Mata Akademisi, Milenianews.com – Teologi Mu’tazilah berpengaruh terhadap perkembangan pemikiran Islam di Indonesia. Salah satu tokoh intelektual Muslim kontemporer yang pemikirannya dipengaruhi oleh teologi Mu’tazilah adalah Harun Nasution. Ia berpendapat bahwa kebangkitan pemikiran Mu’tazilah sangat penting bagi modernisasi Islam. Menurutnya, rasionalisasi teologi Islam merupakan komponen esensial dalam program modernisasi yang lebih luas dalam masyarakat Islam.
Harun Nasution menyimpulkan bahwa masyarakat Islam yang akan bersentuhan dengan kemodernan mesti mengganti kalam Asy’ari dengan kalam Mu’tazilah. Ia juga menegaskan bahwa rasionalisme merupakan salah satu tema sentral dalam Islam. Al-Qur’an dan Nabi Muhammad SAW beserta para sahabatnya merupakan representasi keislaman yang bersifat rasional.
Kebenaran, menurut pandangan ini, berasal dari dua sumber, yaitu wahyu dan akal. Hal yang berkaitan dengan wahyu adalah mutlak kebenarannya, sementara akal mampu mengetahui apa yang benar dan salah. Oleh karena itu, pemikiran Mu’tazilah sangat relevan dalam lingkup bernegara.
Di zaman modern, dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, ajaran-ajaran kaum Mu’tazilah yang bersifat rasional mulai kembali muncul di kalangan umat Islam, terutama di kalangan kaum terpelajar. Secara tidak sadar, mereka telah memiliki pemahaman yang sejalan atau mendekati ajaran-ajaran Mu’tazilah, dan hal ini tidak membuat mereka keluar dari Islam.
Asal Usul dan Prinsip Dasar Mu’tazilah
Kisah Mu’tazilah berawal dari Washil bin Atha’ yang berbeda pandangan dengan gurunya, Hasan Al-Basri, mengenai pelaku dosa besar. Hasan Al-Basri berpendapat bahwa pelakunya masih dihukumi sebagai Muslim. Pandangan ini dianggap tidak rasional oleh Washil bin Atha’, yang kemudian mengemukakan bahwa pelaku dosa besar berada di antara dua posisi (al-manzilah baina al-manzilatain).
Mu’tazilah memiliki lima prinsip utama, yaitu tauhid, al-‘adl (keadilan), al-wa’d wa al-wa’id (janji dan ancaman), al-manzilah baina al-manzilatain (posisi di antara dua posisi), serta amar ma’ruf nahi mungkar. Dengan prinsip yang sangat kritis ini, Mu’tazilah tidak hanya bersikap kritis terhadap hadis Nabi dan metode penafsiran Al-Qur’an, tetapi juga terhadap pengaruh ajaran filsafat Yunani seperti Aristoteles, Plato, Neoplatonisme, dan sebagainya.
Pengetahuan tidak akan berkembang jika tidak ada perdebatan di dalamnya. Sebagai contoh, ayat-ayat Al-Qur’an memiliki berbagai makna, dan syariat tidak bisa selalu diartikan secara literal seperti pandangan kaum Khawarij. Kita membutuhkan pemikiran seperti kaum Mu’tazilah yang mengaitkan segala sesuatu dengan akal.
Sebagaimana firman Allah:
“Maka berpikirlah, wahai orang-orang yang berakal budi.” (QS. Al-Hasyr [59]: 2)
Pada masa kepemimpinan yang mengadopsi pemikiran Mu’tazilah, ilmu pengetahuan berkembang pesat karena para muallim sangat kritis. Hal ini seharusnya menjadi dorongan bagi kita untuk menghidupkan kembali semangat rasionalitas tinggi seperti masa Mu’tazilah.
Meskipun pemikiran Mu’tazilah menuai banyak kontroversi, seperti dalam pandangan mereka terhadap sifat-sifat Allah yang disebut dalam Al-Qur’an—misalnya ilmu, qudrah, dan iradah—mereka beranggapan bahwa sifat-sifat itu tidak mungkin qadim. Jika ilmu Allah qadim, menurut mereka, maka akan ada dua yang qadim: Allah dan ilmu-Nya. Mereka juga meyakini bahwa Al-Qur’an adalah makhluk.
Pandangan bahwa Al-Qur’an bukan kalam qadim dilandasi kekhawatiran bahwa menyamakannya dengan sifat kekal Allah adalah bentuk tasybih (penyerupaan). Mu’tazilah juga berpendapat bahwa orang fasik, yakni yang durhaka kepada Allah, tidak termasuk golongan mukmin dan juga bukan kafir. Mereka berada di antara dua posisi (al-manzilah baina al-manzilatain). Selain itu, Mu’tazilah berpandangan bahwa segala keburukan tidak berasal dari Allah karena tidak selaras dengan sifat-Nya yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Peristiwa Mihnah dan Penolakan Ulama
Ketika Mu’tazilah diangkat sebagai mazhab resmi pada tahun ke-3 Hijriah, pada masa kepemimpinan Al-Ma’mun, terjadi peristiwa mihnah. Para ulama dipaksa untuk mengakui bahwa Al-Qur’an adalah makhluk dan bukan kalam qadim Allah. Pemaksaan tersebut sangat tidak manusiawi, bahkan mengancam, menyiksa, dan memenjarakan sebagian besar ulama yang menolak, termasuk Imam Ahmad bin Hanbal.
Terlepas dari pemikiran yang terkesan terlalu rasional dan kecenderungan represif pada masa itu, Mu’tazilah tetap memiliki keunggulan dibandingkan dengan Jabariyah. Jabariyah cenderung pasrah terhadap takdir dan menganggap bahwa semua ketetapan adalah dari Allah, tanpa bisa digugat, bahkan jika dipimpin secara zalim. Sebaliknya, Mu’tazilah hadir dengan kebebasan berpikir, dengan keyakinan bahwa manusia memiliki kehendak bebas atas pahala dan dosanya. Tuhan tidak menghendaki kemutlakan dalam pilihan makhluk-Nya.
Baca juga: Obat vs. Takdir: Apakah Manusia Bisa ‘Mencuri’ Kuasa Tuhan dalam Penyembuhan?
Pendapat ini didasarkan pada firman Allah:
“Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri, dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri. Dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, Kami datangkan orang-orang lain untuk menyuramkan muka-muka kamu, dan mereka masuk ke dalam masjid sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama, dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai.” (QS. Al-Isra’ [17]: 7)
Pemikiran Mu’tazilah yang terlalu rasional memang tidak mampu menjangkau segala hal yang berkaitan dengan ilahiyat. Sebab, Allah adalah pencipta akal itu sendiri, dan Allah pula yang menentukan batas-batas pengetahuan makhluk-Nya—apa yang perlu diketahui dan apa yang tidak, semuanya sesuai kehendak-Nya.
Penulis: Mulvi Aulia, Dosen serta Ananda Chece Azrila, Alvina Putri Harahap, Nur Aulia Rahma Harahap, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.