Milenianews.com, Mata Akademisi – Dalam sejarah penafsiran Al-Qur’an, beragam pendekatan telah berkembang untuk memahami teks suci sesuai kebutuhan zaman. Salah satu pendekatan yang banyak menarik perhatian adalah tafsir ilmiah, yaitu metode penafsiran yang mencoba mengintegrasikan prinsip ilmu pengetahuan dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Imam Tantawi Jauhari melalui karyanya, Tafsir Al-Jawahir, menjadi tokoh yang berperan penting dalam pengembangan pendekatan ini. Tafsir tersebut tidak hanya menghadirkan penjelasan makna ayat, tetapi juga mengaitkannya dengan temuan ilmiah modern. Oleh sebab itu, kajian mengenai pandangan ulama terhadap tafsir ilmiah, karakteristik metode Tantawi Jauhari, serta signifikansi Tafsir Al-Jawahir penting dilakukan untuk melihat posisi Al-Qur’an dalam dialog antara agama dan sains, terutama di tengah perkembangan zaman saat ini.
Tafsir Al-Jawahir memiliki nama lengkap Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim, namun lebih dikenal sebagai Tafsir Al-Jawahir. Karya monumental ini terdiri dari 25 jilid dan satu jilid tambahan berisi pembahasan mengenai teori ilmu pengetahuan alam, hukum syariah, serta ragam pandangan ulama, yang disebut Mulhaq al-Jawahir. Penulisan tafsir ini dimulai ketika Tantawi menjadi pengajar di Madrasah Dar al-‘Ulum. Pada awalnya, tafsir ini disusun sebagai bahan ajar bagi para siswa, sebagian lainnya ditulis untuk dimuat dalam Majalah Al-Malaji’ al-‘Abasiyah.
Penulisan Tafsir Al-Jawahir berlangsung pada awal abad ke-20, periode ketika Mesir sedang mengalami kebangkitan intelektual dan modernisasi. Manuskrip ini menyoroti ayat-ayat kauniyah—ayat yang berbicara tentang fenomena alam semesta—dengan pendekatan yang berbeda dari tafsir tradisional. Imam Tantawi berupaya menghubungkan ayat Al-Qur’an dengan penemuan ilmiah modern agar pembaca dapat memahami hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan secara lebih komprehensif.
Dalam penafsirannya, Tantawi Jauhari menginterpretasikan ayat-ayat Al-Qur’an melalui pendekatan ilmiah yang luas, merujuk pada berbagai disiplin ilmu modern. Ia kerap mengutip pandangan ilmuwan Barat maupun Timur untuk menunjukkan bahwa Al-Qur’an telah lebih dahulu membahas berbagai fenomena alam sebelum ditemukannya teori ilmiah modern. Banyak kitab tafsir sebelumnya menyoroti flora, fauna, dan keindahan alam semata sebagai bentuk penjelasan ciptaan Allah. Namun, Tantawi tidak hanya menggambarkan teori ilmiah modern dalam konteks ayat, tetapi juga menampilkan ragam pengetahuan klasik dan modern untuk memperlihatkan keluasan ilmu yang sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an.
Baca juga: Qirā’at QS. Al-Ahzab: 33 dan Ruang Karir Perempuan dalam Perspektif Matan Syatibi
Dalam penyusunan tafsirnya, Imam Tantawi menggunakan metode tahlili dengan nuansa penafsiran ilmiah. Tafsir Al-Jawahir termasuk tafsir bi al-ra’yi, karena dalam proses penafsiran beliau menggunakan hasil pemikirannya sendiri. Karya ini berbeda dari karya pada zamannya yang banyak menekankan aspek kebahasaan, terutama penjelasan kosa kata dan struktur bahasa. Salah satu kritik Imam Tantawi terhadap pendekatan kebahasaan adalah anggapannya bahwa metode tersebut lebih banyak menghasilkan penghafal daripada pemikir, sehingga menghambat perkembangan ilmu.
Selain menggunakan teori ilmiah, Imam Tantawi juga banyak memanfaatkan riwayat hadis untuk memperkuat penafsirannya. Riwayat tersebut tersebar dalam banyak bagian, terutama dalam konteks teologi, hukum, akhlak, dan aspek ilmiah.
Struktur kitab Tafsir Al-Jawahir disusun berdasarkan urutan surah dalam Al-Qur’an. Setiap surah dibahas secara detail dengan fokus pada ayat-ayat kauniyah. Penjelasan dilengkapi dengan ilustrasi ilmiah, tabel, dan contoh fenomena alam. Penyajian sistematis dengan pendekatan ilmiah ini memudahkan pembaca memahami hubungan antara ayat Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan.
Para ilmuwan menilai bahwa Imam Tantawi Jauhari juga merupakan seorang sosiolog (hakim ijtima’) yang memperhatikan kehidupan umat. Hal ini terlihat dari dua karyanya: Nahdah al-Ummah wa Hayatuha yang membahas sistem sosial, kondisi umat Islam, serta perkembangan ilmu dan peradaban; serta Aina al-Insan yang menyoroti hubungan antarorganisasi, persoalan politik, dan pemerintahan. Tantawi juga dianggap sebagai Hakim Thabi’i Lahuti (Teosofi Alam), karena sering membahas ruh dan keajaiban alam dalam karyanya seperti Jawahir al-Ulum, Al-Arwah, dan Al-Nidzam wa al-Islam. Selain itu, Tantawi juga dipandang sebagai mufasir modern yang mencoba menafsirkan Al-Qur’an sesuai perkembangan zaman, terutama melalui Tafsir Al-Jawahir yang menekankan titik temu antara filsafat Yunani, ilmu modern, dan teks suci.
Tantangan penerapan Tafsir Al-Jawahir di masa kini cukup kompleks. Salah satunya adalah kesulitan mengintegrasikan pendekatan ilmiah ke dalam tradisi tafsir klasik yang menonjolkan aspek bahasa dan spiritualitas. Pemaparan ilmiah yang panjang dan teknis seringkali menyulitkan pembaca yang tidak memiliki latar belakang sains. Hal ini menimbulkan tantangan edukasi agar tafsir ini tidak hanya dipahami sebagai catatan ilmiah, melainkan tetap menjadi pedoman spiritual yang meneguhkan keimanan.
Selain itu, muncul kontroversi terkait aspek dakhil al-‘ilmi atau pencampuran unsur ilmiah dalam tafsir. Sebagian ulama menilai pendekatan ini bisa menjerumuskan pada pemaksaan makna ilmiah yang tidak selalu sesuai atau berubah seiring perkembangan riset baru. Hal ini membuat sebagian cendekiawan ragu mengenai validitas penafsiran sekaligus khawatir terhadap kemungkinan pengaburan pesan wahyu.
Tantangan lainnya adalah menjaga keseimbangan antara keterbukaan terhadap sains dan penguatan nilai religius. Dalam dunia Islam yang semakin modern, pendidikan dan pengajaran Tafsir Al-Jawahir perlu dikembangkan dengan pendekatan hybrid, yakni memadukan keilmuan sains dan religiusitas agar umat kritis secara rasional dan kuat dalam iman. Dengan demikian, tafsir ini dapat menjadi media pembelajaran yang relevan dalam menjawab persoalan kontemporer tanpa mengabaikan prinsip dasar Al-Qur’an.
Tafsir Al-Jawahir karya Tantawi Jauhari memberikan kontribusi besar dalam perkembangan studi tafsir dan pemahaman Al-Qur’an. Dengan pendekatan ilmiahnya, karya ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an bukan hanya kitab petunjuk spiritual, tetapi juga sumber ilmu pengetahuan. Beragam pandangan ulama terhadap tafsir ilmiah—baik yang mendukung maupun menolak—menunjukkan dinamika intelektual Islam dalam merespons perkembangan zaman. Melalui karakter tafsir ilmiah dan penggunaan argumen yang kuat, Tafsir Al-Jawahir berhasil menjembatani dialog antara Islam dan dunia modern. Dengan relevansinya terhadap tantangan kontemporer, tafsir ini mendorong pembaca untuk memahami Al-Qur’an dalam konteks yang lebih luas dan ilmiah.
Penulis: Siti Khadijah Zulhilmi, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.







