Mata Akademisi, Milenianews.com – Dalam perkembangan pemikiran teologi Islam, aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah masing-masing menjadi penafsiran paling populer bagi Ahlussunnah wal Jamaah. Kedua golongan ini didirikan oleh Al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari (wafat 324 H) dan Abu Mansur al-Maturidi (wafat 333 H). Kedua imam ini telah memainkan peran besar dalam menetapkan doktrin aqidah sebagai tanggapan terhadap tantangan pemikiran Mu’tazilah, Syiah, dan mazhab-mazhab lain yang muncul pada era klasik Islam.
Namun, di era kontemporer, kedua mazhab ini menghadapi sejumlah tantangan baru, baik dari dalam maupun luar tradisi Sunni, yang memicu perdebatan tentang relevansi, interpretasi, dan aplikasi doktrin mereka dalam konteks kekinian.
Beberapa orang, terutama dari kalangan Salafi, menganggap pendekatan kedua aliran ini terlalu memberi ruang bagi rasionalitas, sehingga dianggap menyimpang dari metode generasi salaf. Orang lain mengkritik bahwa pemikiran al-Asy’ariyah dan al-Maturidiyah cenderung apologetik dalam menanggapi tantangan teologi. Al-Asy’ariyah dan al-Maturidiyah berusaha menjembatani antara wahyu dan akal. Metode ini sangat relevan untuk menangani masalah kontemporer yang menuntut umat Islam berpikir kritis sambil mempertahankan nilai-nilai agama mereka.
Tantangan dari Paham Ekstremis: Wahabisme
Al-Asy’ariyah dan al-Maturidiyah telah menghadapi banyak tantangan di era kontemporer, terutama dari doktrin-doktrin yang bertentangan dengan Islam moderat. Salah satu masalah utama adalah munculnya kelompok-kelompok ekstremis yang lebih cenderung menafsirkan teks-teks agama secara harfiah tanpa mempertimbangkan konteks dan argumen historis, seperti Wahabi. Wahabisme adalah ajaran yang dibawa oleh Muhammad bin Abdul Wahab sebagai bentuk reformasi ajaran Islam di Arab Saudi.
Selama pengembaraannya ke berbagai tempat untuk memperoleh ilmu pengetahuan, Muhammad bin Abdul Wahab menemukan banyak penyimpangan ajaran Islam. Praktik bid’ah, syirik, dan khurafat adalah sebagian dari penyimpangan tersebut. Bid’ah adalah mengadakan ibadah yang tidak memiliki dasar dalam Islam dan didirikan oleh individu atau budaya tertentu. Akibatnya, gagasan reformasi Islam Wahabi dimulai oleh Muhammad bin Abdul Wahab pada pertengahan abad ke-18 M.
Dalam banyak kasus, kelompok-kelompok ini cenderung menolak pendekatan al-Asy’ariyah dan al-Maturidiyah karena dianggap terlalu kompromistis. Wahabi menolak inovasi dalam beragama, karena mereka ingin ajaran Islam tetap sama seperti yang diajarkan oleh Nabi. Dengan demikian, segala ibadah atau keyakinan yang tidak dicontohkan oleh Nabi dianggap bid’ah atau sesat. Mereka juga cenderung anti-madzhab, mengklaim kembali langsung ke Al-Quran dan Sunnah tanpa terikat pendapat ulama madzhab. Selain itu, mereka bersikap ketat dalam penerapan hukum, terutama dalam isu moralitas publik, seperti penegakan hijab atau larangan musik.
Sebaliknya, Asy’ariyah dan Maturidiyah mengikuti empat madzhab Sunni (Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hanbali) dan menghargai tradisi keilmuan klasik. Kedua aliran ini juga lebih fleksibel dalam menggabungkan konteks sosial-budaya dengan hukum.
Untuk menghadapi penyebaran pemikiran Wahabi, terutama di Indonesia, golongan Asy’ariyah dan Maturidiyah harus memiliki strategi yang tepat. Di era perkembangan teknologi saat ini, media sosial seperti podcast dan YouTube bisa dimanfaatkan sebagai alat dakwah untuk mengadakan forum diskusi dengan ulama terkemuka dalam menjawab tantangan ideologis Wahabi.
Asy’ariyah dan Maturidiyah juga berperan penting dalam menjaga harmoni antara ajaran Islam dan budaya lokal di Nusantara, yang tercermin dalam seni Islami seperti kaligrafi dan arsitektur masjid, serta tradisi lokal seperti maulidan. Dalam hal ini, diperlukan kolaborasi strategis antara pemerintah dalam membuat kebijakan perlindungan budaya, ormas Islam, serta komunitas lokal guna memperkuat Islam moderat berbasis teologi Asy’ariyah-Maturidiyah, sekaligus menangkal paham ekstremis yang mengancam keragaman budaya Islam Nusantara.
Peran Akademisi dan Riset Keislaman
Sebagai akademisi, penting untuk mengembangkan wacana keislaman melalui riset mendalam tentang sejarah dan kontribusi Islam Nusantara, termasuk mengeksplorasi bagaimana teologi Asy’ariyah-Maturidiyah berinteraksi dengan budaya lokal membentuk karakter Islam yang moderat. Upaya ini perlu didukung dengan menerbitkan kembali karya-karya ulama klasik maupun kontemporer yang membela tradisi Sunni, sekaligus menghasilkan penelitian baru yang menguatkan narasi Islam berbasis kearifan lokal.
Dengan demikian, dunia akademik dapat memberikan fondasi keilmuan yang kuat untuk melestarikan warisan intelektual Islam Nusantara, sekaligus menawarkan perspektif seimbang dalam menghadapi tantangan pemikiran keagamaan kontemporer.
Oleh karena itu, aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah masih relevan sebagai penjaga moderasi Islam di tengah tantangan pemikiran literalistik seperti Wahabi. Keduanya menawarkan keseimbangan antara akal dan wahyu, serta fleksibilitas dalam menangani konteks sosial-budaya, yang menjadi pondasi Islam Nusantara yang toleran dan berakar pada kearifan lokal.
Di Indonesia, pemerintah, akademisi, dan masyarakat bekerja sama untuk mempromosikan Islam moderat, yang menjadi kunci ketahanan terhadap ekstremisme. Islam Nusantara dapat menjadi teladan Islam yang kokoh dalam akidah, bersifat fleksibel, dapat diterima semua orang, serta mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan dan perkembangan zaman, dengan menggali khazanah klasik sekaligus menjawab tantangan kontemporer.
Penulis: Sultan Anthus Nasruddin Mohammad, Dosen serta Bunga Lidya Novitasari, Rahsihan Widdari, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.