Tahlilan Masyarakat Jawa

tahlilan

Mata Akademisi, Milenianews.com – Pada beberapa tahun terakhir, kegiatan tahlilan menjadi kontroversial dikalangan beberapa aliran. Beberapa aliran anti tradisi ini berupaya untuk membid’ahkan atau bahkan mengkafirkan kegiatan tahlilan tersebut. Padahal, pada kegiatan tahlilan sendiri tersusun amaliah-amaliah yang diwariskan oleh ‘alim ‘ulama dan para orang-orang sholih seperti maulid, yasinan, pembacaan tahlil, do’a bersama, tabaruk dan lain-lain.

Dikalangan masyarakat terutama di Pulau Jawa, tahlilan sering dikenal atau dikaitkan sebagai tradisi perayaan sistem kehidupan dalam islam. Selain didalamnya terdapat do’a-do’a dan dzikir, kegiatan tahlilan ini juga memiliki makna dan manfaat bagi keluarga yang berduka ataupun bagi masyarakat sekitar. Sehingga tradisi ini telah menjadi bagian dari kehidupan sosial dan keagamaan umat Islam di Indonesia.

Baca juga: Hermeneutika Hasan Hanafi Bukan Sekadar Tafsir Teks

Pada sebuah penelitian, tradisi tahlilan ini muncul sejak abad ke-18 oleh salah seorang ulama Nusantara seperti Syekh Ismail al-Khalidi al-Mankabawi pada karyanya Kifayah al-Ghulam. Kitab ini menjelaskan tentang tata cara tahlilan yang terdiri dari bacaan-bacaan dan do’a-do’a untuk arwah almarhum.

Praktik tahlilan ternyata sudah ada sejak zaman nabidan terdapat pada Al-Qur’an seperti membaca lailahaillallaah, mendoakan shohibul bait dan lain sebagainya. Tradisi tahlilan ini juga menekankan agar dilakukan dengan Ikhlas dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Seorang pakar antropologi Clifford Geertz dalam bukunya yang berjudul “Religion as a Cultural System” menyatakan bahwa agama adalah sistem simbol yang berfungsi untuk memberikan makna terhadap realitas sosial dan eksistensial umat manusia. Menurut Geerts, fungsi dari simbol- simbol agama ialah untuk menyatukan pandangan hidup (world view) dan etos (moralitas) masyarakat.

Dalam konteks tahlilan ini dapat dilihat sebagai salah satu simbol dalam sistem kebudayaan Islam Indonesia yang berfungsi untuk memberikan makna terhadap kematian dan kehidupan setelahnya. Tahlilan mencerminkan pandangan hidup masyarakat Muslim Indonesia yang meyakini adanya kehidupan setelah mati dan pentingnya doa sebagai sarana untuk mendoakan arwah orang yang telah meninggal. Melalui bacaan tahlil dan doa bersama, masyarakat berusaha untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan berharap agar arwah almarhum mendapatkan Rahmat dan ampunan-Nya.

Praktik tahlilan merupakan hasil akulturasi budaya lokal dan ajaran Islam. Tradisi ini merupakan bukti bahwa ajaran Islam dapat menyesuaikan diri dengan budaya lokal tanpa menghilangkan esensi keagamaannya. Tahlilan juga biasa disebut dengan selametan, yangmana selametan itu sendiri ialah adat Jawa yang sudah turun temurun sejak pra-Islam, sehingga pada zaman sebelum islam datang selametan disebut juga dengan ritual jagongan.

Baca juga: Antara Ibadah dan Wisata: Ziarah dalam Perspektif Sakral dan Profan Menurut Mircea Eliade

Ketika Islam datang tradisi selametan perlahan mulai dirubah oleh para tokoh-tokoh Islam seperti Wali Songo. Sehingga menjadikan selametan yang dulunya tradisi jagongan dan “melekan” (bergadang) yang biasanya dilakukan untuk bermaksiat menjadi membaca Al-Qur’an dan doa-doa hingga akhirnya muncul tradisi tahlilan.

Tahlilan bukan hanya sekadar kegiatan keagamaan, tetapi juga merupakan tradisi yang memiliki nilai-nilai sosial yang penting. Kegiatan ini menjadi sarana untuk memperkuat iman, menjalin silaturahmi, dan menjaga keseimbangan sosial di masyarakat. Dengan demikian, tahlilan dapat menjadi bagian dari upaya menjaga keharmonisan dan keutuhan masyarakat.

Penulis: Samsul Ariyadi, Dosen serta Azizah Tri Fathurrahmah, Eka Amalia Safitri, Nuha Rosyidah Yusuf, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *