Tuhan, Manusia dan Mesin: Relasi Ciptaan dan Pencipta dalam Era Kecerdasan Buatan

Kecerdasan Buatan

Mata Akademisi, Milenianews.com – Ilmu kalam sebagai cabang ilmu yang relevansi termasuk dalam memahami konsep ketuhanan. Di era sekarang, Komputer menghadiri isu baru yang mana globalisasi terus berkembang karena kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Hal ini memberikan dampak yang signifikan pada pemahaman masyarakat terhadap nilai-nilai agama dan filosofi. Salah satunya yaitu AI (Artificial Intelligence). Berdasarkan hasil survei Populix, hampir setengah atau 45% pekerja dan pengusaha di Indonesia telah menggunakan aplikasi AI. Indonesia menduduki peringkat ke 3 sebagai negara pengguna AI terbanyak. Dan yang pertama adalah Negara Amerika Serikat. Ada keterkaitan AI dan ilmu kalam dalam hal menciptakan. Karena Ilmu kalam adalah cabang ilmu yang relevansi termasuk dalam memahami konsep ketuhanan (sang kholiq/ sang pencipta).

Perkembangan kecerdasan buatan (AI) saat ini telah menimbulkan berbagai pertanyaan, tidak hanya di bidang teknologi tetapi juga dalam pemikiran filsafat dan agama. Salah satu pertanyaan besar yang muncul adalah: Mungkinkah mesin atau AI bisa disebut sebagai “pencipta”? Pertanyaan ini banyak menimbulkan kesalahpahaman dalam berpikir, terutama ketika melihat AI yang mampu menghasilkan karya seni, menulis artikel, atau bahkan merancang program. Namun, untuk menjawab terkait hal ini, kita perlu melihat dari sudut pandang teologi Islam, yang membahas hakikat Tuhan dan hubungan-Nya dengan ciptaan.

Baca juga: Inovasi Teknologi Hijau: Ketika Teknologi dan Lingkungan Berkolaborasi

Ilmu kalam, sebagai cabang pemikiran Islam yang menggunakan pendekatan rasional, menjelaskan bahwa Tuhan (Allah) adalah Al-Khaliq (Pencipta Mutlak), sementara segala sesuatu selain-Nya adalah makhluk (ciptaan). Secerdas apa pun AI, tetaplah hasil karya manusia, yang pada dasarnya adalah ciptaan Tuhan. Artinya, AI tidak lebih dari sebuah alat canggih yang dirancang manusia berdasarkan pengetahuan yang telah ada. Ia tidak menciptakan dari ketiadaan, melainkan hanya mengolah data yang diberikan.

Perbedaan mendasar antara tuhan dan AI

Lalu, bagaimana ilmu kalam memandang AI? Secara teologis, AI tidak bisa disamakan dengan Tuhan, karena AI memiliki keterbatasan yang jelas. Tuhan menciptakan tanpa contoh sebelumnya, sedangkan AI hanya bekerja berdasarkan data dan perintah manusia. Tuhan memiliki kehendak bebas dan pengetahuan tak terbatas, sementara AI hanya bisa beroperasi dalam batasan pemrogramannya. Dengan demikian, meskipun AI terlihat “pintar” dan bahkan bisa melakukan hal-hal yang menakjubkan, statusnya tetaplah sebagai ciptaan, bukan pencipta. Perbedaan mendasar ini penting untuk dipahami agar kita tidak keliru dalam memandang perkembangan teknologi di era modern.

Perbandingan antara tuhan dengan AI dapat dilihat bahwaTuhan menciptakan segalanya dari ketiadaan tanpa contoh. Maha mengetahui dan berkehendak, tuhan memiliki ilmu dan kekuasaan yang Mutlaq, bersifat tak terbatas, dan tuhan bersifat transenden. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Al-Asy’ari bahwa Tuhan adalah Pencipta mutlak (Al-Khaliq) yang mencipta dari ketiadaan. Segala tindakan makhluk, termasuk AI, terjadi melalui mekanisme kasb (perolehan) yang bergantung pada kehendak Tuhan. Adapun pendapat Al-Maturidi juga menekankan bahwa Tuhan menciptakan memiliki hikmah dan tujuan. Kecerdasan AI sebagai produk manusia tetap tunduk pada hukum sebab-akibat yang ditetapkan Tuhan. Hal ini berbeda pendapat dengan Mu’tazilah bahwa Tuhan menciptakan, tetapi manusia memiliki kebebasan yang nyata. Menurut mereka Manusia adalah “pencipta” (khāliq) bagi perbuatannya sendiri.

Manusia dan teknologi hanyalah bagian dari ciptaannya termasuk AI. AI hanya bergantung pada data dan program yang dibuat oleh manusia dari kecerdasan buatan mahkluk yang “pintar” tapi tidak mandiri, meskipun canggih tetap memiliki karakteristik makhluk. AI adalah program yang diciptakan bukan yang menciptakan, hanya memproses data dari ketergantungan pada manusia. Ai tidak memiliki kesadaran atau kehendak bebas, ia hanya menjalankan perintah berdasarkan kode program dan memiliki keterbatasan secara eksistensial, AI bisa belajar tetapi tidak memiliki ruh, niat, atau tujuan spiritual seperti manusia.  Misalnya chatGPT dapat menulis puisi, tetapi tidak memahami makna puisi tersebut ia hanya merangkai kata berdasarkan pola data.

