Mata Akademisi, Milenianews.com – Ilmu kalam dalam khazanah pemikiran Islam sering kali diposisikan sebagai medan perdebatan metafisik yang kaku dan maskulin, berfokus pada isu-isu ketuhanan, takdir, dan otoritas keagamaan. Dalam perjalanannya, tradisi ini jarang memberikan ruang bagi suara-suara perempuan, sehingga melanggengkan konstruksi teologis yang bias gender. Perempuan acap kali dipandang sebagai objek pasif, bahkan sumber fitnah, dalam wacana keagamaan klasik. Di tengah realitas ini, muncul pemikir kontemporer seperti Hasan Hanafi yang menawarkan pendekatan baru dalam ilmu kalam yang lebih inklusif dan membebaskan. Melalui dekonstruksi konsep hakikat manusia, Hanafi membuka jalan bagi pemikiran teologis yang dapat mendukung kesetaraan gender.
Baca juga: Islamofobia dan Radikalisme: Dua Wajah yang Sama-Sama Gagal Paham
Laporan Global Gender Gap Report 2022 menempatkan negara-negara Muslim di peringkat terbawah dalam hal kesetaraan gender. Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari cara pandang teologis yang masih mempertahankan struktur patriarkal. Dalam konteks inilah, pembacaan ulang terhadap ilmu kalam menjadi kebutuhan mendesak, bukan hanya sebagai proyek intelektual, tetapi juga sebagai agenda pembebasan.
Hasan Hanafi menyelaraskan feminisme dengan nilai-Nilai Islam
Feminisme sebagai gerakan pembebasan perempuan telah berkembang dalam berbagai aliran pemikiran, termasuk dalam wacana keislaman. Hasan Hanafi seorang filsuf teolog pembebasan asal mesir, memberikan perspektif unik tentang feminisme dengan menggabungkan analisis sosial, kritik agama, dan filsafat. Baginya, feminisme bukan sekadar gerakan Barat, melainkan bagian dari perjuangan keadilan yang bersumber dari nilai-nilai islam itu sendiri.
Teologi sosial Hasan Hanafi merupakan salah satu kontribusi penting dalam pemikiran Islam kontemporer yang bertujuan untuk mentransformasikan masyarakat melalui pendekatan keadilan sosial dan kemanusiaan. Pemikiran Hasan Hanafi dapat dipahami melalui ajaran Tauhid, yang merupakan inti islam Tauhid dianggap sebagai sumber pengetahuan dan memiliki peran penting dalam membentuk pandangan dunia umat islam. Tauhid bukan hanya sekedar pengakuan akan Tuhan yang maha Esa dengan lisan, pikiran, dan hati tetapi juga harus diimplementasikan dalam tindakan yang nyata. Tauhid mencakup perjuangan untuk membebaskan umat manusia dari penderitaan, penindasan, dan eksploitasi. Studi-studi kontemporer menunjukkan bahwa ketimpangan gender dalam wacana keislaman justru semakin menguat di era modern.
Feminisme Islam harus kontekstual dan berakar pada tradisi
Hanafi melihat feminisme sebagai bagian dari gerakan pembebasan manusia secara luas, yang sejalan dengan prinsip keadilan (‘adl) dan kesetaraan (musawah) dalam Islam. Ia menolak anggapan bahwa feminisme bertentangan dengan agama, karena menurutnya, Islam pada hakikatnya membawa misi pembebasan, termasuk bagi perempuan. Namun, Hanafi mengkritik feminisme Barat yang cenderung sekuler dan individualistik. Baginya, feminisme harus memperhatikan konteks sosio-kultural masyarakat Muslim, di mana agama masih menjadi kerangka nilai yang dominan. Oleh karena itu, ia menawarkan “feminisme Islam” yang berakar pada reinterpretasi teks-teks keagamaan dan pembongkaran struktur patriarki yang mengakar.
Salah satu kontribusi utama Hanafi dalam wacana feminisme adalah kritiknya terhadap penafsiran agama yang didominasi oleh perspektif laki-laki. Ia menegaskan bahwa banyak doktrin keagamaan yang digunakan untuk melegitimasi ketidakadilan gender merupakan hasil konstruksi sosial, bukan ajaran Islam yang sebenarnya. Hanafi menyerukan hermeneutika pembebasan, yaitu metode penafsiran yang memihak pada kelompok tertindas, termasuk perempuan. Ia percaya bahwa dengan pendekatan ini, Islam dapat menjadi agama yang memberdayakan, bukan menindas.
Masalah mendasar dalam penindasan perempuan
Hasan Hanafi mengidentifikasi beberapa masalah mendasar dalam Penindasan Perempuan baik dalam struktur sosial maupun pemahaman keagamaan yaitu:
1. Dominasi Patriarki dalam Tafsir Agama
Penafsiran teks keagamaan (Al-Qur’an dan Hadis) didominasi oleh laki-laki, sehingga menghasilkan doktrin yang bias gender. Contoh: Pemahaman sepihak tentang qawwamah (kepemimpinan laki-laki) dan pembatasan peran perempuan dalam ruang publik.
2. Ketidakadilan Sosial dan Hukum
Perempuan sering mengalami ketimpangan dalam hak waris, pernikahan, dan akses pendidikan. Budaya masyarakat yang menganggap perempuan sebagai “warga kelas dua” memperkuat ketidaksetaraan.
Solusi Hanafi
Maka solusi yang Hanafi berikan yaitu:
1. Dekonstruksi tafsir agama yang lebih adil dan inklusif.
Menggunakan metode tafsir yang mempertimbangkan keadilan gender dan konteks kekinian serta melibatkan perempuan dalam penafsiran agar tidak didominasi perspektif laki-laki.
2. Pemberdayaan perempuan melalui pendidikan dan ekonomi.
Memastikan akses pendidikan yang setara agar perempuan dapat berpartisipasi aktif dalam kehidupan sosial dan keagamaan.
3. Gerakan sosial yang mengedepankan keadilan gender dalam kerangka nilai Islam.
Mendorong kemandirian ekonomi perempuan untuk mengurangi ketergantungan pada laki-laki.
Kesimpulannya yaitu: lmu kalam tidak boleh berhenti pada debat metafisik, tetapi harus menjadi alat pembebasan, termasuk untuk isu gender. Penindasab terhadap perempuan kulit hitam yang digambarkan dalam buku Women, Race and Class oleh Angela Davis yang mencakup diskriminasi rasial, gender dan kekuasaan dapat diatasi melalui solidaritas , perkuangan, dan perlawanan untuk mencapai kebebasan dan keadilan sosial.
Baca juga: Relevansi Pemikiran Teologi Muhammad Abduh Di Era Kontemporer: Melampaui Sekedar Identitas Keislaman
Teologi pembebasan Hasan Hanafi mencerminkan nilai-nilai humanis dan berlandaskan pada ajaran Islam yang mengutamakan rahmat dan keadilan bagi seluruh umat manusia. Hasan hanafi menentang penindasan perempuan dengan mendasarkan argumentasinya pada prinsip-prinsipteologis dan kesetaraan manusia. Pemikiran hanafi berupaya membebaskan manusia dari berbagai bentuk penindasan dan diskriminasi. Reinterpretasi hakikat manusia sebagai subjek yang setara didasarkan pada konsep khalifah, fitrah, dan free will dapat menjadi landasan teologis bagi feminisme Islam.
Penulis: Hana Natasya, Dosen serta Khumaira Yasmina Ibnu, Syarvina Inayah Zain, Imas Siti Sarah, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qura’an (IIQ) Jakarta
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.