AI Bikin Obat? DeepMind Sebut Tak Sampai Setahun Lagi Bisa Masuk Uji Klinis

Milenianews.com, Jakarta – Penemuan obat baru selama ini dikenal sebagai proses panjang dan penuh risiko, bahkan memakan waktu hingga belasan tahun dengan tingkat kegagalan yang sangat tinggi. Namun, menurut Demis Hassabis CEO DeepMind dan tokoh di balik kemajuan AI milik Google kecerdasan buatan akan segera memangkas waktu tersebut secara drastis.

“Dalam beberapa tahun ke depan, saya ingin melihat waktu pengembangan obat turun menjadi hanya beberapa bulan, bukan lagi bertahun-tahun,” ujar Hassabis dalam wawancara eksklusif bersama Bloomberg Television. “Itu adalah sesuatu yang saya yakin sangat mungkin terjadi. Bahkan mungkin lebih cepat.”

Baca juga: Teknologi AI (Artificial Intelligence) Membuat Hidup Lebih Praktis: Ini Buktinya

Hassabis saat ini mengepalai dua unit utama Alphabet Inc., yakni Google DeepMind yang berfokus pada pengembangan kecerdasan buatan umum (AGI), serta Isomorphic Labs, unit riset farmasi berbasis AI yang diluncurkan pada 2021. Sejak awal berdirinya, Isomorphic Labs telah menjalin kerja sama strategis dengan sejumlah raksasa farmasi seperti Eli Lilly & Co. dan Novartis AG.

Penerapan AI dalam penemuan obat digadang-gadang mampu mempercepat akses pasien terhadap terapi baru, memangkas biaya pengembangan, dan menjadi solusi krisis kesehatan global. Kendati demikian, hingga kini belum ada satu pun obat hasil rancangan AI yang berhasil melewati seluruh fase uji klinis.

AlphaFold: Senjata Andalan DeepMind untuk Penemuan Obat Baru Lewat AI

Pusat dari inisiatif ini adalah AlphaFold, sistem AI canggih milik DeepMind yang mampu memprediksi perilaku dan struktur protein secara akurat. Teknologi inilah yang dikomersialisasikan oleh Isomorphic Labs untuk mempercepat riset dan pengembangan obat. Berkat inovasi ini, Hassabis dan ilmuwan John Jumper bahkan dianugerahi Nobel Kimia 2024 bersama seorang profesor asal AS.

Menurut Hassabis, saat ini timnya sedang mengembangkan versi yang jauh lebih mutakhir dari AlphaFold, yang bukan hanya memahami struktur protein, tapi juga hubungan kompleks antara protein dan molekul dalam tubuh, termasuk bagaimana obat bekerja di tingkat seluler.

Isomorphic Labs sendiri saat ini tengah memfokuskan riset pada kanker dan gangguan sistem imun, dua area medis yang dinilai punya potensi besar untuk dipercepat proses terapinya dengan bantuan AI. Rebecca Paul, Direktur Desain Obat di Isomorphic Labs, menyebut bahwa model AI akan mengubah paradigma penanganan kanker, dari yang semula mematikan menjadi penyakit kronis yang bisa ditangani secara berkelanjutan.

“Sulit menentukan waktu pasti kapan perubahan itu terjadi,” kata Paul. “Namun, kami sudah bisa memikirkan cara konkret untuk memulai transformasi ini dari sekarang.”

Baca juga: Pemahaman Artificial Intelligence (AI) di Masyarakat Masih Terbatas

Hingga saat ini, kolaborasi antara Isomorphic Labs dan Novartis telah berkembang dari tiga menjadi enam target molekuler utama. Hassabis menyebut kemitraan ini sebagai bentuk nyata dari “kemajuan signifikan”, walau masih merahasiakan rincian lebih lanjut. Isomorphic Labs juga telah mengantongi pendanaan senilai US$600 juta, dipimpin oleh Thrive Capital, dan bahkan diproyeksikan mampu membangun bisnis bernilai lebih dari US$100 miliar dalam dekade mendatang.

Jika prediksi Hassabis benar, maka dalam waktu dekat kita bisa melihat obat-obatan hasil racikan AI yang lolos uji klinis dan hadir di pasaran, membuka babak baru dalam sejarah pengobatan manusia lebih cepat, lebih efisien, dan lebih terjangkau.

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *