Milenianews.com, Jakarta— Akademisi dan praktisi di bidang kelautan dan perikanan, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri MS mengemukakan pentingnya insentif atau kebijakan yang paling efektif untuk hilirisasi rumput laut.
“Kami mengusulkan empat jurus kebijakan yang paling efektif untuk mengolah rantai nilai rumput laut di dalam negeri,” kata Prof. Rokhmin Dahuri dalam rilis yang diterima Milenianews.com, Rabu (1/10/2025).
Pertama, kata dia, Reformasi Kebijakan Permodalan (Perbankan).
- Suku Bunga: Harus diturunkan (di-benchmarking) agar setara atau lebih kompetitif dibandingkan negara tetangga.
- Persyaratan Pinjaman: Harus dilunakkan agar sektor riil seperti kelautan dan perikanan mendapat akses yang lebih mudah.
- Peran Menteri Keuangan: Memanfaatkan dana menganggur di BI (seperti Rp 200 triliun yang pernah ditarik oleh Menteri Keuangan) dan menginstruksikannya kepada bank BUMN untuk dialihkan ke sektor riil dengan syarat yang dipermudah.
Kedua, Penataan Tata Ruang dan Kepastian Hukum:
- Kepastian Ruang: Diperlukan nomenklatur yang jelas untuk alokasi ruang (daratan dan laut) bagi sektor kelautan dan perikanan agar investasi terjamin dan tidak kalah dengan kepentingan lain (pabrik, pemukiman, kawasan lindung).
- Tolak Peremanisme: Pemerintah harus memastikan tidak ada pungutan liar atau praktik merugikan lainnya yang memberatkan pengusaha.
Ketiga, Transfer Teknologi dan SDM Unggul:
- Jangka Pendek: Melakukan transfer teknologi atau bermitra dengan negara maju seperti Denmark, Korea, atau China.
- Kewajiban Transfer: Setiap pabrik yang menggunakan teknologi asing wajib menyertakan dosen, peneliti, dan mahasiswa Indonesia untuk memastikan ada alih pengetahuan dan tidak bergantung pada impor teknologi selamanya.
Keempat, Meningkatkan Daya Saing Produk Global (Pemasaran):
- Peran Kementerian Sektoral: Kementerian Perdagangan, Kementerian Luar Negeri, dan KKP harus berkolaborasi untuk membantu pengusaha menembus pasar-pasar internasional yang belum tersentuh atau memperkuat pasar yang sudah ada. Kemenlu harus menjadi “window of marketing and economy,” bukan hanya fokus pada kegiatan seremonial.
Sebelumnya, Rektor Universitas Ummi Bogor itu mengungkapkan, sebagai negara kepulauan terbesar dan berlokasi di laut tropis, Indonesia memiliki habitat yang sangat cocok untuk dua jenis rumput laut utama, yaitu:
- Eucheuma cottonii (penghasil karaginan), yang tumbuh di laut.
- Gracilaria (penghasil agar-agar), yang tumbuh di tambak.
Secara potensi, industri ini menjanjikan. Namun, kata Prof. Rokhmin, meskipun Indonesia adalah produsen rumput laut terbesar di dunia, mayoritas ekspornya masih dalam bentuk bahan mentah (rumput laut kering). Industri hilir dalam negeri belum mampu menyerap potensi ini karena beberapa alasan mendasar, terutama terkait dengan Eucheuma cottonii (penghasil karaginan).
“Kita produsen nomor satu di dunia. Itu kan mengambil dari kita, cuma sayangnya rumput laut kering atau mentah tuh jualnya,” kata Prof. Rokhmin yang juga ketua Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI).
Prof. Rokhmin menyebutkan, faktor utama yang menyebabkan rendahnya serapan industri hilir untuk karaginan adalah:
- Zona Nyaman Pengusaha: Banyak pengusaha memilih zona nyaman dengan hanya menjual rumput laut kering karena lebih mudah daripada memprosesnya menjadi produk hilir seperti pasta gigi, kosmetik, atau farmasi.
- Ketertinggalan dalam Hilirisasi (Karaginan): Sementara industri agar-agar (Gracilaria) sudah maju di Indonesia (bahkan menjadi salah satu yang terbesar di dunia, seperti pabrik PT Agarindo/Swallow Group), hilirisasi E. cottonii (karaginan) masih tertinggal.
Prof. Rokhmin mengidentifikasi empat hambatan paling mendasar yang membuat produk olahan rumput laut, khususnya karaginan, sulit berkembang di Indonesia:
- Iklim Investasi dan Regulasi (Pemerintah): Pemerintah kurang mendukung. perizinan sulit, dan pemerintah tidak membantu menembus pasar internasional (Eropa, Jepang, Korea, Amerika). “Selain itu, ketidakpastian tata ruang (RTRW), seperti kasus di Karimunjawa, dapat membatalkan investasi yang sudah berjalan, merugikan pengusaha, dan membuat investor ragu menanamkan modal,” kata mantan Menteri Kelautan dan Perikanan itu.|
- Permodalan (Perbankan): Perbankan dianggap “pelit” untuk sektor riil, termasuk kelautan dan perikanan. Alokasi kredit bank Himbara (Himpunan Bank Milik Negara) untuk seluruh sektor kelautan dan perikanan (penangkapan, budidaya, pengolahan) tahun lalu hanya 0,3% dari total kredit. Suku bunga di Indonesia juga termasuk tertinggi di dunia (sekitar 9%), jauh lebih tinggi dibanding negara tetangga seperti Thailand (4,5%) atau negara maju lain yang menerapkan suku bunga sangat rendah atau bahkan minus.
- Teknologi Pengolahan: Teknologi hilirisasi rumput laut Indonesia diakui jauh kalah dibandingkan negara-negara maju. Ada kebutuhan mendesak untuk transfer teknologi dari negara maju atau bermitra untuk meningkatkan kapabilitas industri dalam negeri.
- Lemahnya Kolaborasi Triple/Penta Helix: Kurangnya koordinasi yang serius antara akademisi/peneliti (penghasil prototipe), industriawan (pengolah), dan pemerintah (pembuat kebijakan dan matchmaker). “Banyak temuan prototipe di IPB, misalnya, tidak bisa diindustrialisasikan karena tidak adanya matchmaking dari pemerintah,” kata Prof. Rokhmin Dahuri.