Judul Buku: Nusantaria, Sejarah Maritim Asia Tenggara
Penulis: Philip Bowring
Penerjemah: Febri Ady Prasetyo
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) Jakarta
Tahun Terbit: 2022
Tebal: 400 halaman + i-xxx
Milenianews.com, Ngobrolin Buku– Encomiendas. Satu kata unik dari bahasa Spanyol. Sekilas terdengar asing di telinga Melayu seperti saya. Namun, di balik kata itu tersimpan sejarah kelam penjajahan Spanyol di luar Eropa. Ini sekelumit kisahnya.
Pasca jatuhnya Konstantinopel ke tangan Turki Usmani, Eropa kehilangan akses terhadap rempah-rempah. Jalur Sutra dikuasai Sultan Mehmed II, membuat bangsa-bangsa Eropa terdesak mencari jalur baru menuju sumber rempah melalui lautan. Inilah awal era penjelajahan samudra. Spanyol, yang kalah set dengan Portugal dalam Perjanjian Tordesillas (1494), terpaksa berlayar jauh ke arah barat—melintasi Atlantik, menaklukkan benua Amerika, lalu menyeberangi Pasifik—demi mencapai kepulauan rempah di Asia Tenggara.
Kawasan ini dikenal dengan istilah Nusantaria: gugusan kepulauan yang mencakup Malaya, seluruh kepulauan Indonesia, Laut Natuna Utara, Filipina, hingga Papua Nugini. Nusantaria bukanlah lahan kosong. Ketika Ferdinand Magellan mendarat di Pulau Homonhon, Filipina, ia menemukan penduduk dan peradaban yang telah mapan. Kawasan ini bahkan sudah lama menjadi simpul perdagangan global, dikunjungi pedagang dari Tiongkok, Arab, dan India, serta pelaut dari Jawa, Bali, Palembang, hingga Bugis yang terbiasa berlayar antar pulau. Namun, keindahan itu berubah setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511, disusul kedatangan Spanyol ke Filipina satu dekade kemudian. Hubungan perdagangan yang sebelumnya berjalan atas dasar kesetaraan, berganti dengan dominasi dan eksploitasi.
Orang Spanyol memang tak datang dalam jumlah besar. Mereka hadir bergelombang, lalu memperkuat posisi hingga benar-benar menguasai Filipina. Untuk mereka yang dianggap berjasa, Raja Philip II memberikan hak atas tanah—dikenal sebagai encomiendas. Pemegangnya, atau encomiendero, ditunjuk sebagai penguasa lokal. Namun karena orang Spanyol di Asia relatif sedikit dan perjalanan administrasi sangat panjang (dari Spanyol ke Amerika, lalu ke Filipina, dan kembali lagi), jabatan ini akhirnya banyak jatuh ke tangan para petualang yang miskin pengalaman administratif, tetapi haus keuntungan cepat.
Akibatnya, penduduk asli yang sebelumnya mengelola tanah secara tradisional dipaksa bekerja dan membayar upeti. Para encomiendero menjelma penguasa kaya dan berkuasa, sedangkan rakyat pribumi terjerembab di posisi paling bawah. Seorang uskup Filipina pernah mencatat getirnya: mereka yang dulunya orang kecil, setelah menjadi pemegang encomiendas, berubah laksana dewa dan raja—bertindak sewenang-wenang, menarik upeti dengan todongan senjata. Padahal Raja Spanyol sendiri melarang tindakan semacam itu.
Sekilas, pola ini tidak asing. Bahkan, mirip dengan kisah di negeri kita hari ini: seorang mantan tukang ojek yang gigih membantu seorang calon pejabat berkampanye, kemudian sukses dan diangkat menjadi pejabat negara. Sayangnya, karena miskin kapasitas dan hanya ingin cepat untung, akhirnya ia tergelincir pada tindakan tercela—hingga berakhir di tangan operasi tangkap tangan. Bisa jadi dia terinspirasi oleh kisah sukses para encomienderos di Filipina itu.
Inilah sekelumit kisah Nusantaria yang diurai Philip Bowring. Melalui buku Nusantaria, ia menghadirkan mosaik sejarah panjang kepulauan Asia Tenggara—mulai dari terbentuknya kawasan, keberagaman penduduk dan bahasa, hingga krisis eksistensial akibat penetrasi kolonial Eropa. Dengan latar belakangnya sebagai jurnalis kawakan, Bowring menyusun buku ini laksana kumpulan artikel sejarah yang dirangkai berdasarkan alur waktu panjang, dari 7000 SM hingga masa modern.
Bagi pecinta sejarah, khususnya sejarah maritim dan peradaban kepulauan Asia Tenggara, buku ini layak dibaca. Ia bukan sekadar menuturkan fakta, melainkan mengajak kita merenungi luka-luka lama yang masih berjejak dalam dinamika sosial-politik hari ini.
Penulis: Ryo Disastro (Peneliti Nusantara Centre)