Judul : REMPAH-REMPAH: Persaingan dan Perebutan pada Abad ke-16 yang Membentuk Dunia Modern
Penulis : Roger Crowley
Penerbit: Alvabet
Edisi : Pertama, 2024
Milenianews.com, Ngobrolin Buku– Apa yang membuat bangsa-bangsa besar Eropa mengarungi samudra luas, melawan badai, kelaparan, penyakit, dan maut? Bukan emas. Bukan minyak. Tapi sesuatu yang tumbuh di kebun-kebun rakyat Maluku—cengkih dan pala. Dua rempah yang harum itu pernah menjadikan Nusantara sebagai pusat semesta. Tapi, tragisnya, kita lebih ingat tanggal diskon Shopee daripada fakta bahwa dunia modern ini lahir dari perebutan atas tanah kita sendiri.
Inilah yang dibongkar habis oleh Roger Crowley dalam bukunya “Rempah-Rempah: Persaingan dan Perebutan pada Abad ke-16 yang Membentuk Dunia Modern.” Ia tidak hanya menulis sejarah, ia menyulut kesadaran: bahwa bangsa kita pernah diperebutkan, dijarah, dan dilukai karena kekayaan yang kita sendiri acap kali anggap remeh.
Buku ini bukan buku sejarah biasa. Ia mengupas sisi paling kelam, paling liar, dan paling jujur dari penjelajahan bangsa Eropa ke Timur. Di balik kisah “penemuan dunia baru” yang sering kita dengar, tersembunyi kenyataan getir: kapal karam, badai mematikan, serangan kutu, penyakit menular, kanibalisme, hingga pembunuhan demi sejumput rempah. Crowley menulis dengan gaya yang hidup dan menyayat. Ia menyeret kita masuk ke dalam petualangan penuh ambisi, pengkhianatan, dan darah.
Yang membuat buku ini makin istimewa adalah keberanian penulis dalam mengangkat nama-nama tokoh yang selama ini absen dari pelajaran sejarah di sekolah-sekolah kita: Francisco Serrao, navigator Portugis yang lebih dulu menjejak Maluku daripada Magellan; Sebastian Cabot, penjelajah utara; Tanegashima Tokitaka, samurai yang mengenalkan senjata api di Jepang; hingga Enrique de Moluccas, budak Melayu yang diduga menjadi manusia pertama yang mengelilingi bumi. Dan tentu saja, Jan Huygen van Linschoten—pengkhianat besar yang membocorkan rahasia dagang Portugis kepada Belanda, membuka jalan bagi VOC untuk menjajah negeri ini selama berabad-abad.
Crowley juga memetakan bagaimana jaringan perdagangan global mulai terbentuk saat itu: rempah-rempah dari Nusantara berpindah tangan bersama perak dari Meksiko, porselen Tiongkok, gandum Eropa, dan budak dari Afrika. Dunia mulai berputar dalam orbit yang digerakkan oleh komoditas. Dan Nusantara ada di jantungnya.
Namun, semua kejayaan itu datang dengan harga mahal. Buku ini tak menutup-nutupi luka sejarah. Ia justru menampilkannya dengan telanjang: kerusakan ekologi akibat eksploitasi, hancurnya budaya lokal, pemaksaan agama, hingga perbudakan terhadap penduduk asli. Ini adalah bab sejarah yang sering disapu di bawah karpet, tapi Crowley menariknya ke tengah panggung. Dan kita—bangsa yang menjadi korban sekaligus saksi—harus berani menatapnya.
Membaca buku ini bukan sekadar menyerap informasi. Ini adalah tindakan politis. Sebuah ajakan untuk sadar, bangkit, dan menghargai warisan sejarah kita sendiri. Rempah-rempah bukan hanya bumbu. Ia adalah darah dan air mata. Ia adalah komoditas yang menggerakkan dunia—dan mengguncang sejarah. Hari ini, ketika kita mengeluh soal harga cabai dan lada, kita lupa bahwa nenek moyang kita pernah menjadi poros dunia karena aromanya. Dan kita juga lupa bahwa kekuatan itu bisa kita rebut kembali—asal kita mau mengingat.
Apresiasi yang tinggi saya ucapkan kepada penerjemah buku ini yang membuat tulisan Crowley menjadi akrab dan renyah dibaca oleh kita rakyat Indonesia. Buku ini wajib dibaca oleh siapa saja yang ingin memahami kenapa dunia modern berdiri di atas jejak-jejak perlawanan dan pengkhianatan di tanah air kita. Jangan tunggu jadi korban kedua. Sejarah yang dilupakan hanya akan melahirkan penjajahan yang diulang.
Resensor: Ryo Disastro.