Menguak Tantangan Kesehatan di Desa Mejasem Timur: Riset Mendalam Mahasiswa Kelompok 32 BSI Explore Soal Kesiapan Infrastruktur dan Kesadaran Masyarakat Desa

bsi-explore-2025-ubsi-tegal

Bu wanti selaku sekertaris desa menjelaskan mengenai beberapa warga tidak lagi melakukan kegiatan pengelolaan sampah. Bahkan ia juga mengetahui alasan mengapa warga tidak lagi memproduksi kerajinan dari sampah atau melakukan penguraian sampah dengan budidaya maggot.

“Sayangnya, hasil yang didapatkan dari budidaya maggot tidak sebanding dengan usaha yang dikeluarkan. Warga mulai kehilangan semangat karena tidak melihat keuntungan nyata, warga memilih melakukan kegiatan atau hal lain yang lebih menjanjikan hasilnya.”

Namun, program-program tersebut akhirnya terhenti karena tidak memberikan hasil yang sesuai dengan ekspektasi. 

Sementara itu, inisiatif kerajinan dari sampah juga mengalami kendala karena kurangnya pasar dan minat masyarakat. 

Kami sempat membuat tas dari sampah plastik, tapi sulit menjualnya. Akhirnya banyak yang berhenti karena lebih banyak menghabiskan waktu daripada menghasilkan,” ujar Bu Aminah, salah satu anggota kelompok pengrajin.

Ketidaksesuaian antara hasil pengelolaan dan biaya yang dikeluarkan menjadi faktor utama mengapa program-program tersebut tidak berlanjut. Ini menambah tantangan dalam menciptakan sistem pengelolaan sampah yang berkelanjutan di Desa Mejasem Timur.

Tantangan kesehatan dari segi Pustu Mejasem Timur yang tak terawat

Selain keterbatasan di Puskesmas, salah satu tantangan kesehatan di Desa Mejasem Timur adalah kondisi Puskesmas Pembantu (Pustu) yang sudah tidak terawat dan kurang berfungsi optimal. Pustu Mejasem Timur, yang seharusnya menjadi tempat bagi warga desa untuk mendapatkan layanan kesehatan dasar secara lebih dekat, saat ini dalam kondisi yang memprihatinkan.

Bangunan yang tidak lagi terawat dengan baik, peralatan medis yang rusak, serta kurangnya tenaga medis yang bertugas di sana menambah beban pada sistem kesehatan desa.

Dulu, Pustu ini aktif melayani warga, tapi sekarang kondisinya sudah tak seperti dulu. Banyak fasilitas yang rusak dan tidak ada petugas yang rutin berjaga,” ungkap Bu Wanti selaku sekertaris desa. 

Bangunan Pustu yang terlihat kumuh dan tidak terpelihara mengurangi kepercayaan masyarakat untuk memanfaatkan fasilitas ini. Sebagian besar warga harus pergi ke Puskesmas Utama yang jaraknya sangat jauh untuk mendapatkan layanan kesehatan. Sementara Pustu yang seharusnya bisa memberikan akses lebih mudah justru tidak berfungsi secara optimal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *