Sekularisme Prancis Dan Kontroversi Jilbab: Antara Netralitas, Kekuasaan, Dan Kebebasan Beragama

Sekularisme Prancis

Milenianews.com, Mata Akademisi – Prancis diakui dengan kepatuhannya pada prinsip laicite, yang juga dikenal sebagai sekularisme. Prinsip ini menyatakan bahwa negara harus tetap netral dalam urusan agama, tidak memihak, dan tidak mengizinkan simbol-simbol keagamaan menjadi peran utama dalam ruang publik. Namun demikian, dalam penerapannya, sekularisme di Prancis sering kali menjadi titik fokus perselisihan, terutama ketika bersinggungan dengan jilbab yang dipakai oleh perempuan Muslim.

Sejak akhir tahun 1980-an, penggunaan jilbab telah memicu perdebatan yang sangat serius di Prancis. Fenomena ini telah menjadi topik diskusi di berbagai lingkungan, mulai dari lingkungan pendidikan hingga ruang publik, serta dalam kegiatan olahraga maupun lingkungan yang sifatnya privat seperti keluarga. Jilbab sering kali dinilai sebagai simbol yang dapat mengusik prinsip netralitas negara. Dari beberapa informasi telah mengemukakan adanya usulan mengenai pelarangan jilbab bagi individu di bawah usia 15 tahun, yang telah menggambarkan bagaimana sekularisme di Prancis berubah dari suatu konsep teoretis menjadi suatu kebijakan yang nyata untuk membatasi ekspresi keagamaan.

Baca juga: Pengetahuan Diri dalam Kehidupan Sehari-hari

Permasalahan mengenai jilbab di Prancis mulai muncul ke permukaan pada tahun 1989, diawali dengan adanya tiga pelajar perempuan di Creil yang menolak untuk melepaskan jilbab mereka di lingkungan sekolah. Kejadian ini dikenal dengan l’affaire du foulard, memicu perdebatan di tingkat nasional mengenai status jilbab. Sejak peristiwa tersebut, isu mengenai jilbab terus muncul kembali berulang kali. Pada tahun 2003, Komisi Stasi mengeluarkan rekomendasi untuk melarang “penanda keagamaan yang mencolok” di sekolah-sekolah negeri. Rekomendasi ini kemudian diimplementasikan melalui Undang-Undang tahun 2004 yang memberlakukan larangan terhadap pemakaian simbol-simbol keagamaan yang terang-terangan, termasuk jilbab, kippa Yahudi, dan salib yang berukuran besar. Meskipun undang-undang ini mencakup seluruh keyakinan agama, namun dalam penerapannya, jilbab secara jelas menjadi sasaran larangan sebagai simbol yang paling kentara dari beberapa agama yang lain.

Sekularisme di Prancis bukan hanya sekadar pemisahan antara keagamaan dan kenegaraan. Negara justru aktif mendefinisikan apa yang dianggap sebagai tanda keagamaan, di mana tanda itu boleh muncul, dan bagaimana warga harus menyesuaikan diri dengan citra Republik. Konsep laicite, sebagaimana diartikan oleh Asad, bekerja bukan hanya melalui hukum, tetapi juga melalui rasa takut dalam kebersamaan seperti rasa takut terhadap perbedaan, rasa bersalah atas sejarah kolonialisme, dan keinginan untuk menjaga kesatuan nasional. Dengan demikian, sekularisme menjadi praktik kekuasaan yang membentuk identitas warga negara, dan bukan sekadar prinsip netralitas.

Pembatasan penggunaan jilbab di lingkungan pendidikan telah menimbulkan konsekuensi yang nyata bagi kaum perempuan Muslim di Prancis. Banyak dari mereka terpaksa menghentikan pendidikan formal atau menempuh jalur pendidikan alternatif lain. Hal ini mengakibatkan penurunan dalam pencapaian akademis dan hambatan terhadap mobilitas sosial di kalangan pelajar Muslim perempuan. Lebih lanjut, perdebatan mengenai jilbab telah merambah ke sektor-sektor lain. Misalnya, pada tahun 2016, sejumlah pantai di Prancis memberlakukan larangan terhadap pemakaian burkini. Dalam konteks olahraga, penggunaan jilbab juga menjadi perbincangan, khususnya terkait dengan aturan berseragam. Bahkan, orang tua yang mengenakan jilbab terkadang dilarang untuk menemani anak-anak mereka dalam aktivitas sekolah. Keseluruhan fenomena ini mengindikasikan bahwa penerapan prinsip sekularisme tidak terbatas pada lingkungan akademis semata, melainkan juga meluas ke berbagai aspek kehidupan sehari-hari.

Baca juga: Ilmu Bebas Nilai dan Tidak Bebas Nilai dalam Fenomena Masa Kini

Ada konflik dalam nilai yang mendasar di balik kebijakan ini. Di satu sisi, Prancis berusaha untuk mempertahankan kesatuan Republik dan netralitas ruang publik. Di sisi lain, kebebasan beragama sebagai hak dasar setiap orang sering dipinggirkan. Jilbab adalah identitas dan iman bagi banyak perempuan Muslim. Pentingnya sebuah Hak asasi manusia itu tidak dapat diabaikan. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia, yang masing-masing menjamin kebebasan beragama, termasuk kebebasan untuk berpakaian. Larangan tersebut merupakan kontrol baru yang menghilangkan kebebasan mereka untuk memilih. Jilbab adalah identitas dan iman bagi banyak perempuan Muslim. . Larangan terhadap jilbab bukan hanya soal berpakaian, tetapi juga soal hak untuk mengekspresikan keyakinan pada diri seorang perempuan muslim. Kontroversi jilbab di Prancis berpusat pada tidak ada kesepakatan antara netralitas dan kebebasan.

Kontroversi jilbab di Prancis menunjukkan bahwa sekularisme adalah arena politik yang penuh dengan konflik antara kebebasan individu dan persatuan nasional, bukan sekadar gagasan abstrak. Narasi ini menunjukkan bahwa perdebatan tentang jilbab mencakup lebih dari sekedar pakaian, itu juga mencakup identitas, kekuasaan, dan masa depan masyarakat multikultural.

Penulis: Lita Kuna Raidata Fasa, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *