Milenianews.com, Jakarta – Thrifting, yang semula hanya dianggap sebagai cara berhemat, kini telah menjelma menjadi identitas gaya hidup anak muda. Di sudut-sudut kota seperti Lenteng Agung, toko pakaian bekas atau thrift shop masih ramai dikunjungi, meski pemerintah tengah gencar melarang penjualan pakaian bekas impor.
Namun, di tengah larangan itu, muncul keresahan di kalangan penggemar thrift. Mereka merasa kehilangan ruang untuk mengekspresikan diri melalui pakaian yang unik, murah, dan berkarakter.

Salah satunya adalah Adi (22), mahasiswa yang gemar berburu pakaian bekas sejak dua tahun lalu. Ia mengaku mulai mengenal thrift dari media sosial dan teman kampusnya.
“Awalnya karena iseng, tapi lama-lama jadi hobi. Saya suka cari sweater, kaos atau jaket outdoor, karena modelnya beda sama yang dijual di toko-toko biasa,” ujar Adi saat ditemui di salah satu lapak thrift di Lenteng Agung, Minggu (9/11).
Bagi Adi, thrifting bukan sekadar aktivitas belanja murah. Ia menyebut, ada nilai budaya dan keberlanjutan di dalamnya.
“Kalau dipikir-pikir, beli barang thrift itu kayak bentuk tanggung jawab kecil buat bumi. Barangnya masih bagus, kenapa harus dibuang? Lagipula, fashion itu kan soal gaya, bukan label merek,” katanya sambil tersenyum.
Baca juga: Mendag Larang Bisnis Thrifting, Rakyat Menantang !
Namun, kebiasaan itu kini terancam. Pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan UKM menegaskan larangan peredaran pakaian bekas impor, baik di toko fisik maupun platform e-commerce. Alasannya, barang-barang tersebut bisa mengganggu industri tekstil lokal dan berpotensi membawa risiko kesehatan.
Deputi Bidang UKM Kemenkop, Temmy Satya, menyebut bahwa pakaian bekas impor bisa mematikan industri lokal karena menekan harga pasar. Pemerintah juga meminta pelaku usaha thrift beralih menjual produk dalam negeri.
“Kalau saya, berubah aja jadi barang-barang dalam negeri,” ujar Temmy dalam wawancara yang dikutip dari Kumparan, menegaskan harapannya agar pelaku usaha mendukung produk lokal.
Namun di sisi lain, bagi banyak anak muda seperti Adi, larangan itu terasa mengekang kreativitas.
“Aku paham niatnya bagus, tapi thrift itu nggak semuanya impor, lho. Ada juga yang dari sisa produksi lokal atau hasil sumbangan. Kalau semuanya dilarang, ya kami jadi kehilangan tempat berekspresi,” tutur Adi dengan nada kecewa.
Baca juga: Alasan Kenapa Bisnis Thrifting Itu Dilarang
Menurut pengamat sosial budaya dari Universitas Indonesia, dr. Rani Pramesti, tren thrifting sebetulnya mencerminkan perubahan cara berpikir generasi muda terhadap konsumsi dan gaya hidup.
“Mereka ingin tampil beda, tapi juga sadar lingkungan. Larangan ini harusnya jadi kesempatan pemerintah untuk mengatur, bukan menutup ruang,” jelasnya.
Kini, polemik soal thrifting masih terus bergulir. Sebagian masyarakat mendukung langkah pemerintah demi melindungi produk dalam negeri, sementara sebagian lainnya menilai bahwa larangan itu tidak sepenuhnya adil bagi pelaku kecil dan konsumen muda.
Di Lenteng Agung, Adi menatap deretan pakaian bekas yang ada di ranging. Ia menatap baju pilihannya, lalu bergumam pelan,
“Mungkin nanti tetap ada cara lain buat tetap jadi diri sendiri, walau tanpa thrift”.
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.









