Republik Pancasila, Bukan Republik Neoliberal Indonesia

Judul buku: Ekonomi Politik Dalam Pusaran Globalisasi Dan Neoliberasme

Penulis: B. Herry-Priyono

Penerbit: Buku Kompas

Tahun terbit: 2022

Tebal: 320+iv hlm

Milenianews.com, Ngobrolin Buku– Resensi ini lahir karena dua hal penting. Pertama, ingatan atas filosof cum ekonom paling terkemuka di Indonesia pasca 90-an. Kedua, keterdesakan atas matinya ekonomi politik Pancasila. Terutama setelah dipicu kawan Andisyah (2024) yang bertanya, “Bagaimana menjelaskan bahwa mazhab ekonomi Presiden Prabowo adalah sosialisme saat kenyataannya, hampir semua program yang diperuntukan bagi kesejahteraan rakyat diperoleh dari pinjaman, hibah dan bantuan asing dengan mekanisme kapitalistik liberalistik?”

Yang pertama, tentu saja B. Herry-Priyono itu penulis produktif, dosen jenius, filosof kokoh, aktivis sosial yang keren serta kritikus ekonomi pasar terlantang. Pikiran, ucapan, tulisan, tindakan dan posisi politiknya jelas: pembela kaum miskin, peneguh kesetimbangan. Ialah (bersama beberapa ilmuwan terkemuka lainnya) yang memproklamasikan kembali perlunya keadilan sosial, tempat kerja yang aman, upah layak, majukan kelompok miskin, lindungi kelompok marjinal dan pastikan perdamaian.

Yang kedua, pertanyaan itu kujawab agak polemis, “Kawanku, jelas ini soal kalah dalam perang agensi’  dan ‘kecupekan pikiran-pikiran alternatif’  karena bersumber dari buku ajar yang sama: iman pada pasar liberal sehingga mengidap lima jahilyah purba yaitu tuna literasi, miopik bibliografi, defisit eksperimentasi, rabun konstitusi serta deleting histori.”

Ya. Kisah ekopol kita 15 tahun terakhir memang pahit dan gelap. Kita kini berhadapan dengan arus besar pikiran dan tindakan bahwa kekuasaan serta para penguasa harus “mendelet” kejujuran, keahlian, kepakaran, kejeniusan dalam struktur di sekitarnya. Jadi ini zaman anti-intelektualisme. Dus, jahiliyah adalah kenikmatan dan turn back crime menjadi keluhuran sosio kultural kita semua.

Penulis, dengan amatan tajam menulis refleksi dan proyeksinya soal “kuasa gelap pasar di republik ini.” Dan, pesan utamanya adalah menawarkan dan menjelaskan konsep abstrak untuk menciptakan perimbangan ideal antara tiga poros kepentingan, yang menjadi pelaku utama dan menentukan corak realitas kehidupan politik-ekonomi suatu negara.

Pertama, pemerintah dan gugus lembaganya sebagai lokus kehidupan bersama yang memiliki fungsi regulatif. Kedua, kepentingan rakyat anggota komunitas yang sering menjadi korban. Ketiga, pelaku bisnis yang diharapkan ikut bertanggung jawab atas kelangsungan negara dan kepentingan umum. Ketiganya harus konsensual kolaboratif tanpa dominatif di seluruh aspek kenegaraan dan kewargaan. Ini kuncinya.

Sebab, yang dimaksud dengan neoliberalisme adalah ketika poros pelaku bisnis (pasar) mendikte pemerintah dan menegasikan kepentingan publik. Karena ideologi tunggal pengusung ekonomi neoliberal adalah akumulasi laba. Singkat kata, dengan alasan menumpuk laba, semua sektor lainnya bisa ditunda bahkan dinegasikan (hal. 45).

Kita paham, pada paruh kedua dasawarsa 1970-an, suatu tata ekonomi dunia baru mulai melaju. Namanya globalisasi. Filsafat ekonomi politiknya disebut neoliberalisme. Peyoratifnya: penyembah pasar, pengiman berhala uang, anti human, penista semesta.

Jika liberalisme klasik abad ke-18 hanya menuntut pemerintah menghormati kinerja pasar sebagai cara jitu kegiatan ekonomi, neoliberalisme menuntut agar kinerja sistem pasar menjadi satu-satunya tolok ukur untuk menilai berhasil-tidaknya kebijakan pemerintah. Sistem pasar bebas menjadi hakim bagi setiap kebijakan.

Tentu saja, madzab neoliberalisme menggusur kesejahteraan bersama (common wealth) dengan akumulasi kekayaan individual (individual wealth). Ini analog dengan mengganti judul buku Adam Smith, The Wealth of Nations, menjadi The Wealth of Individuals.

Karena itu, ilmu ekonomi dalam kacamata Herry-Priyono tidak dapat berdiri sendiri, selalu terkait dengan politik. Dengan begitu, ekonomi politik adalah bidang keahlian murid langsung Antony Giddens, alumnus London School of Economics ini.

Dari uraian-uraiannya yang jernih jenius, kita melihat bahwa globalisasi saling kait-mengait dengan ekonomi, neoliberal, dampaknya terhadap jalannya pemerintahan, mekanisme pasar, korupsi, bahkan pendidikan dengan skala mengerikan dan selalu mengintip sepanjang perjalanan sejarah. Dus masalahnya, kita harus menghadapi serta menaklukannya. Bukan sebaliknya!

Mengapa? Karena hidup kita tidak sepenuhnya bisa diajari oleh pikiran orang di luar dirinya, karena semua didasari oleh fondasi jiwa-jiwa generasi leluhurnya (psychological genetik) dari generasi pendahulunya. Kita terbentuk bukan dari ruang kosong melompong. Melainkan hasil hibridasi yang merdeka dan berdaulat penuh.

Itulah pentingnya “sistem sendiri,” baik dalam berindividu, bermasyarakat, berpemerintah dan bernegara. Itulah keniscayaan pancasila dan konstitusi asli yang keren karena merangkum jati diri. Satu konstitusi yang nanti ditafsirkan membentuk undang-undang perekonomian nasional yang bersentosa, berkeadilan, berkesejahteraan, bersemesta dan berspiritual.

Jika itu terjadi, Republik Pancasila adalah namanya. Bukan Republik Neoliberal.

Resensor: Yudhie Haryono, Teoritikus Nusantara Studies.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *