Milenianews, Jakarta – Kampus sering disebut sebagai ruang paling ideal untuk belajar dan berkembang. Di sinilah mahasiswa mengenal banyak hal baru mulai dari cara berpikir kritis, membangun relasi, hingga menemukan jati diri. Namun, di balik semangat dan dinamika kehidupan kampus, ada sisi kelam yang jarang disorot, perundungan.
Bentuknya tidak selalu berupa pukulan atau kekerasan fisik. Kadang hanya sebatas tatapan merendahkan, bisikan di belakang, atau komentar yang dianggap bercanda tetapi menyakitkan. Yang lebih memprihatinkan, banyak korban memilih diam karena takut, malu, atau merasa tidak ada yang benar-benar peduli.
Baca juga: Institusi Pendidikan Punya Peran Penting Cegah Perundungan di Lingkungan Kampus

Budaya senioritas dan kurangnya empati jadi akar masalah
Ashilah, mahasiswi Ilmu Komunikasi di salah satu Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Jakarta, mengungkapkan “penyebabnya kompleks. Ada budaya senioritas yang masih kental, lemahnya aturan kampus, sampai kurangnya empati antar mahasiswa,” jelas nya saat diwawancarai oleh tim Milenianews.
Menurutnya, banyak mahasiswa yang tanpa sadar menormalisasi perilaku merundung. “Kadang dikira cuma bercanda. Tapi buat korban, itu bisa jadi beban berat yang dibawa terus,” ujarnya. Ia menambahkan, kasus perundungan di kampus kini sudah sangat serius. “Bukan cuma ejekan verbal, tapi juga mengarah pada kekerasan mental dan sosial. Yang bikin sedih, korban sering memilih diam karena merasa sendirian.”
Ashilah menilai, perubahan pola pikir soal perundungan harus dimulai dari edukasi dan kampanye empati di lingkungan kampus. “Kalau mahasiswa sadar bahwa bullying bukan bagian dari dinamika kampus, tapi bentuk kekerasan, mereka akan lebih berhati-hati. Edukasi dan sosialisasi bisa membuka mata banyak orang,” jelasnya.
Ia juga menyoroti pentingnya peran kampus dalam menciptakan ruang aman bagi mahasiswanya. “Kampus harus hadir, bukan cuma dengan aturan di atas kertas. Layanan konseling harus dibuat lebih manusiawi, santai, rahasia, dan terasa seperti ngobrol dengan teman,” katanya. Menurut Ashilah, pendekatan seperti ini dapat mendorong mahasiswa untuk lebih berani bercerita tanpa takut dihakimi.

Akar perundungan sudah terbentuk sejak dini
Dari sisi lain, Tiara, mahasiswi Bimbingan dan Konseling dari kampus Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang berbeda, melihat akar masalah perundungan sudah terbentuk jauh sebelum seseorang masuk dunia perkuliahan. “Pembentukan karakter sejak kecil berperan besar. Kalau dari kecil tidak diajarkan empati, kebiasaan meremehkan orang lain bisa terbawa sampai dewasa,” ujarnya.
Tiara juga menilai lingkungan keluarga dan pendidikan yang permisif memperparah situasi. “Kadang orang tua terlalu membiarkan anak bertindak tanpa batas. Sekolah pun kurang menanamkan nilai menghargai orang lain. Akibatnya, saat masuk kampus, mereka tidak peka terhadap dampak dari ucapan dan sikapnya.”
Menurut Tiara, bentuk perundungan di kampus sangat beragam mulai dari ejekan, pengucilan sosial, hingga gosip yang perlahan menghancurkan kepercayaan diri korban. “Yang paling sering itu gossiping dan pengucilan. Misalnya, teman sekelas tiba-tiba menjauh karena dengar kabar yang belum tentu benar. Itu lebih menyakitkan daripada bentakan,” katanya.
Lalu, mengapa banyak korban memilih diam? Tiara menjelaskan, “Karena takut dicap lemah, takut dibilang baper, atau merasa kampus nggak bisa melindungi mereka. Beberapa korban juga malu dan merasa nggak pantas melapor, seolah-olah merekalah yang salah.”
Sistem kampus harus kuat, bukan hanya korban yang diminta kuat
Ia menegaskan bahwa perundungan tidak akan berhenti jika hanya korban yang diminta kuat. “Yang harus kuat itu sistemnya. Kampus harus punya keberpihakan yang jelas terhadap korban. Kalau pelaku dibiarkan, pesan yang sampai ke mahasiswa lain adalah ‘tidak apa-apa merundung asal tidak ketahuan’. Itu bahaya,” tegasnya.
Baik Ashilah maupun Tiara sepakat bahwa empati adalah langkah awal yang bisa dilakukan siapa pun. “Empati itu sederhana tapi penting. Kadang kita nggak sadar, hal kecil seperti tatapan, nada bicara, atau candaan bisa nyakitin orang,” ujar Ashilah. “Kalau kita bisa lebih peka dan hati-hati dengan ucapan, kampus bakal jadi tempat yang lebih sehat buat semua.”
Baca juga: Kemenkes Resmi Terbitkan Aturan Anti Perundungan di RS
Tiara menutup dengan pesan yang menohok namun lembut. “Hati-hati sama ucapan dan sikap kita. Yang kita anggap sepele bisa banget nyakitin orang lain. Jangan nilai orang dari luarnya aja, semua orang punya beban dan cerita masing-masing. Yuk, belajar saling memahami dan menghargai perbedaan, biar kampus jadi tempat yang aman dan nyaman buat tumbuh bareng-bareng.”
Di tengah maraknya kasus perundungan di dunia pendidikan tinggi, dua suara mahasiswi ini seolah menjadi pengingat, kampus bukan sekadar tempat mencari gelar, tetapi ruang untuk membentuk karakter dan kemanusiaan. Sebab kadang, kepedulian sekecil mendengarkan bisa menyelamatkan seseorang dari sunyi yang menyakitkan.
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.













