News  

Diskusi Dewan Pakar Maporina, Prof. Rokhmin Dahuri Paparkan  Strategi Pembangunan Sektor Kelautan Perikanan sebagai Sumber Pangan Berkelanjutan

Guru Besar Kelautan dan Perikanan IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri MS.  (Foto: Dok RD Institute)

Milenianews.com, Jakarta–  Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati, produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia; termasuk bahan tambaham Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Demikian definisi pangan menurut UU No. 18/2012 tentang Pangan.

Pangan menentukan tingkat kesehatan, kecerdasan, dan kualitas sumber daya manusia (SDM). Kualitas SDM adalah kunci kemajuan sebuah bangsa! (FAO dan WHO, 2000).

Terkait dengan urgensi pangan,  Pakar Kelautan dan Perikanan IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri mengupas   strategi pembangunan sektor Kelautan Perikanan sebagai sumber pangan berkelanjutan untuk kesejahteraan petani dan nelayan. Hal itu ia sampaikan saat Diskusi Dewan Pakar Maporina bertajuk  “Potensi kelautan dan perikanan sebagai sumber pangan berkelanjutan untuk kesejahteraan petani dan nelayan” yang digelar secara daring oleh Masyarakat Petani dan Pertanian Organik Indonesia (Maporina), Jumat (27/12/2024).

Dalam kesempatan tersebut, Prof. Rokhmin Dahuri yang juga ketua Dewan Pakar Maporina membwakan makalah berjudul “Pembangunan Kelautan dan Perikanan untuk Mewujudkan Swasembada Pangan, dan Nelayan dan Petani yang Sejahterra Secara Berkelanjutan”.

Menurut Prof. Rokhmin, setidaknya ada 18 langkah yang perlu dilakukan sebagai  strategi pembangunan sektor kelautan perikanan sebagai sumber pangan berkelanjutan.

  • Penyusunan Big Data yang interatkif dan dinamis. “Penyusunan Big Data yang interaktif dan dinamis berdasarkan data yang absah, akurat (presisi), dan kuantitasnya mencukupi tentang semua aspek penting tentang sektor KP (produktivitas, produksi, konsumsi pangan, demand, ekspor, dll) sebagai dasar dalam perencanaan, implementasi, dan MONEV pembangunan, investasi, dan bisnis perikanan,” kata Prof. Rokhmin Dahuri dalam rilis yang diterima com.
  • Revitalisasi semuya uni usaha perikanan atau Blue Food. “Revitalisasi semua unit usaha perikanan atau blue food (perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri pengolahan hasil perikanan, dan industri bioteknologi perairan) yang ada saat ini supaya lebih produktif, efisien (profitable), berdaya saing, dan berkelanjutan (sustainable). Revitalisasi ini dapat berhasil dengan menerapkan: (1) Economy of Scale, (2) Integrated Supply Chain Management System, (3) teknologi mutakhir di setiap rantai pasok (seperti teknologi-teknologi Industry 4.0), dan (4) prinsip-prinsip pembangunan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan,” ujarnya.
  • Pengembangan perikanan tangkap di wilayah underfisihing. “Pengembangan usaha perikanan tangkap untuk jenis-jenis stok ikan di wilayah-wilayah perairan (laut dan PUD) yang status penangkapan ikannya masih underfishing (total hasil tangkapan ikan/produksi < MSY = Maximum Sustainable Yield) sampai total produksinya = 80% MSY atau MSY,” jelasnya.
  • Pengendalian penangkapan ikan di wilayah overfishing. “Kurangi intensitas penangkapan ikan (jumlah kapal dan nelayan) untuk jenis-jenis stok ikan di wilayah-wilayah perairan yang sudah overfishing,” kata Prof. Rokhmin yang juga Anggota DPR RI 2024 – 2029.
  • Pengembangan perikanan budidaya di wilayah baru dan pengembangan perikanan tangkap di wilayah underfishing.
  • Pengembangan usaha perikanan tangkap untuk jenis-jenis stok ikan di wilayah-wilayah perairan (laut dan PUD) yang status penangkapan ikannya masih underfishing (total hasil tangkapan ikan/produksi < MSY = Maximum Sustainable Yield) sampai total produksinya = 80% MSY atau MSY.
  • Pengendalian penangkapan ikan di wilayah overfishing. “Kurangi intensitas penangkapan ikan (jumlah kapal dan nelayan) untuk jenis-jenis stok ikan di wilayah-wilayah perairan yang sudah overfishing. Pengembangan usaha perikanan budidaya di wilayah-wilayah perairan laut, lahan pesisir (tambak), dan perairan tawar/darat (sungai, danau, bendungan, sawah, kolam, akuarium, dan wadah lainnya) yang baru (belum ada usaha aquaculture) dengan menerapkan 4 jurus manajemen bisnis pada butir-2,” ujarnya.
  • Diversifikasi usaha perikanan budidaya. “Diversifikasi usaha perikanan budidaya dengan spesies/varietas biota (organisme) perairan yang baru, dengan menerapkan 4 jurus manajemen bisnis pada butir-2,” tuturnya.
  • Penguatan dan pengembangan industri pengolahan hasil perikanan. “Penguataan dan pengembangan Industri Pengolahan Hasil Perikanan, sehingga produk olahannya berdaya saing tinggi (QCS = top Quality, low Cost, and sufficient and sustainable Supply),” kata Prof. Rokhmin.
  • Penguatan dan pengembangan industri bioteknologi peraitan.
  • Penyempurnaan dan implementasi Sislogkannas.
  • Penerapan best handling practices untuk produk perikanan. “Ini sangat penting untuk menjamin bahwa mutu dan keamanan (food safety) komoditas ikan (biota perairan) dalam keadaan sangat baik sesampainya di pabrik (industri) pengolahan maupun konsumen terakhir,” ujarnya.
  • Peningkatan kesejahteraan pelaku perikanan skala kecil dan mikro. “Peningkatan kesejahteraan nelayan, pembudidaya, pengolah, dan pedagang KP berskala kecil dan mikro (termasuk nelayan ABK) (pendapatan > RP 7,5 JUTA/orang/bulan) melalui program: capacity building, peningkatan akses kepada aset ekonomi produktif, dan kepemilikan (ownership),” kata Prof. Rokhmin.
  • Pemberantasan IUU(Illegal, Unregulated, and Unreported) Fishing.
  • Pengendalian pencemaran, rehabilitasi ekosistem pesisir dan perairan yang telah rusak, dan konservasi biodiversity.
  • Mitigasi dan adaptasi terhadap Perubahan Iklim Global, badai, tsunami, dan bencana alam lainnya.
  • Penguatan dan pengembangan riset Kementerian Perikanan.
  • Penguatan dan pengembangan SDM Kementerian Perikanan/
  • Pengembangan Kerjasama Penta Helix. “Penta Helix merupakan sebuah model kerjasama inovatif yang menghubungkan Akademisi, Bisnis (Industri), Komunitas Pemerintah, dan Media Masa untuk menciptakan ekosistem kerjasama berdasarkan pada Kreatifitas, Inovasi IPTEK,” ujar Prof. Rokhmin yang juga  ketua umum MAI (Masyarakat Akuakultur Indonesia.
  • Kebijakan politik-ekonomi (seperti moneter, fiskal, ekspor – impor, iklim investasi, dan kemudahan berbisnis) yang kondusif dan atraktif.

Baca Juga : Seminar Publik West Java Outward-Looking Strategy, Prof. Rokhmin Tekankan Pentingnya Strategi Kolaborasi Global

Sebelumnya, Pof. Rokhmin menjabarkan permasalahan dan tantangan Pembangunan kedaulatan pangan biru (Blue Food) dan Aquatic Food yang juga mencakup 18 hal. Yakni:

  • Sebagian besar usaha perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, dan perdagangan hasil perikanan dilakukan secara tradisional (low technology) dan berskala Usaha Kecil dan Mikro → Sehingga, tingkat pemanfaatan SDI, produktivitas, dan efisiensi usaha perikanan pada umumnya rendah. Akibatnya, nelayan dan pelaku usaha lain miskin, dan kontribusi bagi perekonomian (PDB, nilai ekspor, pajak, PNBP, dan PAD) rendah.
  • Ukuran unit usaha (bisnis) perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, dan perdagangan hasil perikanan sebagian besar tidak memenuhi skala ekonomi (economy of scale). Sehingga, keuntungan bersih (pendapatan) lebih kecil dari US$ 480 (Rp 7,5 juta)/orang/bulan, alias miskin.
  • Sebagian besar pembudidaya ikan belum menerapkan Best Aquaculture Practices (Cara Budidaya Ikan Terbaik), sehingga sering terjadi serangan wabah penyakit yang menyebabkan gagal panen.
  • Pasokan pakan ikan berkualitas yang selama ini mengandalkan sumber proteinnya dari fishmeal (tepung ikan) semakin terbatas, sehingga mengakibatkan harganya terus naik. Padahal, sekitar 60% biaya produksi untuk pakan ikan.
  • Sebagian besar usaha perikanan belum dikelola dengan menerapkan Sistem Manajamen Rantai Pasok Terpadu (Integrated Supply Chain Management System), yang meliputi subsistem Produksi – Industri Pasca Panen – Pemasaran. Sehingga, tidak ada kepastian pasar komoditas ikan bagi nelayan dan pembudidaya, kontinuitas pasokan bahan baku bagi industri hilir tidak terjamin, dan risiko usaha menjadi tinggi.
  • Pada umumnya, tingkat pemanfaatan Perikanan Tangkap, Perikanan Budidaya, Bioteknologi Perairan, SD Non-Perikanan, dan jasa-jasa lingkungan kelautan belum optimal (underutilized)
  • Karena cuaca buruk atau musim paceklik ikan, pada umumnya nelayan sekitar 4 bulan tidak melaut, dan menganggur (tidak ada pekerjaan lain). Akibatnya, banyak yang terjerat utang kepada rentenir dengan bunga sangat tinggi (60%)
  • Posisi nelayan dan pembudidaya ikan dalam Sistem Tata Niaga sangat tidak diuntungkan. Ketika membeli sarana produksi, harganya jauh lebih mahal ketimbang harga di pabrik. Sebaliknya, pada saat mereka menjual ikan hasil tangkapan atau budidaya, harganya jauh lebih murah dari pada harga di konsumen (pasar) terakhir. Ini karena banyakanya pedagang perantara (panjangnya rantai tata niaga), dan mereka mengambil untung besar.
  • Pada umumnya pemukiman nelayan kurang higienis dan sehat, sehingga para nelayan dan keluarganya rentan terhadap penyakit (ISPA, kulit, dan waterborbe dieases). Hal itu menurunkan produktivitas dan meningkatkan pengeluaran rumah tangga.
  • Pada umumnya asupan gizi makanan keluarga nelayan kurang sehat dan kurang berimbang, terlalu banyak nasi dan ikan, tetapi sangat kurang buah dan sayuran. Akibatnya, prevalensi penyakit gula dan stroke cukup tinggi. Sehingga, menurunkan produktivitas dan menaikkan pengeluaran keluarga (Kemenkes, 2014).
  • Kebanyakan nelayan kurang mampu mengelola keuangan keluarga secara bijakana (“lebih besar pasak dari pada tihang”)
  • Overfishing di beberapa wilayah perairan, sedangkan di sejumlah wilayah perairan lain mengalami underfishing.
  • Pencemaran, degradasi fisik ekosistem (pesisir, danau, dan sungai), dan kerusakan lingkungan lain.
  • Kecelakaan dan perampokan di laut.
  • Dampak negatip Perubahan Iklim Global (seperti peningkatan suhu dan permukaan laut, cuaca ekstrem, pemasaman perairan), tsunami, dan bencana alam lain.
  • Rendahnya akses nelayan dan pembudidaya ikan kepada sumber pemodalan (kredit bank), teknologi, infrastruktur, informasi, dan aset ekonomi produktif lainnya.
  • Kualitas SDM (knowledge, skills, dan etos kerja) nelayan dan pembudidaya ikan pada umumnya masih relatif rendah.
  • Kebijakan politik ekonomi (moneter, fiskal, RTRW, iklim investasi, dan kemudahan berbisnis) kurang kondusif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *