Milenianews.com, Mata Akademisi – Dunia memasuki fase baru ketika kecepatan digital mengalahkan kedalaman ilmu pengetahuan. Gelombang informasi seolah tak bertepi, menyuguhkan opini populer yang memukau secara visual, namun sering tak bertanggung jawab secara intelektual. Fenomena inilah yang kemudian memicu apa yang disebut sebagai “matinya kepakaran” (the death of expertise): runtuhnya otoritas ilmiah di hadapan budaya klik, viralitas, dan keterpesonaan publik pada figur tanpa kredensial akademik.
Di Indonesia, realitas ini semakin gamblang pasca-Pemilu 2024. Mafindo mencatat 1.593 hoaks sepanjang Oktober 2024–2025, hampir setengahnya bertema politik—dan puncaknya mencapai 180 kasus pada Juli 2025 yang berkaitan dengan konflik global Israel–Palestina. Di TikTok, dokumenter “Dirty Vote” memperlihatkan bagaimana pengaruh influencer justru dianggap lebih meyakinkan daripada pakar politik yang memiliki rekam jejak akademik kuat. Dengan skor literasi digital nasional hanya berada di angka 3,49 dari 5, keraguan terhadap ahli seakan menemukan ruang tumbuh yang subur.
Fenomena ini bukan sekadar menurunnya kepercayaan, melainkan pergeseran paradigma epistemik. Popularitas kini lebih dipercaya daripada proses ilmiah, sementara kebenaran menjadi relatif, cair, dan rentan ditunggangi kepentingan.
Transformasi Digital dan Krisis Otoritas Ilmu
Dalam lanskap dakwah digital hari ini, otoritas keilmuan tak lagi ditentukan oleh sanad keilmuan atau institusi formal, melainkan jumlah like, share, dan followers. Algoritma bekerja bak kurator kebenaran baru, menentukan apa yang layak muncul di hadapan masyarakat.
Di ruang maya, ulama dengan jalur pendidikan panjang seringkali tenggelam oleh konten motivasi cepat ala buzzer, sementara orasi populer dianggap setara dengan fatwa. Kecerdasan buatan bahkan mulai membentuk wajah baru hoaks—sebanyak 12,7% hoaks tercatat berbasis AI seperti deepfake sepanjang 2024–2025.
Data Kominfo (Komdigi) mencatat 1.923 konten hoaks sepanjang tahun 2024, dengan tema politik, pemerintahan, dan kesehatan menjadi yang terbanyak. Bahkan, kasus penipuan online mencapai 890 konten—menunjukkan betapa rapuhnya fondasi kepercayaan publik. Survei Mafindo juga membuktikan warga kesulitan membedakan fakta dan hoaks dalam Pilkada 2024.
Situasi ini mendekonstruksi posisi pakar dan menciptakan jurang antara ilmu metodis dan opini rata-rata warga.
Suara Al-Qur’an: Kepakaran adalah Pilar Dakwah
Dalam kondisi demikian, Al-Qur’an menghadirkan jawaban yang tajam: otoritas kepakaran bukan opsi tambahan, tetapi kewajiban epistemik.
QS. An-Nahl:43 menegaskan: “Maka tanyakanlah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan (ahl adz-dzikr) jika kamu tidak mengetahui.”
Menurut Ibn Katsir, ayat ini menyalahkan penolakan musyrikin terhadap kepakaran Nabi, sekaligus menegaskan bahwa ilmu harus berpijak kepada ulama ahli sanad, hadis, dan ijma’—bukan spekulasi emosional. Tafsir Jalalain memperkuat bahwa petunjuk wahyu diberikan kepada mereka yang memiliki otoritas ilmiah.
Ayat ini terasa relevan ketika opini awam mulai mengisi ruang keilmuan digital, mengikis prinsip tabayyun yang menjadi dasar epistemologi Islam.
Demikian pula QS. At-Taubah:122 menegaskan pentingnya pendalaman ilmu agama untuk membimbing umat. Quraish Shihab menjelaskan bahwa fiqh bukan sekadar materi hafalan, tetapi ilmu mendalam yang melatih kedewasaan intelektual dalam menilai informasi.
Dan QS. Al-Hujurat:6 kembali menegaskan urgensi verifikasi: “Wahai orang beriman, apabila orang fasik datang membawa berita, maka periksalah kebenarannya…”
Ibnu Katsir menyebut prinsip tabayyun sebagai perisai agar masyarakat tak terjebak fitnah informasi.
Matinya Kepakaran dan Tantangan Generasi Digital
Matinya kepakaran bukan sekadar fenomena wacana, ia tampak nyata di ruang pendidikan dan media sosial. Banyak pelajar lebih percaya pada jawaban Google daripada guru, sementara debat agama diramaikan opini emosional tanpa referensi ilmiah.
Fenomena ini menjadi krisis epistemologis:
Pakar tersisih oleh konten viral,
Riset ilmiah kalah oleh hiburan,
Kebenaran tergantikan persepsi.
Tom Nichols menyebutnya sebagai “kematian epistemik massal”—masyarakat gagal membedakan pendapat ahli dan komentar awam.
Dalam konteks keagamaan, risiko ini jauh lebih besar: salah tafsir dapat memicu perpecahan, ekstremisme, dan hilangnya amanah ilmiah para ulama.
Revitalisasi Otoritas Ulama Berbasis Teknologi Qur’ani
Di tengah arus digital, Islam tidak mendorong penolakan teknologi, tetapi menganjurkan integrasi bijak antara tradisi dan inovasi.
Langkah strategis mulai terlihat di Indonesia:
Seminar nasional literasi digital Islami oleh MUI–UIN Sunan Kalijaga pada 2025,
Dorongan pengembangan aplikasi tafsir berbasis AI yang memvalidasi sanad,
Program pelatihan literasi digital pesantren,
Target peningkatan Indeks Moderasi Digital Indonesia (IMDI) dari 43,34 agar kompetitif secara global.
Dengan integrasi ulama dan pakar IT, dakwah digital dapat menjadi ruang otoritatif baru. Ulama tidak harus meninggalkan sanad, tetapi memindahkannya ke dalam ruang maya melalui sistem pengetahuan terstruktur dan terverifikasi.
Islam Menawarkan Jalan Pemulihan
Fenomena matinya kepakaran di era digital bukanlah akhir otoritas keilmuan—melainkan panggilan untuk membangun epistemologi Islam yang tangguh dan adaptif.
Al-Qur’an telah menawarkan kerangka lengkap:
QS. An-Nahl:43 tentang rujukan kepada ulama,
QS. At-Taubah:122 tentang pendalaman ilmu,
QS. Al-Hujurat:6 tentang verifikasi berita.
Melalui perpaduan sanad, akhlak ilmiah, literasi digital, dan teknologi Qur’ani, masa depan otoritas ilmu dapat bangkit kembali.
Generasi muda tidak boleh hanya cekatan menggunakan TikTok, tetapi juga kritis menyaring informasi dengan prinsip tauhid dan tabayyun.
Islam tidak hanya menyediakan solusi atas krisis ini—ia menyediakan paradigma masa depan: integrasi ilmu dan iman, otoritas dan inovasi, tradisi dan teknologi.
Dan di titik inilah kepakaran tidak akan mati—melainkan lahir kembali dengan wajah baru yang lebih kokoh, humanis, dan Qur’ani.
Penulis: A.Muthiah Maharani .M
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.