AI bisa menggantikan tugas, bukan eksistensi manusia

Lalu bagaimana dengan AI di tantangan Modern sekarang ini: Bisakah AI Menggantikan Tuhan? Di zaman sekarang, banyak orang bertanya jika AI bisa membuat lagu, gambar, atau tulisan sendiri, apakah itu berarti dia bisa disebut “pencipta”? Jawabannya tidak, karena AI tetap butuh data dan perintah dari manusia.  Hal ini dapat mengkhawatiran jika orang mulai terlalu mengagungkan AI sampai seperti menyembahnya. Ini berbahaya karena AI tetaplah benda mati yang dibuat manusia, sedangkan Tuhan Maha Mengetahui dan punya kesadaran sejati, sementara AI cuma mesin pintar tanpa perasaan atau tujuan hidup. Kita harus hati-hati agar tidak salah paham dan menganggap teknologi bisa menggantikan kekuasaan Tuhan.

Lalu apakah AI juga bisa menggantikan manusia? Dilansir dari data KOMPAS.com bahwa alfons tanujaya menjelaskan beberapa keunggulan Ai dibanding manusia. ia mengatakan bahwa Ai dapat menggantikan manusia, terutama pada hal-hal yang berkaitan dengan tugas berulang serta analisa data cepat dalam jumlah yang besar. “Ai tidak dapat lelah dan malas”

Akan tetapi Alfons juga mengatakan bahwa kemungkinan besar Ai memang tidak dapat seratus persen menggantikan manusia, namun untuk urusan produktifitas, kemampuan mengolah data, efisiensi, ketelitian data dan pekerjaan lain, Ai dapat melakukan dengan jauh lebih baik dan cepat. Mesin Ai tidak memiliki batas dan kelemahan seperti rasa malas, lelah, yang dimiliki manusia. Alfons menambahkan catatan penting bahwa saat ini AI memang belum bisa menggantikan manusia. Tetapi manusia yang menggunakan AI akan memiliki keunggulan lebih besar daripada yang tidak menggunakannya. “Jadi, mau tidak mau, kalau Anda ingin bertahan dan menang dalam persaingan di dunia ini anda harus memanfaatkan AI,” tegas Alfons.

Memahami batasan AI melalui ilmu kalam

Banyak yang percaya bahwa AI dapat meminimalisir kesalahan yang bisa dibuat oleh manusia. Selain itu, hal-hal yang sulit dilakukan ataupun butuh waktu lama akan menjadi lebih mudah dan singkat dengan adanya AI. Namun, dikutip dari Thomson Reuters, mengatakan bahwa sebenarnya kecerdasan buatan (AI) seharusnya tidak bisa 100 persen dipercaya. Sama halnya dengan manusia, robot juga dapat membuat kesalahan. Dari studi yang dilakukan oleh Melbourne University yang mengungkapkan bahwa masyarakat di negara berkembang cenderung lebih percaya AI dibanding mereka yang tinggal di negara maju. Jadi, pada intinya Ai tidak bisa menggantikan manusia, walaupun kerja AI lebih cepat akan tetapi AI hanya program yang ada dibawah kendali manusia, dia hanya mengikuti apa yang diperintah manusia.

Baca juga: Tekologi Literalis dalam Dunia Digital: Relevansi Pemikiran Ibn Hanbal dan Ibn Taimiyyah di Abad 21

Dengan demikian, Tuhan adalah pencipta mutlaq sementara manusia adalah mahkluk atau ciptaan-Nya. sehebat apapun AI tetaplah makhluk yang terbatas. Perbedaan ini penting agar manusia tidak terjebak dalam glorifikasi teknologi hingga melupakan hakikat ketuhanan. AI boleh menjadi alat bantu, tetapi ia tidak akan pernah setara dengan kekuasaan Ilahi. Karena walaupun AI bisa menghasilkan seni, music, atau teks tetap tidak layak disebut sebagai pencipta karena ia tetap bergantung pada input manusia. Dan Ai juga tidak bisa menggantikan manusia, walaupun kerja AI lebih cepat akan tetapi AI hanya program yang ada dibawah kendali manusia, dia hanya mengikuti apa yang diperintah manusia.

Dengan memahami batasan AI melalui pandangan illmu kalam, kita bisa menghargai teknologi tanpa mengaburkan keyakinan teologis. Rentangan ke depan adalah memastikan AI digunakan secara etis, tanpa melanggar prinsip ketauhidan bahwa hanya Tuhanlah sang Pencipta sejati. Jangan kita percaya pada AI, karena pada hakikatnya yang harus kita percaya hanya Allah SWT.

Penulis: Almadinatuz Zahrah, Dosen serta Nur Hidaya, Selma Setira, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *