Mata Akademisi, Milenianews.com – Dalam balutan kain putih dan hitam, dengan langkah kaki menyusuri pegunungan Kendeng di Banten, masyarakat Baduy menjaga sebuah pusaka tak ternilai: tradisi. Di balik kesederhanaan dan keterisolasian mereka, tersembunyi struktur sosial yang kokoh — sebuah bentuk solidaritas mekanik yang dijelaskan oleh sosiolog klasik Émile Durkheim.
Suku Baduy, atau dikenal sebagai Urang Kanékés, menolak modernisasi demi menjaga harmoni dengan alam dan leluhur. Gaya hidup mereka yang mempertahankan adat secara ketat menjadi gambaran ideal masyarakat dengan solidaritas mekanik — yaitu ikatan sosial yang lahir dari kesamaan nilai dan norma kolektif.
Durkheim: Solidaritas di Masyarakat Tradisional
Émile Durkheim memperkenalkan dua tipe solidaritas sosial: mekanik dan organik. Solidaritas mekanik terjadi dalam masyarakat tradisional, di mana orang-orang hidup homogen, menganut nilai yang sama, dan menjalani peran sosial yang hampir seragam. Inilah yang terjadi di Baduy.
Kehidupan mereka ditopang oleh sistem Sunda Wiwitan, kepercayaan yang menggabungkan unsur animisme, Hinduisme, dan Islam. Sistem ini tidak hanya spiritual, tapi juga menyatukan masyarakat dalam satu kesadaran kolektif yang kuat. Pelanggaran adat pun dikenakan sanksi represif — bukan karena dendam, melainkan menjaga tatanan sosial tetap utuh.
Tradisi dan Keseragaman sebagai Identitas Kolektif
Arsitektur rumah yang sama, pakaian adat yang identik, dan sistem pertanian tradisional yang diwariskan turun-temurun bukan sekadar kebiasaan — ini adalah simbol homogenitas budaya. Upacara Seba, Kawalu, hingga Ngaseuk menjadi titik temu antara spiritualitas, identitas, dan solidaritas sosial.
Meskipun berada dalam wilayah negara modern, masyarakat Baduy tetap mampu mempertahankan otonomi adat melalui isolasi dan keteguhan kolektif. Dalam logika Durkheim, ini adalah contoh paling konkret dari bagaimana solidaritas mekanik bertahan dalam tekanan zaman.
Tantangan Globalisasi, Ancaman pada Kesadaran Kolektif
Namun, tantangan tidak bisa dihindari. Generasi muda Baduy mulai mengenal pendidikan formal. Pemerintah memperkenalkan program ekowisata. Kebutuhan ekonomi memaksa sebagian warga keluar dari komunitas. Semua ini membuka celah bagi perubahan nilai.
Durkheim menyebutkan bahwa ketika solidaritas mekanik mulai luntur, masyarakat rentan pada disintegrasi jika tak mampu membentuk sistem sosial baru yang relevan. Maka, menjaga identitas kolektif menjadi keharusan mutlak bagi kelangsungan masyarakat Baduy.
Belajar dari Baduy: Kesederhanaan sebagai Ketahanan Sosial
Solidaritas mekanik Baduy memberi pelajaran penting bagi dunia modern: bahwa kesederhanaan, gotong royong, dan kepatuhan pada nilai bersama bisa menciptakan ketahanan sosial yang kuat. Di tengah dunia yang individualistik, Baduy berdiri sebagai pengingat bahwa kehidupan yang terorganisir secara tradisional bukanlah kelemahan — tapi bentuk kearifan sosial yang luar biasa.
Tradisi, Bukan Romantisisme Masa Lalu
Tradisi Baduy bukan nostalgia kosong. Ia adalah struktur sosial yang hidup, tumbuh, dan penuh makna. Namun untuk terus bertahan, diperlukan pendekatan adaptif yang tidak mengeksploitasi. Pemerintah dan akademisi harus hadir sebagai pendukung, bukan pengganggu.
Jika solidaritas mekanik bisa bertahan di tengah globalisasi, mungkin dunia modern pun bisa belajar: bahwa kebersamaan dan kesadaran kolektif tetap relevan untuk masa depan yang lebih manusiawi.
Penulis: Muhammad Hizbullah, Melda Pebriyana, Najwa, Neng Risya. Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.