Rasionalisme Teologis: Pembacaan Kritis Terhadap Doktrin Sifat Tuhan Muktazilah dan As’ariyah

Mata Akademisi, Milenianews.com – Pernahkah kamu bertanya, bagaimana sebenarnya Tuhan itu? Apakah Ia memiliki sifat seperti manusia—berkehendak, mengetahui, mencintai? Pertanyaan ini ternyata sudah muncul sejak masa awal Islam. Dua kelompok besar pemikir Islam—Muktazilah dan Asy’ariyah—pernah terlibat dalam diskusi serius soal ini.

Menariknya, perdebatan ini bukan soal remeh. Ia menyentuh hal paling dasar: bagaimana kita membayangkan Tuhan, dan bagaimana kita bersikap sebagai manusia yang beriman.

Muktazilah: Tuhan Tak Boleh Menyerupai Makhluk

Kelompok Muktazilah muncul di abad ke-8 M, dan mereka sangat mencintai akal sehat. Bagi mereka, Tuhan itu Maha Esa dan Transenden—artinya, tak bisa disamakan sedikit pun dengan makhluk-Nya. Karena itu, Muktazilah menolak gagasan bahwa Tuhan punya “sifat” seperti ilmu, kehendak, atau kuasa—jika itu dimaknai sebagai sesuatu yang terpisah dari zat-Nya.

Logikanya begini: kalau sifat Tuhan itu berdiri sendiri dan kekal, bukankah berarti ada lebih dari satu yang kekal selain Tuhan? Nah, inilah yang menurut Muktazilah bisa membuka pintu ke arah syirik (menyekutukan Tuhan). Mereka pun menekankan: Tuhan itu berilmu bukan karena punya sifat “ilmu”, tapi karena ilmu itu adalah Dia sendiri.

Mereka juga membedakan antara sifat zatiyyah (yang melekat pada zat Tuhan, seperti wujud, hidup) dan sifat fi’liyah (yang berkaitan dengan perbuatan-Nya, seperti memberi rezeki). Yang pertama dianggap tak berdiri sendiri, sedangkan yang kedua bisa dipahami sebagai tindakan Tuhan terhadap makhluk-Nya.

Asy’ariyah: Sifat Tuhan Itu Ada, Tapi Tak Sama dengan Makhluk

Berbeda halnya dengan kelompok Asy’ariyah. Mereka hadir sebagai “jalan tengah” antara akal dan wahyu. Imam Abu Hasan al-Asy’ari, pendirinya, dulunya pernah bergabung dengan Muktazilah. Tapi kemudian ia merasa: tak semua bisa diselesaikan dengan logika.

Asy’ariyah percaya bahwa Tuhan memang punya sifat, seperti ilmu, kehendak, atau kuasa—karena itu disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadis. Tapi sifat-sifat ini tidak bisa disamakan dengan sifat manusia. Misalnya, ketika disebut “tangan Tuhan”, itu bukan tangan seperti manusia. Itu hanya simbol, dan artinya diserahkan kepada Allah—tanpa memaksa akal untuk membayangkannya secara fisik.

Jadi, Asy’ariyah menjaga kesucian teks wahyu, tapi tetap menolak paham antropomorfisme—yaitu menggambarkan Tuhan seperti manusia.

Baca juga: Feminisme Islam Dalam Perspektif Ilmu Kalam: Teologi Hasan Hanafi

Pertemuan di Titik Tengah: Menolak Tuhan yang ‘Manusiawi’

Meski kelihatannya berbeda tajam, Muktazilah dan Asy’ariyah sebenarnya sepakat dalam satu hal penting: Tuhan tidak boleh disamakan dengan makhluk.

Keduanya menolak pendekatan yang mengartikan sifat Tuhan secara harfiah dan kasar. Dalam dunia sekarang yang sering terjebak dalam ekstremisme—baik itu radikalisme tekstual atau sekularisme kering—pemikiran dua kelompok ini bisa jadi sumber inspirasi.

Di era teknologi seperti sekarang, di mana kecerdasan buatan (AI) bisa meniru kecerdasan manusia, atau manipulasi genetik bisa mengubah tubuh manusia—pertanyaan tentang siapa Tuhan dan apa sifat-Nya jadi makin penting.

Apakah kita masih percaya Tuhan itu berkehendak? Kalau ya, bagaimana memahami kehendak-Nya di tengah tragedi dan kemajuan sains? Di sinilah kita butuh pendekatan teologis yang dalam, tapi juga terbuka.

Muktazilah mengingatkan kita untuk tetap berpikir kritis, tidak sekadar menerima mentah-mentah. Asy’ariyah mengajak kita untuk percaya dan tunduk pada wahyu, sambil menjaga agar akal tak jadi liar.

Teologi bukan soal menghafal istilah, tapi soal bagaimana kita mengenal Tuhan. Muktazilah dan Asy’ariyah membuka dua jalur: satu melalui rasio, satu lagi melalui keseimbangan antara teks dan makna.

Mana yang benar? Barangkali keduanya memberi kita alat untuk membaca zaman. Sebab memahami Tuhan bukan hanya urusan teologi—tapi juga urusan kemanusiaan, tanggung jawab, dan arah hidup.

Karena pada akhirnya, sebagaimana firman-Nya:

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura: 11)

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.

Penulis: Saepullah, Naila Mufidah, Fashihatuzzahro, Fathimah Zahra KhairaniEditor: Reyvan Aldyan Yahya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *