakah aku bisa punya anak?? Apakah aku bisa menjadi perempuan yang sempurna?? Aku berondong dr. Rara dengan sederet pertanyaan yang satu pun belum sempat dijawabnya, hingga aku tertegun dan terhenti sejenak untuk mencoba mengontrol emosi dan menenangkan pikiranku. Tak lama Rara memberikan jawabannya, “kita bertemu lagi ya sekitar sepekan lagi”, “lhoh, ada apa Ra??” kataku bertanya lagi, “adakah permasalahan yang serius?”, dr. Rara kemudian menjawab “beri aku waktu atas hasil data yang aku terima hari ini, biar aku teliti dahulu secara seksama, supaya kamu dapat hasil yang maksimal”, begitu katanya. “Terus kira-kira hasilnya nanti apa?”, “aku belum bisa memprediksi sekarang dong, kan datanya aja baru aku terima sekarang, seminggu lagi ya, sabar ya, dan teruslah berdoa dan meminta pada Sang Maha Pencipta”, seperti itu dia menyemangati aku. “apa harapan itu masih ada, Ra?”. “kamu yang lebih pandai soal agama, bukankah Allah Maha Berkehendak, dan Allah juga pasti akan mengabulkan doa-doa hambaNya yang bersujud padaNya”. Kembali dr. Rara mengingatkan aku tentang beberapa sifat Allah Yang Maha Tinggi. “oke baiklah kita tunggu hasilnya pekan depan, doakan aku ya Ra, aku sudah mulai kesepian dan ingin sekali mendengar suara tangis bayi buah cintaku pada Mas Pras, aku lelah Ra, aku lelah menanti, usiaku juga sudah tidak muda lagi, aku khawatir jika semua tidak lancar, tubuhku juga sudah terlalu letih”. Dan tak terasa butir-butir air mata mengalir deras di pipiku, dr. Rara pun memeluk tubuhku erat. “Sabarlah, Samha, tawakal pada Allah”.

Seminggu sudah berlalu, aku memang belum kembali ke dr. Rara, meski dia sudah menelponku untuk membuat janji bertemu dengannya nanti siang setelah makan siang, tapi aku hari ini tidak bisa karena harus meeting dengan beberapa kolega, mungkin pekan depan aku akan membuat janji bertemu dengan dr. Rara. “Samha, hari ini bisa bertemu di klinik?” terdengar suara perempuan yang sudah sangat aku kenal di ujung telepon sana, “Ra, maaf hari ini aku ada meeting penting dengan relasi dari Jepang, mungkin minggu depan aku telepon kamu untuk memastikan ya, maaf ya, terima kasih atas bantuannya”. Meski di lubuk hati ku yang terdalam ada terbesit tanya, dan rasa penasaran atas hasil pemeriksaan pekan lalu, namun aku tak mungkin meninggalkan meeting kali ini, ini penting sekali. Hingga meeting ini mengalahkan pentingnya hasil pemeriksaan yang saat aku nanti.

Walau sudah seminggu aku konsultasi dengan dr. Rara dan seharusnya aku terima hasil hari ini, tapi aku belum juga bercerita tentang hal ini pada Mas Pras. Masih saja dipikiranku tak tega jika harus menyita waktu istirahat mas Pras dengan hal-hal yang belum pasti seperti ini. Tapi mungkin bukan hanya tak tega, aku lebih pada tidak siap menerima sebuah kenyataan buruk nantinya. Aku tidak siap jika hasil pemeriksaan itu benar-benar menyatakan bahwa aku tak mampu memiliki keturunan dan aku lebih tak siap jika akhirnya Mas Pras harus berbagi hati dengan perempuan lain, aku takut kehilangan itu semua dan pasti aku akan hancur, aku tak siap untuk itu.

Meeting hari ini pun sampai selepas maghrib baru selesai, tapi sungguh konsentrasiku pada pekerjaan hari ini benar-benar buyar, pikiranku melayang-layang tanpa fokus pada satu masalah. Pukul sembilan malam aku baru tiba di rumah, dan tidak seperti biasanya Mas Pras sudah ada di rumah, dia sedang asyik bersantai sambil menonton acara televisi, dan ada sedikit gentar di dalam hatiku, segumpal awan hitam sudah mulai terhimpun di kelopak mataku, hatiku seperti terkoyak-koyak, ingin kupeluk dia, tapi ku tak mampu, entah apa yang mampu menghalangiku hingga ku hanya mampu berucap “Assalamu’alaikum, Mas”. “Wa’alaikumsalam istriku, sholehah, apa kabarmu hari ini?”, “bersih-bersih dulu sana wahai istriku cantik, air panasnya sudah aku siapkan di bak mandi, nanti setelah mandi kita makan bersama ya, aku masih menunggumu untuk makan malam bersama”.

Begitu romantisnya suami menyambutku malam ini, dan hal-hal kecil seperti ini semakin membuatku sedih karena aku takut menerima kenyataan jika harus berpisah dengannya. “Baiklah, aku mandi dulu ya, maafkan aku karena Mas harus menunggu aku hari ini”. Setelah mandi aku segera menemui suamiku yang masih menungguku di depan televisi. “Mari duduk di sini, istriku sholehah, duduk di dekat aku, aku ingin memelukmu, sudah lamakan kita tidak santai seperti ini, maafkan aku ya bidadariku, aku terlalu sibuk dengan proyek ku di kantor dan kita tak bisa ngobrol santai seperti ini”.

Sambil meraih tanganku, memelukku dan mengajakku duduk di sebelahnya kemudian dia mencium keningku hangat dan lama sekali, hingga tak terasa air mata berlinang dan mengalir dengan derasnya. “Sholehah cantik kamu kenapa, koq menangis?, maafkan aku, karena belum bisa membahagiakan kamu”. Sambil dia terus memelukku, tapi semakin jadilah aku menangis laksana anak kecil kehabisan permennya.

“Mas, aku yang harusnya minta maaf karena aku belum bisa menjadi perempuan yang sempurna dengan memberikan keceriaan di rumah kita akan kehadiran jundi-jundi yang kamu inginkan, sebelas anak yang kamu minta belum satu pun terkabulkan, sedang usiaku sudah semakin menua”. Sambil terus mengalir air mataku. “Istriku sholehah, apa kamu lupa akan janji Allah, Allah akan mengabulkan doa-doa hambaNya yang terus bertawakal dan yakin dengan ketetapan Allah”. Mas Pras memang laki-laki hebat dan sholeh, aku sangat beruntung menjadi istrinya.

“Sudahlah sayang, tenangkan dirimu, nanti di sepertiga malam kita mengadu lagi dengan Sang Pemilik Kehidupan ya, sekarang mari kita makan malam, tadi aku beli ayam bakar madu kesukaanmu”. Mas Pras terus menghiburku. Tapi di sisi hati ku yang lain, masih ada rasa gundah yang sangat dan itu mengganggu pikiranku. Setelah makan malam, aku dan Mas Pras berbincang lagi sebentar tapi yang ini membicarakan tentang liburan yang sengaja direncanakan olehnya untuk me-refresh kepenatan dan merayakan ulang tahun pernikahan kami yang ke enam dan setelah itu kami beristirahat, tak lupa Mas Pras mengingatkan untuk membuat alarm tahajud pukul tiga pagi.

Seminggu setelah malam itu, aku kembali bertemu dengan dr. Rara untuk mengetahui hasil dari pemeriksaan yang sudah aku lakukan dua pekan lalu. Dan hasilnya dijelaskan secara detail oleh dr. Rara, menurut penjelasannya yang detail itu, hasil semua pemeriksaan aku negatif yang artinya aku baik-baik saja, hanya waktu belum tepat buat aku.

“Ini hasil pemeriksaan kamu, dan kamu baik-baik saja Samha, kamu sehat seratus persen, kamu perempuan sempurna yang bisa memiliki anak sebelas atau lebih bahkan, tak ada yang mengganggu kesehatanmu, kamu bisa tenang sekarang, dan tetaplah bersabar dan terus berdoa, pintalah terus pada Sang Pencipta Kehidupan ini”. Rara terus menyemangatiku dan mengingatiku bahwa Allah tidak tidur dan Allah Maha Pengabul segala doa hambaNya yang bersujud. “Apa kamu yakin Ra?, Alhamdulillah aku baik-baik saja, tapi itu hasilnya bisa dipercayakan?”. Aku masih saja ragu akan hasil yang sudah aku terima. “Iya, sahabatku sholehah, teruslah berusaha dan yang terpenting kamu juga harus jaga kesehatan ya”. “Terima kasih ya Ra”.

Sebulan kemudian…..

Aku dan Mas Pras pergi berwisata ke Pulau Bidadari. Tapi tetap saja pikiran ku pada hal yang sama, terlintas dalam benak ku. “Mas, bagaimana jika kamu menikah lagi?, aku yang mencarikan calonnya ya?”. Lirih kusampaikan pada Mas Pras apa yang terlintas dalam benak ku, sontak Mas Pras tersedak dan sempat kaget terlihat di raut wajah nya. “Apa yang kamu katakan, sayang. Sudahlah jangan pikirkan itu lagi, kita di sini untuk bersantai dan menghilangkan kepenatan, jangan racuni pikiran kamu dengan hal-hal aneh ya”. Mas Pras mengomentari usulku tadi dan tetap memintaku untuk menikmati liburan ini dengan santai. Mas Pras begitu romantis, masih sama rasanya dengan waktu pertama kali berbulan madu, Mas Pras begitu mencintaiku dan sangat menyayangiku, dia tidak pernah merasa kecewa atau pun bersedih dengan masalah anak yang hingga kini belum juga diberikan oleh Allah. Untuk sementara aku tidak lagi membicarakan soal ide aneh tadi, tapi rencana itu tetap aku pikirkan dan tersimpan rapat di dasar hati.

Sepekan kami berwisata di Pulau Bidadari dan menikmati panorama alam yang indah di sana, sedikit bisa me-refresh kepenatan pekerjaan. Dan sesampainya di rumah, kini semua aktivitas kembali normal. Seperti biasa aku tiba di rumah tepat pukul lima sore, dan seperti biasa pula aku bereskan rumah, bersih-bersih dan memasak, setelah itu mandi dan tepat waktu isya Mas Pras tiba di rumah.

“Mas, silahkan mandi, air hangatnya sudah aku siapkan dan ini handuknya”. “Terima kasih istriku sholehah”. Sambil menunggunya mandi, aku menyiapkan sajadah dan mukena untuk sholat isya berjamaah dengan suamiku tercinta. Selesai sholat aku ajak suamiku untuk makan malam. Dan selepas merapikan meja makan kami bersantai di depan televisi. “Mas, mau kah kamu menemani aku melihat purnama malam ini?”. “Oh, malam ini purnama ya, aku lupa sayang, mari aku temani menikmati indahnya bulan di dalkon atas, mau aku gendong?”. “Tidak perlu mas, aku sekarang berat, kita bergandengan tangan saja yaa”. “Woww……..”. Dan Mas Pras takjub sesampainya di atas, di dalkon sudah siap semua, di atas meja kecil ada dua cangkir teh plus dengan kue-kuenya. “Ternyata kamu sudah siapkan kencan kita malam ini, sayang”. “Iya Mas, aku ingin melewati malam indah ini denganmu”.

Sambil menikmati indahnya purnama, aku sampaikan niatku untuk mencarikan calon istri buat suamiku tercinta ini, aku sudah menemukannya dan tinggal menawarkannya pada Mas Pras ku. “Mas, menikahlah dengan dr. Rara, dia adalah sahabat terbaikku, dan aku sudah sangat mengenalnya, dia adalah gadis pandai dan juga cantik, dan yang pasti dia bisa membantuku untuk mewujudkan mimpi kita dengan sebelas anak yang lucu-lucu”. “Apa yang kamu pikirkan istriku, apa kamu siap berbagi cinta dengan madu mu, yang dia adalah sahabatmu sendiri?, aku mencintaimu dan tak pernah kecewa sedikit pun dengan sifat mu, kamu adalah bidadari sholehah yang akan aku jadikan pendampingku kelak hingga ke surga, apa kamu siap jika aku harus berbagi cinta dengan bidadari lain?”. Mas Pras terus memberikan banyak pertimbangan dan gambaran jika ide aneh itu aku wujudkan. Dengan berbagai penjelasan dan beberapa konsekuensi, akibat baik dan buruknya yang aku jelaskan ke Mas Pras, akhirnya dia menerima ide yang aku anggap ini adalah jalan terbaik, dan aku yakin dengan berpoligami bukan akan mengurangi rizki atau pun cinta Mas Pras, tapi yang kuyakini ini semua akan membukan pintu-pintu rizki yang lain.

Sepekan kemudian aku mengajak dr. Rara main ke rumah, dengan sebelumnya sudah aku jelaskan ide berpoligami ini, dan memilih Rara sebagai madu ku, serta mengajaknya untuk tinggal bersamaku, untuk menjadi istri dari suamiku tercinta. Sebelumnya Rara memang menolaknya bukan karena dia anti poligami, tapi dia tidak ingin kehadirannya hanya akan menjadi duri dalam daging di rumah tangga ku, aku beri dia penjelasan, bahwa kehadirannya bukan menjadi duri tapi menjadi madu ku yang terbaik, dan aku jelaskan pula misi pernikahanku dengan keinginan Mas Pras, dan aku jelaskan pula ini adalah permintaanku pada suamiku, bukan karena Mas Pras tidak lagi menyayangiku dan tidak mencintaiku, dan terakhir aku sampaikan juga pada Rara, bahwa aku yakin Rara bisa membantuku mewujudkan mimpiku bersama Mas Pras dengan memiliki jundi-jundi yang hebat dan pintar. Dan nanti pada akhirnya itu juga menjadi bagian dari mimipi Rara untuk hidup bahagia bersama dengan mendidik anak-anak menjadi orang-orang hebat.

Setelah seminggu perkenalan itu, akhirnya akad pun berlangsung khidmat. Baik keluargaku maupun keluarga Mas Pras tidak ada yang keberatan, meski mungkin ada sedikit perih di lubuk hati terdalam ibuku, harus melihat anaknya berumah tangga dengan berpoligami dan ini atas rancangan putri kandungnya semata wayang ini. Semua sudah aku berikan penjelasan dan mereka menerimaku, dan menyerahkan semua keputusan pada ku. Dan pernikahan kedua suamiku pun berlangsung sederhana, aku yang menyiapkan sendiri semua kebutuhan acara pernikahan ini, Alhamdulillah semua lancar dan berjalan baik. Tidak ada halangan, semua berjalan sesuai rencana dan InsyaAllah, Allah meridhoi pilihanku ini, dan aku yakin Allah akan melimpahkan rezeki yang banyak pada keluarga baru ku ini.

Tiga bulan setelah pernikahan suamiku dangan dr. Rara, aku mendapatkan kabar baik dan bahagia, apa yang selama ini aku ragukan, menjadi sebuah keajaiban. Aku yang dinyatakan sehat dan baik secara fisik dari pemeriksaanku terdahulu dengan dr. Rara terbukti, kini aku hamil, aku mengandung buah cintaku dengan Mas Pras. Rara sendiri yang memeriksa ku, karena sudah dua pekan ini setiap pagi aku muntah-muntah, dan tubuh ku lemas, lalu Rara meminta ku untuk melakukan tes, dan USG rahim aku, dan ternyata prediksi Rara benar, aku hamil, aku morning sick. Sujud syukurku atas segala keajaiban dan mukjizat yang aku terima ini, aku akan menjadi seorang ibu, menjadi seorang perempuan yang sempurna. Segera aku sampaikan kabar baik ini ke suamiku tercinta, yang kebetulan dua hari lalu ia baru saja pergi dinas ke Belitung, ada proyek yang harus ia pantau di sana. Aku telepon Mas Pras, dan kusampaikan kebahagiaan ini, Mas Pras yang menerima kabar ini pun seketika itu langsung bertahmid berkali-kali, karena ia pun turut bahagia dengan kehadiran calon bayinya ini.

“Apa kamu bahagia Samha??” pertanyaan ini tiba-tiba terlontar dari Rara memecah keheningan ketika kami berdua sedang duduk bersantai di halaman belakang rumah sambil menikmati indahnya warna warni bunga yang kami tanam di taman belakang rumah kami. Rara dan aku di kala santai memang senang bercocok tanam, khusus nya menanam bunga-bunga cantik warna warni. Rara adalah sahabatku sekaligus madu ku, kami memang akrab dan saling menyayangi, memiliki hobi yang sama pula.

“Alhamdulillah, aku bahagia Ra. Karena di tengah-tengah kebahagian kita nanti akan terdengar suara tangis dan tawa bayi, rumah kita akan semakin ramai Ra, akan ada sebelas anak-anak kita”. Tapi kulihat di wajah madu ku itu ada satu hal yang tersembunyi dan guratan di wajahnya tampak tidak ceria. “Ada apa Ra?, apa ada yang salah dengan ku?”. “Kamu akan bahagia Samha, tanpa aku di sini, karena memang sebenarnya dari dulu kamu sehat dan bisa hamil, aku salah telah menjadi madu mu dan berada di tengah-tengah kebahagiaan kalian”. Sambil tertunduk, tiba-tiba saja Rara bertutur seperti itu, dia seperti menyesal dan menyalahkan dirinya telah menjadi istri kedua suami ku.

“Dulu aku yang meminta mu untuk menjadi istri dari suami ku, Ra, kamu tidak pernah salah”. “Jelas aku salah karena menerima tawaran kamu, Samha”. “Mas Pras sangat mencintai kamu, Samha”. “Tiap kali dia bersama ku, pasti yang dibicarakan hanya kamu, kamu beruntung memiliki suami seperti dia, Mas Pras sangat sabar dan sholeh, dia pantas menjadi nahkoda kapalmu ini, dan kehadiranku hanya menjadi benalu buat kalian, meski aku tak pernah merasa menjadi cadanganmu, meski aku juga bahagia menjadi madu mu, tapi seperti nya aku sudah tak layak lagi untuk tinggal bersama kalian di sini, sepulangnya Mas Pras dari dinas nanti, aku akan memintanya menceraikan aku”.

Panjang lebar Rara menjelaskan perasaannya dan niatnya untuk meminta cerai dari Mas Pras. “Apa yang kamu katakan Ra!! Kamu sama sekali bukan benalu buat kehidupan ku, kamu adalah sahabat terbaikku, kamu adalah istri sah dari suamiku, dan aku juga sayang kamu Ra, bukankah cerai suatu hal yang paling dibenci Allah, kenapa harus kamu meminta cerai dari Mas Pras, apa kamu tidak bahagia??”. Aku peluk Rara dengan penuh cinta, meski dia adalah madu ku, tapi aku tak pernah sedikit pun merasa tersaingi atau cemburu dengannya, karena aku memang juga sayang dengan Rara, dia sudah menjadi sahabatku sejak SMA dan kami sudah saling memahami dan mengenal sifat masing-masing.

Rara menangis dipelukanku sambil berbisik, “Aku bahagia menjadi madu mu Samha, aku juga bahagia menjadi istri dari Mas Pras, tapi aku tidak bisa memaksakan cinta ini pada Mas Pras, kita tidak boleh dzalim dengannya, dengan meminta dia mencintaiku juga, Mas Pras tidak bisa mencintaiku, karena di hati nya hanya ada kamu, Mas Pras tidak bisa menjadi imam ku karena makmum nya hanya kamu”. “Aku semakin tidak mengerti, sebenarnya ada apa Ra?”. Tanyaku semakin bingung, yang menurutku tiba-tiba saja Rara ingin bercerai dengan Mas Pras, padahal sepengetahuanku selama tiga bulan ini, Rara dan Mas Pras baik-baik saja. “Jelaskan padaku Ra, apa maksud dari Mas Pras tidak bisa mencintaimu, apa Mas Pras melukai perasaanmu?, setahuku Mas Pras tidak pernah kasar, tutur katanya juga lembut dan penuh kasih sayang”.

“Mas Pras pernah berucap padaku, kalau dia sangat mencintai dan menyayangi kamu, Samha, dan sedikit pun dia tidak bisa berbagi apa pun padaku, karena semua nya hanya ia peruntukkan padamu, dan Mas Pras tidak sepenuhnya menjadikan aku istrinya, ketika ia mendapat waktu bergilir bersamaku, dia lebih banyak menghabiskannya dengan bersujud dan membaca Al-Quran hingga pagi hari, dan ia pernah memohon maaf pada ku, karena memperlakukan aku seperti itu dan dia juga memintaku untuk ridho dengan tidak mendapatkan nafkah batin darinya, alasannya adalah dia tidak bisa berbagi dan membagi hati nya untuk ku, dia hanya mampu setia pada satu hati yaitu kamu, Samha”.

Sedikit tersentak aku mendengarkan penjelasan dari Rara, sepertinya tak mungkin Mas Pras bertindak seperti itu, Mas Pras pasti tau kewajiban suami dan istri. Tapi biarlah pertanyaan ini nanti aku minta penjelasannya dari Mas Pras sendiri, dan aku berusaha untuk menenangkan Rara. “Baiklah, Ra. Tenangkan dirimu dulu, Istikharah lah dulu, agar kamu mendapat petunjuk dari Allah dan ampunan atas hal yang paling dibenci oleh Allah”. Seribu tanya terlintas dipikiranku, dan sedih rasanya jika harus Rara dan Mas Pras bercerai, apa mungkin ini adalah kesalahanku, karena telah memaksakan rencana ini dulu pada suamiku, hingga aku harus menyakiti hati sahabatku kini. Ya Allah, ampuni atas segala khilaf hamba.

Seminggu kemudian, Mas Pras kembali dari dinas nya, dia langsung menghampiriku dan memelukku dengan eratnya, begitu antusiasnya dia ingin mendengar cerita morning sick ku, dan begitu penasarannya ia ingin tau keadaanku dan kabar calon buah hatinya, dengan erat dia memelukku dan menciumi pipi serta keningku, hingga perutku pun diraba-raba nya dan diciuminya. Tak sadar bahwa di sisi lain ada istrinya yang lain yang sedang menunggu kehadirannya. Dengan sengaja ku curi pangandanganku ke arah Rara, dan ternyata sudah kulihat di sudut matanya butir-butir bening air mata, tak tega aku melihatnya, segera ku sudahi Mas Pras yang masih saja memberondongku dengan pertanyaan yang tak satu pun aku jawab, karena aku merasa tak enak hati dengan Rara, yang sedang tertunduk sedih di sudut sisi ruang tamu rumah kami. Mas Pras memang terlihat sangat bahagia dengan kehamilan ku, tapi aku juga tidak tega jika harus memaksakan Rara untuk menjadi madu ku, sedang Mas Pras sendiri tidak bisa berbagi bahagia juga dengan nya. Seketika itu pun aku ikut merasakan kesedihan Rara, dan aku merasa bersalah padanya, karena telah begitu egois dulu melibatkan Rara dalam rencana masa depanku dengan Mas Pras, sungguh aku merasa bersalah padanya.

“Mas, ada yang ingin kami bicarakan, duduklah dulu di sana”. “Ada apa sayang?”. Begitulah Mas Pras tak pernah berubah padaku selalu romantis, dan selalu memanjakanku. “Mas, saya mohon maaf harus berterus terang, saya minta Mas, ceraikan saya”. Tiba-tiba saja Rara langsung melontarkan permintaannya pada Mas Pras tanpa basa basi. Dan seketika itu pula Mas Pras langsung melihat ke arahku. “Sayang, ada apa ini?”. Mas Pras bertanya padaku, dan aku jelaskan apa yang pernah Rara ceritakan padaku.

“Aku sudah mendengarkan semua penjelasan Rara, dan aku mohon maaf karena telah membuat cerita luka dalam hidupmu, Ra. Aku juga minta maaf padamu Mas, karena memaksamu menikahi Rara, maafkan karena aku tidak memahami kalian dengan baik, maafkan karena aku terlalu egois, dan semoga Allah mengampuni aku”. Mas Pras kemudian memberikan penjelasannya, “Maafkan aku karena tidak bisa menjadi suami yang sempurna untuk kalian dua istriku, dan maafkan karena aku tidak bisa berbagi hati dengan kamu Ra, maafkan jika kamu tidak bahagia, tapi aku yakin kelak kamu akan mendapatkan laki-laki sholeh yang sempurna, yang mencintai kamu sepenuhnya dan yang mampu menjadi imam kamu, laki-laki yang mampu membawamu pada surga Allah, aku akan bebaskan kamu dan aku akan ceraikan kamu sebagai istriku, besok akan segera aku urus surat-suratnya di KUA”. Langsung aku peluk Rara sahabatku itu dan berderai air mataku, “Maafkan aku Ra, terima kasih atas pengorbananmu selama ini”. “Maafkan aku juga Samha, karena tak mampu meraih bahagia bersamamu, tapi kamu harus janji jaga kesehatanmu ya, tolong jaga juga dengan baik calon bayimu”. Tak sedikit pun ada kecewa atau marah padaku, bahkan Rara pun sempat mengingatkanku untuk menjaga kesehatanku dan bayiku. Rara adalah sahabat terbaiku, dan dia adalah saudara perempuanku yang sholehah, semoga Allah senantiasa memberikan kebahagian dan keberkahan untuk nya. Aamiin.

 

Penulis : Putri Pelangi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *