Salafi Tapi Bukan Salafi? Salafi Itu Pemikiran, Bukan Aliran

salafi

Mata Akademisi, Milenianews.com – Ada sebuah hadis yang berbunyi:

“Sesungguhnya, sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian yang setelahnya, kemudian yang setelahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis tersebut menjadi pijakan utama dalam manhaj salaf, yakni pendekatan dalam memahami agama Islam dengan merujuk kepada generasi awal umat, seperti para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in yang hidup dekat dengan sumber ajaran Islam.

Manhaj salaf bukan sekadar menjadi label identitas, melainkan mencerminkan cara berpikir dan beramal yang dilandasi keikhlasan, kehati-hatian, dan kedalaman ilmu. Maka tidak heran jika banyak orang yang berlomba-lomba menisbatkan dirinya sebagai pengikut salaf demi mengukuhkan legitimasi keagamaannya di mata umat.

Syaikh Shalih Al-Fauzan dalam pandangannya menyebutkan, “Bukan setiap orang yang mengaku mengikuti manhaj salaf berarti benar-benar berada di atasnya.”

Baca juga: Konflik dan Ketegangan Sunni–Syiah: Identitas, Politik, dan Jalan Menuju Rekonsiliasi

Pandangan ini memberikan perspektif di tengah fenomena banyaknya individu atau kelompok yang mengklaim sebagai pengikut salaf, namun pada kenyataannya justru menyimpang dari prinsip-prinsip dasar yang diajarkan oleh generasi salaf. Klaim tersebut kerap kali hanya menjadi simbol identitas tanpa disertai pemahaman yang mendalam, sikap ilmiah, maupun keadilan dalam menyikapi perbedaan. Tidak jarang, sebagian dari mereka dengan mudah melabeli sesama Muslim sebagai ahli bid‘ah, bahkan kafir, hanya karena perbedaan dalam perkara furu‘iyyah (cabang agama) yang seharusnya menjadi ruang ijtihad.

Padahal, para salaf dikenal sebagai generasi yang bijak, toleran dalam perbedaan pendapat, serta sangat berhati-hati dalam menjatuhkan vonis terhadap sesama. Fenomena ini menunjukkan bahwa identitas sebagai salafi bisa menjadi klaim kosong apabila tidak disertai dengan ilmu, pemahaman, dan akhlak yang benar sebagaimana dicontohkan oleh generasi awal umat.

Untuk mewujudkannya, Yusuf Qaradhawi (1926–2022) menawarkan solusi melalui manhaj wasathiyyah, seorang ulama Islam kontemporer kelahiran Mesir yang menetap di Qatar. Pemikirannya berkiblat pada Imam Ahmad bin Hanbal serta Ibnu Taimiyyah, yang merupakan tokoh pelopor salafi.

Melalui karyanya yang fenomenal karena menjembatani ajaran Islam klasik dengan permasalahan kontemporer, Yusuf Qaradhawi mendapatkan banyak pengakuan dari ulama seperti Muhammad al-Ghazali dan Abu Hasan al-Nadwi. Ia juga telah mendapatkan banyak pengakuan internasional, seperti Penghargaan Tokoh Islam Dubai Tahun 2009, yang menandakan bahwa pemikirannya telah dibaca oleh banyak orang.

Kenapa Pemikiran Qaradhawi Menjadi Magnet Umat?

Masih membahas pemikiran Yusuf Qaradhawi yang karyanya banyak diminati masyarakat luas, bukan hanya di Qatar, Dubai, dan Mesir, tetapi juga di berbagai negara lain seperti Libya, Beirut, India, Kanada, Amerika, bahkan Indonesia.

Mengapa banyak masyarakat yang meminati karya beliau? Karena Yusuf Qaradhawi menyajikan pemahaman agama yang berhubungan dengan masalah kontemporer abad ke-20 hingga ke-21. Seperti yang tertuang dalam buku Kita dan Barat, buku ini menekankan pentingnya menjaga identitas Islam yang unik dan khas sebagai bentuk ijtihad dan upaya adaptasi terhadap tantangan modern. Dalam buku tersebut juga dijelaskan pentingnya dialog lintas budaya bagi umat Islam. Hal ini menunjukkan bahwa Islam adalah panduan hidup yang relevan dengan berbagai zaman, bukan sekadar ibadah ritual.

Adapun solusi dari permasalahan yang dihadapi ialah mengadopsi pemikiran ala Yusuf Qaradhawi—bukan sebagai ulama yang diikuti secara membabi buta, tetapi melalui metodenya dalam memahami agama dengan manhaj wasathiyyah. Manhaj wasathiyyah adalah metode berpikir yang mengedepankan aspek keadilan, kesejahteraan, dan toleransi.

Sebagaimana telah diterangkan di atas, dasar pemikiran Yusuf Qaradhawi adalah menjembatani ilmu autentik Islam yang berkiblat pada salafus shalih dan diambil metodenya dalam memahami agama sebagai sebuah tuntunan berpikir. Tidak dapat dipungkiri bahwa pada zaman kontemporer saat ini banyak sekali fenomena yang tidak ditemukan pada zaman Rasulullah.

Hal ini menimbulkan perdebatan apabila kajian literatur Islam dipahami hanya sebagai teks, bukan ditelaah berdasarkan tujuan dan penetapan syariah. Maka, Yusuf Qaradhawi berpandangan bahwa pemahaman terhadap teks Al-Qur’an dan hadis harus ditinjau dengan mempertimbangkan konteks, tujuan, dan keadilan.

Metode ini juga bertujuan untuk mengatasi kekakuan klaim ‘salafi’ dalam memahami teks Al-Qur’an dan hadis. Meskipun seorang ulama yang beraqidah salafi, Yusuf Qaradhawi berpandangan bahwa ta’wil terhadap ayat Al-Qur’an memang diperlukan untuk memahami makna tersembunyi dalam ayat tertentu, namun tetap berpegang pada kesepakatan jumhur ulama.

Tujuannya ialah agar tidak menyalahi maksud dari ayat-ayat seperti “Tangan Allah di atas tangan mereka,” untuk menghindari pemahaman mujassimah (yakni menganggap Tuhan berjasmani sebagaimana manusia).

Dialog antarulama dan cendekiawan sangat dibutuhkan, mengingat terdapat pemahaman salaf yang disalahartikan, sehingga menimbulkan banyak permasalahan seperti takfir (menuduh seseorang kafir) dan kecenderungan membid‘ahkan sesuatu tanpa alasan yang jelas.

Pemikiran manhaj wasathiyyah ini perlu digaungkan lebih gencar, salah satunya dengan memanfaatkan media sosial. Penggunaan media sosial sebagai sarana dakwah merupakan ide cemerlang, mengingat belum banyak ulama salaf yang membuat kanal resmi seperti YouTube dan Instagram. Zaman ini membutuhkan akun-akun resmi yang benar-benar menggaungkan dakwah secara daring, mengingat penyebaran informasi yang begitu cepat dan untuk menghindari tersebarnya hoaks yang dibuat oleh oknum tidak bertanggung jawab.

Lalu, diperlukan kolaborasi untuk mewujudkan rancangan ini. Mengadakan forum dialog pada konferensi tingkat internasional seperti International Union of Muslim Scholars (IUMS) memiliki dampak besar. Dialog secara masif yang dihadiri oleh ulama besar dari berbagai negara dapat menjadi langkah awal untuk menyatukan persepsi tentang makna salaf. Selain itu, penting mendorong setiap negara Muslim untuk menggagas undang-undang anti-penindasan agama atau golongan.

Salafiyah sebagai Manhaj, Bukan Sekte

Menurut pemahaman salafus shalih, salafi ialah sebuah pemikiran yang bermanhaj agama dan berpegang teguh pada Al-Qur’an dan sunah, dengan prinsip kembali kepada sumber Islam yang murni. Namun seiring perkembangannya, salafi sering disalahartikan sebagai sebuah aliran. Muncullah kelompok-kelompok yang mengklaim diri sebagai salafi, tetapi perbuatannya tidak mencerminkan ajaran salaf. Solusi pada zaman kontemporer ialah mengikuti pemikiran salaf, namun tidak terjebak pada pengelompokan atau alirannya.

Yusuf Qaradhawi, sebagai ulama kontemporer yang moderat (wasathiyyah), menyeimbangkan antara pendekatan tekstual dan kontekstual, antara tradisi dan modernitas, serta antara konsistensi syariah dan realitas zaman. Pandangan beliau terhadap salafi sebagaimana disebutkan dalam bukunya As-Salafiyyah wa Marahil at-Ta’sis adalah kritik terhadap Salafiyyah yang sempit dan dukungan terhadap Salafiyyah yang moderat.

Baca juga: Peran Perempuan sebagai Hakim dalam Perspektif Fiqh Islam: Telaah terhadap Madzhab Hanbali

Menurutnya, “Salafiyyah sejati adalah yang mengikuti Salaf dalam akidah, bukan dalam setiap detail fikih.”
Beliau mengakui dirinya sebagai pengikut Salaf dalam akidah, tetapi tidak dalam semua aspek fikih dan politik.

Pemikiran salafi yang hakiki adalah warisan intelektual Islam yang mengajak umat untuk kembali kepada Al-Qur’an dan sunah dengan pemahaman yang benar. Sementara itu, “aliran salafi” yang berkembang belakangan sering kali terjebak dalam fanatisme sempit yang justru bertentangan dengan prinsip-prinsip salafus shalih. Oleh karena itu, umat Islam harus bijak dalam menyikapi istilah “salafi” dan lebih fokus pada substansi pemikiran, bukan sekadar identitas kelompok.

Salafiyyah bukanlah aliran, tetapi sebuah manhaj (metodologi) beragama. Kembali kepada pemahaman salaf yang benar akan membawa umat Islam pada jalan yang lurus, sementara fanatisme kelompok hanya akan memecah belah persatuan.

Penulis: Istiqomah, Dosen serta Anisa Aulia Putri, Nafisa Azkia, Miftahul Khairani, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *