Milenianews.com, Jakarta- Setiap 13 Desember, bangsa Indonesia mengenang Deklarasi Djuanda dan memperingatinya sebagai Hari Nusantara. Deklarasi tersebut dicetuskan Ir H Djuanda Kartawidjaja dan mempunyai arti penting bagi kesatuan wilayah Indonesia.
Isi Deklarasi Djuanda 1957 adalah: Bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk dalam daratan Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya, adalah bagian yang wajar dari wilayah daratan negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan pedalaman atau perairan nasional berada di bawah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Secara faktual Indonesia merupakan negara kepulauan (bahari) terbesar di dunia, dengan potensi pembangunan ekonomi yang luar biasa besar. “Namun, kesadaran pemerintah dan rakyat Indonesia tentang betapa strategisnya kemaritiman bagi kemajuan, kemakmuran, dan kedaulatan NKRI secara kelembagaan baru dimulai pada September 1999 dengan didirikannya Kementerian Kelautan dan Perikanan (Departemen Eksplorasi Laut, Departemen Kelautan dan Perikanan) di awal Kabinet Persatuan Indonesia, Presiden KH. Abdurrahman Wahid. Pada tahun yang sama didirikan juga DMI (Dewan Maritim Indonesia) diketuai oleh Presiden-RI dan Menteri Kelautan dan Perikanan (ex-officio) sebagai Ketua Harian,” kata Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS pada acara Kuliah Subuh Belajar dari Para Pejuang Bangsa “Ir Djoeanda: Mempersatukan Wilayah Negara sebagai Negara Kepulauan” yang diadakan oleh Akademi Hikmah secara virtual, Rabu (14/12/2022) pagi.
Ia menjelaskan, sejak Pemerintahan Presiden Soekarno (ORLA), Presiden Soeharto (ORBA)) hingga Presiden BJ. Habibie (awal Reformasi), urusan kelautan hanya ditangani oleh Ditjen Perikanan dibawah Departemen Pertanian, Ditjen Perla di bawah Dept. Perhubungan, dan beberapa Direktorat (Eselon-II) yang tersebar di Departemen Pertambangan dan Energi, Departemen Kehutanan, Departemen Dalam Negeri, dan lainnya.
Sangat Penting bagi Kejayaan dan Kedaulatan Bangsa Indonesia
Karena itu, kata Prof Rokhmin, Deklarasi Djoeanda 13 Desember 1957 sangat penting bagi kejayaan (kemajuan serta kemakmuran) dan kedaulatan bangsa Indonesia. “Namun, kita baru memperingatinya sejak Pemerintahan Presiden KH. Abdurrahman Wahid pada 13 Desember 2000. Kemudian melalui Keppres No.126/2001 Presiden Megawati Soekarnoputri mengukuhkan Hari Nusantara, 13 Desember sebagai Hari Nasional yang diperingati setiap tahun,” ujar Prof Rokhmin yang juga ketua umum Masyarakat Akuakultur Indonesia.
Tanpa Deklarasi Djoeanda, potensi kekayaan laut RI hanya sepertiga dari potensi yang dimiliki sekarang. Pasalnya, wilayah laut Indonesia saat itu hanya meliputi laut sejauh 3 mil dari garis pantai yang mengelilingi pulau-pulau NKRI (Ordonansi Laut Territorial dan Lingkungan Maritim tahun 1939). “Sehingga, di antara pulau-pulau NKRI terdapat laut internasional, yang memisahkan satu pulau dengan lainnya. Kondisi semacam itu merupakan ancaman bagi persatuan dan kesatuan NKRI,” tuturnya Prof Rokhmin yang juga ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara).
Baca Juga : Ada 12 Kelompok Iptek dan Keahlian yang Dibutuhkan di Abad Ke-21, Yuk Simak Apa Saja
Berkat Deklarasi Djoeanda 13 Desember 1957 dan kegigihan perjuangan diplomasi oleh para penerusnya, terutama Prof. Dr Mochtar Kusumaatmadja, Dr. Hasyim Djalal, Nugroho Wisnumurti, Toga Napitupulu, Nelly Luhulima, Hardjuni, Adi Sumardiman, Wicaksono Sugarda, Zuhdi Pane, maka deklarasi yang berisikan konsepsi Negara Kepulauan (Archipelagic State) tersebut diterima oleh masyarakat dunia, dan akhirnya ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB (United Nation Convention on Law of the Sea, UNCLOS) 1982.
“Oleh karena itu, Deklarasi Djoeanda sejatinya merupakan salah satu dari tiga pilar utama bangunan kesatuan dan persatuan NKRI, yaitu: (1) Kesatuan Kejiwaan yang dinyatakan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928; (2) Kesatuan Kenegaraan dalam NKRI yang diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945; dan (3) Kesatuan Kewilayahan (darat, laut, dan udara) yang dideklarasikan oleh Perdana Menteri Djoeanda pada 13 Desember 1957,” papar Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2001-2004.
Gerbang Mina Bahari
Ia menyebutkan, pada 23 Juli 2003 Presiden Megawati Soekarnoputri mencanangkan Gerbang Mina Bahari (Gerakan Nasional Pembangunan Kelautan dan Perikanan) di atas Geladak Kapal TNI-AL Dalpele di tengah Teluk Tomini.
Gerbang Mina Bahari pada intinya merupakan Kebijakan Terobosan (Breakthrough) yang menempatkan sektor Ekonomi Kelautan (Perikanan Tangkap, Perikanan Budidaya, Industri Pengolahan Ikan dan Seafood, Industri Bioteknologi Kelautan, Pariwisata Bahari, ESDM pesisir dan laut, Industri dan Jasa Maritim) sebagai prime mover (penghela) perekonomian nasional, yang didukung oleh sektor-sektor terkait serta Kebijakan Politik Ekonomi (moneter, fiskal, PUPR, tata ruang, Iptek, dan SDM) secara ‘total foot ball’ (seperti BIMAS dan Keluarga Berencana) (Keppres No. 07/2003 tentang Gerakan Nasional Pembangunan Kelautan dan Perikanan). Dengan tujuan untuk meningkatkan kontribusi Kelautan bagi terwujudnya Indonenesia Maju, Sejahtera, dan Berdaulat.
Sayang, kata Rokhmin, Gerbang Mina Bahari tidak dilanjutkan pada 2005 – 2014. Kemudian, sejak awal masa bakti pertama (Kabinet Indonesia) pada Oktober 2014 kelautan kembali menjadi prioritas pembangunan NKRI, dengan Presiden Jokowi mencanangkan Kebijakan Terobosan “Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia”. Intinya: Reorientasi Paradigma Pembangunan NKRI, dari land-based ke marine-based development. Menjadikan Indonesia sebagai Negara Maritim yang Maju, Kuat, Sejahtera, dan berdaulat berbasis ekonomi kelautan dan budaya serta Hankam Maritim.
“Sayang, pada 2015 – 2019 lebih dari 70% kebijakan dan program KP berupa larangan, moratorium, dan penenggelaman kapal ikan (rem) Akibatnya, geliat ekonomi KP menurun, nelayan dan masyarakat pesisir tetap miskin,” ujar Rokhmin yang juga Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020-sekarang.
Ekonomi Maritim
Rokhmin mengemukakan, pengertian Ekonomi Maritim, yakni kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan kegiatan ekonomi di darat (lahan atas) yang menggunakan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan untuk menghasilkan barang dan jasa (goods and services) yang dibutuhkan umat manusia”.
Menurutnya, potensi kelautan sangat besar untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045. Total potensi ekonomi sebelas sektor Kelautan Indonesia: US$ 1,4 triliun/tahun atau 7 kali lipat APBN 2021 (Rp 2.750 triliun = US$ 196 miliar) atau 1,2 PDB Nasional 2021. Lapangan kerja: 45 juta orang atau 30% total angkatan kerja Indonesia.
Pada 2018 kontribusi ekonomi kelautan bagi PDB Indonesia sekitar 10,4%. Negara-negara lain dengan potensi kelautan lebih kecil (seperti Thailand, Korsel, Jepang, Maldives, Norwegia, dan Islandia), kontribusinya > 30%.
“Jika Potensi Ekonomi Kelautan didayagunakan dan dikelola berbasis inovasi Iptek dan manajemen profesional, maka Kelautan diyakini akan mampu berkontribusi secara signifikan dalam mengatasi segenap permasalahan bangsa, dan mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia dan Indonesia Emas paling lambat pada 2045,” papar Rokhmin Dahuri.