Peringati May Day, Menolak Lupa RUU Cilaka

Susi SUsanti Jurusan PPKn Universitas Negeri Makassar

Mata Akaemisi, Milenianews.com – Sewaktu-waktu kita patut membesuk sejarah. Semenjak Juli 1889, Kongres Sosialis Internasional II di Paris menetapkan peristiwa di Amerika Serikat sebagai hari buruh sedunia.

Sejak saat itu, lebih dari 66 negara di dunia resmi menetapkan 1 Mei sebagai hari buruh Inernasional. Terkecuali Indonesia, bangsa yang dikenal dengan sebutan Hindia Belanda pada saat itu barulah memperingati hari buruh pada tahun 1920.

Baca Juga : Sakit yang Diderita Ibu Pertiwi saat ini

Walaupun, di masa orde baru peringatan hari buruh sempat dicekal oleh rezim hanya karena dianggap peringatan tersebut identik dengan aktivitas yang bermuatan paham komunis. Namun, kaum buruh tidak tinggal diam.

Bagi mereka 1 Mei merupakan  hajat hidup kelas pekerja. Hingga pada 1 Mei 2000,  ribuan demonstran turun ke jalan selama 7 hari. Sejak saat itu, ditetapkanlah 1 Mei sebagai hari buruh nasional.

Jika dulu para buruh mempersoalkan rentang waktu kerja dan istirahat yang perlu diseimbangkan dan kenaikan upah maka Kembali hari ini yang ramai diperbincangkan khalayak ialah muatan RUU Cipta lapangan kerja atau bahasa populernya  omnibus law cipta kerja, namun malah banyak  memplesetkannya menjadi RUU cilaka yang kini menuai predikat kontroversial.

Tujuan utama revisi RUU ini dimaksudkan, supaya tidak lagi menghambat investasi dan penciptaan lapangan kerja.

Perlu ditelisik berulang-ulang, RUU kontroversial tersebut berisikan 11 kluster pembahasan, naskah RUU Ciptaker kemudian diterima langsung oleh Ketua DPR RI, Puan Maharani yang terdiri dari 79 RUU, 15 BAB dan 174 pasal.

Kritik dan penolakan berdatangan Sejak 12 februari setelah naskah masuk ke DPR. Pertanyaannya kemudian, apakah kita sudah termasuk warga negara yang antusias ikut menalar RUU cipta lapangan kerja yang kita maksudkan ini? Atau hanya menjadi warga negara yang masa bodoh terhadap proses rancangan undang-undang cipta lapangan kerja tersebut? (silahkan menjawab lewat nurani masing-masing).

Meskipun telah dilakukan beberapa kali unjuk pendapat oleh kaum buruh namun berdasarkan data dari Litbang Kompas ( 30/01/2020) pandangan publik terkait Omnibus Law kurang menyita perhatian.

Hanya ada 23,1% tahu sedangkan 76,9% tidak tahu akan keberadaan RUU misteri ini. Lalu apa yang selama ini ditolak, jika belum tau? Apalagi kan belum ada draf yang jelas yang tersebar. Drafnya seakan masih dalam mode rahasia. Hanya berupa potongan-potongan pasal yang diopinikan oleh sejumlah pengamat. Namun, tetap saja alasan tersebut bukan berarti sekelompok kaum buruh berhenti begitu saja menelaah.

Kendati demikian, berdasarkan hasil telaah sejumlah kelas pekerja, mereka masih saja menolak keras karena menurutnya RUU Ciptaker dinilai akan merugikan kaum buruh. Sebab, setidak-tidaknya memuat mulai dari lapangan kerja yang akan dipenuhi tenaga kerja asing unskill, hilangnya pesangon yang digantikan dengan tunjangan PHK, sistem penggajian upah minimun dengan upah per jam, jaminan sosial dihilangkan, memudahkan pendirian usaha bahkan penghilangan sanksi pidana bagi investor yang nakal.

Beberapa kaum buruh telah memenuhi undangan dialog publik berkenaan dengan kontroversi RUU cilaka tersebut. Guna menyampaikan kerisauan-kerisauannya

Nining Elitus selaku Ketua Kongres Aliansi Serikat Buruh berpendapat sejak dari awal tidak ada pelibatan dalam pembahasan. Seringkali yang berwenang membuat regulasi, baik Peraturan pemerintah maupun Undang-undang hanya ketika mendekat goals, barulah kita diajak bicara.

Suatu bentuk kekecewaan mendalam, seakan investor diberi karpet merah tetapi para pekerja diinjak-injak di bawahnya. Itulah anekdot yang pantas dalam memandang proses rancangan Undang-undang cipta lapangan kerja ini.

Bagaimana publik tidak menganggap demikian?

Proses pembuatan RUU cipta lapangan kerja masih menyimpan sejumlah tanda tanya yang menggelitik beberapa kalangan terutama stakeholder dalam pembahasan yakni kaum buruh itu sendiri. Beberapa pimpinan asosiasi buruh menganggap mereka tidak dilibatkan sama sekali dalam proses perumusan. padahal, jelaslah jika UU Nomor 13 tahun 2003 yang akan direvisi maka itu menyangkut hajat, nasib  bahkan masa depan kaum buruh. Hal ini telah menyalahi asas keterbukaan sebab pembuatannya sangat misterius.

Meminjam Bahasa Presiden Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia pada saat live di kompas tv “Dalam proses penyusunan seperti di ruang-ruang gelap.” Disadari atau tidak, Semestinya proses demokrasi hendaklah betul-betul dijalankan. Jika saja publik diberikan ruang, partisipasi publik bisa  ditampung  seandainya dilibatkan dalam proses drafting.

Jangan sampai sudah jauh-jauh dalam pembuatan draft bahkan telah menelantarkan dana triliunan rupiah, namun pada akhirnya ditolak bila tidak sama sekali mengakomodir kepentingan kaum buruh. Lebih tidak etis jika demikian, hanya akan berpotensi menimbulkan aksi penolakan besar-besaran. Dan bisa menimbulkan konflik baru.

Sebagai bahan perenungan, mengutip contoh kasus dalam bukunya Tan Malaka dengan judul Massa Aksi yang mungkin bisa mewakili keadaan buruh hari, “Pembukaan beberapa kebun besar dilakukan. Memang ada kaum buruh atau penganggur yang mendapat pekerjaan, tetapi sebaliknya tanah mereka disewakan dan dijual hingga banyak petani yang kehilangan miliknya. Karena perluasan kapitalisasi itu, barang keperluan sehari-hari bertambah tinggi harganya. Sungguh tak dapat dipungkiri bahwa kenaikan harga barang dalam sepuluh tahun belakangan ini tidak sejalan dengan kenaikan gaji buruh.”

Semestinya kita semua sadar kemalangan nasib buruh Indonesia hanya dapat diperbaiki dengan jalan menaikkan gaji mereka yang sepadan dengan cara memperhatikan harga barang keperluan sehari-hari. Bukan malah membuat aturan-aturan terselubung, sulit dipahami dan kontra terhadap kepentingan mereka.

Sederhananya, dengan tidak menaikkan harga barang keperluan sehari-hari saja sudah membantu kelas pekerja. Demikianlah rakyat kecil, sangat sulit meningkatkan taraf hidup.  Semakin lama hidup mereka akan tambah miskin sebab upah mereka tetap seperti biasa malahan kerapkali dipelintirkan dan diturunkan, sementara barang-barang makanan semakin mahal.

Baca Juga : Bahagia dan Cemas dalam Bingkai Corona

“Kita semua adalah buruh dalam memburu kesejahteraan hidup, sebab Kita hidup menumpang dari hasil keringat buruh. Pilu buruh, Sewajarnya pilu kita semua. Jangan Menindas apalagi hanya memanfaatkan posisi buruh.”

Penulis mengakhiri tulisan ini, dengan lantang menolak RUU Ciptaker bila tidak mengakomodir kepentingan hajat hidup kaum buruh!

Selamat Memperingati Hari Buruh Sedunia.

Penulis : Susi Susanti Mahasiswa Jurusan PPKn Universitas Negeri Makassar (Kader Himpunan Pelajar Mahasiswa Takalar)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *