Sepuluh Puisi Karya Sapardi Djoko Damono

Umi Faddillah
Yang Fana Adalah Waktu
Foto: Ilustrasi

Milenianews.com – Prof Dr Sapardi Djoko Damono adalah seorang pujangga berkebangsaan Indonesia terkemuka. Ia kerap dipanggil dengan singkatan namanya, SDD. Dunia seni Indonesia pun berkabung atas kepulangan beliau. Lahir di Surakarta 20 Maret 1940. Meninggal 19 Juli 2020 di Rumah Sakit Eka Hospital BDS, Tangerang.


Beliau dikenal melalui berbagai puisi mengenai hal-hal sederhana tetapi penuh dengan makna kehidupan. Meski raganya tak lagi ada, namun karyanya tetap abadi bersama para penggemarnya. Sepuluh puisi karya Sapardi Djoko Damono:

Metamorfosis

Ada yang sedang menanggalkan pakaianmu satu demi satu

Mendudukkanmu di depan cermin

dan membuatmu bertanya

Tubuh siapakah gerangan yang kukenakan ini?

Ada yang sedang diam diam menulis riwayat hidupmu

Menimbang-nimbang hari lahirmu

Mereka-reka sebab sebab kematianmu

Ada yang sedang diam diam berubah menjadi dirimu

Baca juga: Sapardi Djoko Damono Hembuskan Nafas Terakhir di Usia 80 Tahun

Sihir Hujan

Hujan mengenal baik pohon, jalan, dan selokan

Suaranya bisa dibeda-bedakan

Kau akan mendengarnya meski sudah kau tutup pintu dan jendela

Meskipun sudah kau matikan lampu

Hujan, yang tahu bener membeda-bedakan

Telah jatuh di pohon, jalan dan selokan

Menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh

Waktu menangkap wahyu yang harus kau rahasiakan

 

Pada suatu hari nanti

Jasadku tak akan ada lagi

Tapi dalam bait-bait sajak ini

Kau takkan kurelakan sendiri

Pada suatu hari nanti

Suaraku tak terdengar lagi

Tapi di antara larik-larik sajak ini

Kau akan tetap kusiasati

Pada suatu hari nanti

Impianku pun tak dikenal lagi

Namun di sela-sela huruf sajak ini

Kau takkan letih-letihnya kucari

Hujan Bulan Juni

Tak ada yang lebih tabah

Dari hujan bulan Juni

Dirahasiakannya rintik rindunya

Kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak

Dari hujan bulan Juni

Dihapusnya jejak-jejak kakinya

Yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif

Dari hujan bulan Juni

Dibiarkannya yang tak terucapkan

Diserap akar pohon bunga itu

Baca juga: Kisah Dibalik Puisi Karya Sapardi Djoko Damono, “Hujan Bulan Juni”

Aku Ingin

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Dengan kata yang tak sempat diucapkan

Kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan

Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Yang Fana Adalah Waktu

Yang fana adalah waktu

Kita abadi memungut detik demi detik

Merangkainya seperti bunga

Sampai pada suatu hari

Kita lupa untuk apa

Tapi yang fana adalah waktu, bukan? Tanyamu

Kita abadi

Kenangan

Ia meletakkan kenangannya

Dengan sangat hati-hati

Di laci meja dan menguncinya

Memasukkan anak kunci ke saku celana

Sebelum berangkat ke sebuah kota

Yang sudah sangat lama hapus

Dari peta yang pernah digambarnya

Pada suatu musim layang-layang

Tak didengarnya lagi

Suara air mulai mendidih

Di laci yang rapat terkunci

Ia telah meletakkan hidupnya di antara tanda petik

Hatiku Selembar Daun

Hatiku selembar daun

Melayang jatuh di rumput

Nanti dulu

Biarkan aku sejenak terbaring di sini

Ada yang masih inign kupandang

Yang selama ini senantiasa luput

Sesaat adalah abadi

Sebelum kau sapu tamanmu setiap pagi

Sementara Kita Saling Berbisik

Sementara kita saling berbisik

Untuk lebih lama tinggal

Pada debu, cinta yang tinggal berupa

Bunga kertas dan lintasan angka-angka

Ketika kita saling berbisik di luar semakin sengit malam hari

Memadamkan bekas-bekas telapak kaki, menyekap sisa-sisa

Unggun api sebelum fajar

Ada yang masih bersikeras abadi

Sajak Kecil Tentang Cinta

Mencintai angin harus menjadi siut

Mencintai air harus menjadi ricik

Mencintai gunung harus menjadi terjal

Mencintai api harus menjadi jilat

Mencintai cakrawala harus menebas jarak

Mencintaimu harus menjelma aku

 

Karya-karya puisi Sapardi Djoko Damono akan selalu menjadi kenangan indah bagi para penggemarnya. Meski raga nya sudah tak lagi ada, semua karyanya akan tetap bermakna dan membius para penggemarnya. (Umi)

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *