FAH UIN Ar-Raniry Luluskan 160 Sarjana, 50 Cum Laude

Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) UIN  Ar-Raniry Banda Aceh meluluskan 160 sarjana pada Yudisium Gelombang III Tahun Akademik 2024/2025, Kamis (25/9/2025). Dari jumlah itu, 50 lulusan meraih predikat cum laude. (Foto: Dok UIN Ar-Raniry)

Milenianews.com, Banda Aceh– Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh meluluskan 160 sarjana pada Yudisium Gelombang III Tahun Akademik 2024/2025 di Aula Gedung SBSN, Kamis (25/9/2025).

Dari jumlah itu, 50 lulusan meraih predikat cum laude, 48 berpredikat pujian, dan 62 sangat baik. Lulusan terdiri atas 47 laki-laki dan 113 perempuan.

Dalam sambutannya, Dekan FAH UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Syarifuddin MA.,  PhD menegaskan pentingnya akhlak dan integritas bagi sarjana baru.

“Ijazah bukan akhir perjalanan, melainkan tiket awal memasuki panggung kehidupan. Dunia kerja, pengabdian, dan penelitian menanti kontribusi saudara-saudara,” ujarnya.

Ia menambahkan, keberhasilan seseorang lebih ditentukan kecerdasan emosional (EQ) dibanding kecerdasan intelektual (IQ).

“Ilmu tanpa akhlak adalah kehampaan. Jadilah sarjana yang membawa cahaya penerang di tengah masyarakat,” kata Syarifuddin.

Sebelumnya, Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kelembagaan, Nazaruddin MLIS PhD menyebutkan, lulusan berasal dari Prodi Sejarah Kebudayaan Islam 34 orang, Bahasa dan Sastra Arab 43 orang, dan Ilmu Perpustakaan 83 orang.

“Dengan tambahan ini, total alumni FAH UIN Ar-Raniry mencapai 3.814 orang,” ujarnya.

Fakultas juga memberikan penghargaan bungong jaroe kepada lulusan terbaik dari tiap prodi, yakni Putri Izzah Sari (Sejarah Kebudayaan Islam), IPK 3,88 (cum laude), Ulfatul Saputri (Bahasa dan Sastra Arab), IPK 3,80 (cum laude) dan Najwa Ramadhana Isza (Ilmu Perpustakaan), IPK 3,81 (cum laude).

Reza Idria Angkat Politik Ingatan dalam Hubungan Aceh–Salem

Yudisium kali ini, orasi ilmiah disampaikan oleh dosen Prodi Sejarah Kebudayaan Islam, Reza Idria MA.,  PhD. Dalam paparannya, ia mengangkat tema “Politik Ingatan dan Sejarah dalam Hubungan Aceh–Salem”.

Lulusan doktoral dari Harvard University ini menjelaskan, hubungan Aceh dengan Salem, Massachusetts, Amerika Serikat, sudah terjalin sejak 1654 lewat perdagangan lada. Relasi dagang ini mencapai masa keemasan pada akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-19, menjadikan Salem sebagai salah satu pelabuhan penting dalam jaringan perdagangan global.

Namun sejarah juga mencatat ketegangan. Pada 1831, kapal Friendship milik Salem dibajak di perairan Kuala Batee, Aceh Barat Daya. Setahun kemudian, Amerika Serikat mengirim ekspedisi militer USS Potomac sebagai balasan. Meski sempat memicu konflik, hubungan dagang tetap berlanjut.

Menariknya, pada 1836 seorang pedagang bernama George Peabody merancang segel Kota Salem yang menampilkan figur asal Aceh, diduga Po Adam, mitra dagang setempat. “Simbol ini menunjukkan bagaimana Aceh pernah hadir dalam identitas publik Salem,” tutur Reza.

Baca Juga : Prodi Hukum Keluarga FSH UIN Ar-Raniry Raih Akreditasi Unggul dari BAN-PT

Dua abad kemudian, simbol itu kembali diperdebatkan. Warga Salem memprotes penggunaan segel karena dianggap menyimpan stereotipe kolonial. Pemerintah kota lalu membentuk City Seal Task Force (CSTF) untuk meninjau ulang penggunaannya.

Antropolog Aceh ini menilai kontroversi tersebut mencerminkan bahwa hubungan Salem–Aceh bukan sekadar sejarah perdagangan.

“Ini adalah soal politik ingatan, diplomasi budaya, dan bagaimana identitas global terbentuk dan dinegosiasikan,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa belajar dari kondisi terkini di Salem menunjukkan bahwa sejarah dan persepsi terhadapnya juga sangat ditentukan oleh politik ingatan.

“Tugas akademis adalah merawat sejarah seobjektif mungkin dengan kajian berimbang dan menjaga agar fakta-fakta masa lalu tidak gunakan hanya sekadar endorsement bagi kepentingan politik,” tegasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *