Puisi-Puisi yang Melampaui Isyarat dan Arus Zaman

Judul Buku: Jantung yang Berdetak dalam batu

Penulis: Helvy Tiana Rosa

Penerbit: Bukunesia

Cetakan I, April 2025

Tebal: xliv + 139 hlm.

Milenianews.com,  Ngobrolin Buku– Dalam sejarah puisi Indonesia, tak banyak penulis yang tetap menjaga jantung puisinya tetap berdetak di tengah batu zaman yang kian membatu. Helvy Tiana Rosa, dalam buku ini, justru tidak hanya menjaga, tapi membuatnya menggema. Jantung yang Berdetak dalam Batu bukan saja judul, melainkan metafora dari seluruh strategi kepenyairan Helvy: paduan keberanian, spiritualitas, ironi, dan bela rasa yang tak memihak tren, melainkan nurani.

Buku ini bukan kumpulan puisi biasa. Ia adalah peta batin dari seorang penyair yang telah menempuh perjalanan panjang dalam keindahan dan keberpihakan. Ada napas panjang empati dalam sajak-sajaknya yang ditujukan untuk Palestina, Aceh, untuk pendidikan yang terluka oleh kurikulum, untuk Rohana Kudus, Cut Meutia, hingga Yahya Sinwar. Tapi Helvy tidak melakukan agitasi; ia menjahit semua itu dengan ketaklangsungan ekspresi, menjadikan puisinya bukan slogan, melainkan gema yang menyusup seperti air ke relung kesadaran.

Perhatikan puisi “Ibu yang Menanak Mimpi”, yang menggabungkan visualitas domestik dengan transendensi:

    ibu
tubuhmu lilin yang melahap gelap
kautiup bintang ke dalam tidur kami
lalu kau berbisik:
pagi akan datang
pagi akan datang
pagi adalah namamu

Dalam bait ini, Helvy menyuarakan sesuatu yang selama ini sulit diungkapkan tentang ibu: bukan hanya cinta, tapi kehadiran spiritual yang menerangi tanpa menuntut. Ia menyuarakan yang kita rasakan tapi tak sanggup kita tuliskan. Di sinilah puisi berfungsi sebagai pembuka rahasia.

Namun Helvy juga ironis dan reflektif. Puisi “Kata-Kata di Meja Makan yang Lapar” seolah membuka ruang jenaka, tapi tiap barisnya menampar:

    ‘Jadi, kau mau kuliah sastra?’
Ia mengetuk meja pelan,
‘Bisakah sastra memberi kita makan?’

Ada kesadaran kelas, realisme ekonomi, sekaligus pemuliaan kata dalam tubuh puisi ini. Helvy tahu bahwa puisi tak bisa dibayar dengan listrik, tapi bisa mengalirkan daya bagi jiwa. Inilah titik temu antara estetika dan fungsi, antara dulce et utile.

Sementara itu, puisi-puisi seperti “Jantung yang Berdetak dalam Batu”, “Intifada”, atau “Pengantin Gaza” menandai posisi Helvy yang jelas: puisi bukan hanya milik interior pribadi, tapi juga perjuangan kolektif. Ia tak sekadar mendeskripsikan penderitaan Palestina, tapi menghidupkan simbol-simbol yang membuat kita ingin ikut melempar batu. Yahya bukan hanya nama, tapi detak yang terus hidup:

Setiap tangan kecil
yang menggenggam batu,
menggenggam semangat Yahya.

Yang istimewa dalam buku ini bukan sekadar pesan, namun seperti kata Agus R. Sarjono dalam, 27 April 2025 di PDS HB Jassin saat peluncurannya, penggunaan majas Helvy sungguh ‘wow”. Menurut Agus, itu keahlian Helvy yangsangat tampak dalam buku ini.

Di samping hal tersebut, yang menarik juga adalah keragaman gaya. Helvy tidak terjebak dalam satu bentuk. Ia bisa lirikal, bisa naratif, bisa sangat satir, bisa reflektif filosofis. Ia menulis puisi yang bisa dibacakan dalam demonstrasi seperti puisi-puisi pamflet. Puisi liris yang dibaca sendiri di kamar, yang didendangkan seperti zikir, atau diendapkan seperti doa. Di sinilah kekuatan puitiknya yang paling kentara: ketekunan dalam menempatkan bentuk untuk isi yang terus berubah.

Tak ada puisi yang sia-sia di sini. Masing-masing adalah jejak spiritual, sosial, dan estetis dari seorang penulis yang sudah terlalu lama dianggap hanya penulis prosa. Buku ini adalah pengingat: Helvy Tiana Rosa adalah penyair penting Indonesia. Maka tak akan heran bila kelak seiring waktu, buku ini mendapatkan penghargaan.

Dan seperti yang ia bisikkan dalam puisinya:

    Puisi bukan soal benar atau salah.
Ia adalah hati yang bicara,
keheningan yang menjawab.

Penulis: Dr. Rahmi Yulia Ningsih

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *