Radikalisme dan Over Toleransi dalam Refleksi Pemikiran Khawarij dan Murji’ah di Masyarakat Islam Kontemporer

khawarij & murji'ah

Mata Akademisi, Milenianews.com – Membahas radikalisme, maka kita bisa membahas tentang Khawarij dan Murji’ah. Khawarij adalah salah satu dari tiga sekte awal dalam Islam. Karakter khas kelompok Khawarij adalah literalistis, suka mengkafirkan (takfir), dan gemar menggunakan kekerasan. Hal ini disebabkan oleh latar belakang sebagian besar anggotanya yang merupakan orang-orang badui yang hidup di padang pasir yang serba tandus. Bahkan, mereka kerap menghalalkan darah atas nama agama terhadap kelompok lain yang tidak sepaham.

Kelompok Khawarij juga menolak pemimpin yang menurut mereka tidak sempurna. Radikalisme dan fanatisme tinggi menjadi corak khas dalam setiap aksi mereka. Dalam penafsiran terhadap teks-teks agama, Khawarij cenderung menafsirkan secara sempit untuk mendukung ideologi mereka sendiri, serta menafikan as-sunnah.

Baca juga: Khawarij dan Murji’ah sebagai Cermin Polarisasi Teologis

Di zaman sekarang, pemikiran yang menyerupai Khawarij dapat ditemukan dalam kelompok-kelompok atau individu yang memiliki karakter ideologis serupa, namun dikemas dalam konteks modern. Pemikiran ini sangat berbahaya karena dapat mendorong kekerasan, radikalisme, dan kekacauan sosial.

Kelompok “new Khawarij” memiliki cara berpikir yang kaku, hitam-putih, dan penuh penghakiman. Mereka menganggap kelompoknya sebagai pembela agama, namun justru merusak citra Islam itu sendiri.

Karakteristik pemikiran Khawarij masa kini terlihat dalam aksi-aksi kelompok menyimpang dari ajaran Islam. Contohnya adalah penolakan terhadap pemerintah yang tidak sejalan dengan mereka. Mereka sering mendorong pemberontakan atau revolusi untuk menggulingkan pemerintahan yang dianggap tidak sah. Selain itu, mereka juga membenarkan aksi teroris seperti bom bunuh diri sebagai bentuk jihad yang sah.

Di Indonesia, aksi bom bunuh diri telah terjadi di berbagai tempat, tidak hanya di rumah ibadah umat Islam, tetapi juga di tempat ibadah non-Muslim, fasilitas publik, kantor polisi, dan kedutaan besar. Contohnya adalah bom bunuh diri di gereja Bali pada tahun 2002 dan di Bandung pada tahun 2022.

Menangkal Ekstremisme dengan Cinta dan Toleransi

Untuk mencegah meluasnya pemikiran ekstrem semacam ini, pendekatan keagamaan perlu diperkuat dengan mengedepankan cinta, kasih sayang, dan toleransi. Hal ini sangat penting dalam pendekatan dakwah. Para tokoh agama dan lembaga pendidikan memiliki peran besar dalam menghentikan penyebaran kebencian, dan menggantinya dengan pemahaman yang damai.

Islam adalah agama yang menyebarkan cinta dan kasih sayang kepada sesama. Selain itu, perlu ada ruang diskusi dan keterbukaan dalam perbedaan agar tidak menimbulkan permusuhan, melainkan menjadi kekayaan dan kekuatan.

Murji’ah berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar tetap dianggap sebagai mukmin dan diberikan harapan hingga hari kiamat. Teologi Murji’ah menitikberatkan pada iman di hati—yaitu umat Islam yang tetap beriman dan tidak murtad.

Menurut Murji’ah, seorang Muslim yang melakukan dosa besar tidak otomatis menjadi kafir, bahkan jika ia berkata kufur secara lisan. Keyakinan Murji’ah ekstrem menyatakan bahwa jika iman telah tertanam di hati, maka seseorang tetap mukmin dan keimanannya tidak gugur hanya karena maksiat.

Murji’ah ekstrem meyakini bahwa pelaku dosa besar tidak akan disiksa di neraka, meskipun menunjukkan perilaku seperti Yahudi atau Nasrani. Sebaliknya, Murji’ah moderat berpendapat bahwa pelaku dosa besar tetap mukmin dan tidak kekal di neraka, meskipun tetap mendapat siksa atas perbuatannya. Namun, jika Tuhan mengampuni, maka orang tersebut bisa saja tidak disiksa.

Pemikiran Murji’ah masa kini banyak tercermin dalam bentuk over tolerance atau liberalisme nilai, serta sikap moderat dalam menilai keimanan seseorang. Di era kontemporer, pemikiran ini meresap secara halus dalam media sosial, budaya populer, dan narasi “humanis” yang kadang kehilangan akar teologis Islam.

Misalnya, acara TV atau podcast cenderung menghindari pembahasan tema dakwah atau koreksi terhadap dosa, meskipun konteksnya relevan. Contoh lain adalah normalisasi perbuatan dosa besar seperti zina, dan keengganan untuk saling mengingatkan karena dosa dianggap sebagai urusan pribadi yang tidak boleh dicampuri orang lain.

Baca juga: Jejak Sejarah dan Realita Sekarang: Khawarij Vs OPM di Papua

Untuk mengatasi pemikiran Murji’ah kontemporer, kita perlu mengedepankan edukasi dan membangun kesadaran, bukan dengan penghakiman. Edukasi yang membedakan antara toleransi sosial dan toleransi teologis sangat penting, begitu juga dengan pemahaman terhadap kelonggaran dalam menjalankan agama.

Selain itu, budaya saling mengingatkan dalam kebaikan dan mencegah kemungkaran perlu dibangun kembali, tentunya dengan pendekatan cinta yang lembut dan penuh kasih sayang.

Penulis: Abdul Rosyid, Dosen serta Karia Winanda Siregar, Nina Nur Azizah, Alvi Hasanah, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *