News  

Prof. Rokhmin Dahuri: Budidaya Ikan bukan Hanya sebagai Sarana Bertahan Hidup, tetapi Penggerak Peradaban

Suasana Konferensi Internasional Akuakultur Indonesia ke-11 (ICAI) 2025  bertema "Akuakultur yang Tangguh dan Berkelanjutan: Memajukan Inovasi untuk Ketahanan Pangan dan Ekonomi Biru" yang diadakan oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) di Surabaya, Jawa Timur, Indonesia, Rabu-Kamis, 29-30 Oktober 2025.  (Foto: Dok MAI)

Milenianews.com, Surabaya– Ketua Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) Prof. Dr. Ir.  Rokhmin Dahuri MS mengemukakan,  abad ke-21 menghadirkan salah satu tantangan eksistensial terbesar bagi umat manusia: bagaimana memberi makan, menyehatkan, dan memberi energi bagi populasi dunia yang terus bertambah—diproyeksikan mencapai 9,7 miliar pada tahun 2050—sementara tetap melindungi ekosistem planet kita. Pertanian dan produksi peternakan tradisional sudah menyumbang lebih dari 70% penggunaan air tawar global, 30% emisi gas rumah kaca, dan 80% deforestasi.

Sebaliknya, akuakultur—pemeliharaan, penetasan, dan pembesaran ikan, krustasea, moluska, invertebrata, mikroalga, dan tanaman air—menawarkan solusi cerdas iklim. “Akuakultur menyediakan protein berkualitas tinggi dengan jejak karbon 5–10 kali lebih rendah dibanding daging merah, dan menghasilkan produk sampingan bernilai untuk farmasi, nutraseutikal, kosmetik, perhiasan, bioenergi, biomaterial (seperti bioplastik), serta bahan baku lainnya untuk berbagai industri manufaktur (pengolahan),”  kata Ketua  MAI Prof. Rokhmin Dahuri saat membuka Konferensi Internasional Akuakultur Indonesia ke-11 (ICAI) 2025  bertema “Akuakultur yang Tangguh dan Berkelanjutan: Memajukan Inovasi untuk Ketahanan Pangan dan Ekonomi Biru” yang diadakan oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) di Surabaya, Jawa Timur, Indonesia, 29-30 Oktober 2025.

Prof. Rokhmin yang juga Rektor Universitas UMMI Bogor mengungkapkan, Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 17.000 pulau, memiliki luas wilayah laut 6,4 juta km², 3 juta hektar tambak air payau (pesisir) yang potensial, serta jutaan hektar ekosistem air tawar — dengan potensi besar untuk budidaya laut, pesisir, dan air tawar, sekitar 100 juta ton per tahun, mempunyai potensi produksi budidaya terbesar di dunia.

Namun, hingga tahun 2024,  Indonesia  baru memanfaatkan kurang dari 10% dari potensi area budidaya yang ada, sementara turut menyumbang lebih dari 50% produksi ikan nasional dan senilai USD 6,2 miliar dalam nilai ekspor (FAO, SOFIA 2024; Data KKP 2025)

“Jika dikembangkan secara inovatif dan berkelanjutan, sektor akuakultur Indonesia dapat menjadi lokomotif ekonomi baru, menciptakan lapangan kerja, pendapatan ekspor, dan kesetaraan wilayah, sekaligus memastikan ketahanan pangan dan kemakmuran biru,” ujar Prof. Rokhmin Dahuri  yang juga Pendiri dan Ilmuwan Senior Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Laut, IPB University.

Prof. Rokhmin yang juga Anggota Komisi IV DPR RI  menegaskan bahwa  masa depan akuakultur tidak hanya terletak pada produksi ikan dan udang—tetapi juga pada penciptaan bioindustri biru serbaguna.  Inovasi harus mendorong setiap tahap rantai nilai:

  • Teknologi Akuakultur Cerdas — Pemberian pakan berbasis AI, pemantauan kualitas air dengan IoT, akuakultur presisi.
  • Inovasi Genetik dan Pemuliaan — untuk spesies yang tahan penyakit dan cepat tumbuh.
  • Akuakultur Multi-Trofik Terpadu (IMTA) — menggabungkan ikan, rumput laut, dan kerang bivalvia untuk mencapai produksi sirkular dan tanpa limbah.
  • Biotek Biru dan Bioaktif Laut — mengubah rumput laut, mikroalga, dan produk sampingan ikan menjadi biofarmasi, nutraseutikal, kosmetik, dan biofuel.

“Kita  berada di ambang revolusi biru — di mana budidaya ikan tidak lagi menjadi sektor marginal, tetapi menjadi mesin strategis untuk pertumbuhan berkelanjutan, kesejahteraan manusia, dan kesehatan planet. Marilah kita menjadikan budidaya ikan bukan hanya sebagai sarana bertahan hidup, tetapi sebagai penggerak peradaban—untuk dunia yang lebih baik yang diperkuat, disembuhkan, dan diberdayakan oleh lautan, perairan pesisir, dan ekosistem air tawar,” kata Prof. Rokhmin yang juga Anggota Dewan Penasihat Ilmiah Internasional Pusat Pengembangan Pesisir dan Laut, Universitas Bremen, Jerman.

“Bersama-sama, mari kita membangun Industri Akuakultur Inovatif yang benar-benar menjadi pengubah permainan bagi keberlanjutan pangan, farmasi, energi, dan biomaterial—untuk Indonesia dan untuk dunia,” imbuhnya.

Konferensi Internasional Akuakultur Indonesia ke-11 (ICAI) 2025   diikuti lebih dari 1.500 anggota: akademisi, peneliti, praktisi, wirausahawan, pembuat kebijakan, pejabat pemerintah, jurnalis, dan komunitas akuakultur dari seluruh kepulauan Indonesia serta pembicara internasional dan peserta dari 20 negara. Selain sesi pleno dan berbagai sesi seminar paralel dengan topik khusus, ICAI 2025 juga menyediakan pameran, business matching, dan jaringan sebagai sarana (platform) untuk pertukaran teknologi terkini (inovasi) serta untuk kolaborasi saling menguntungkan dalam pengembangan, investasi, dan bisnis akuakultur.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *