Milenianews.com, Mata Akademisi – Fenomena perempuan berkarir di ranah publik menjadi bagian tak terpisahkan dari perkembangan sosial modern. Di era digital, ketika akses informasi terbuka luas dan ruang pekerjaan terus berubah, perempuan hadir dalam beragam profesi: akademisi, konsultan hukum, dokter, pengusaha, hingga petinggi pemerintahan. Realitas ini menantang pemahaman klasik mengenai relasi perempuan dan ruang domestik, sekaligus memunculkan perdebatan: apakah Islam memandang keberadaan perempuan di ruang publik sebagai penyimpangan, atau justru memberi ruang kesetaraan peran? Pertanyaan inilah yang mengantar kita pada kajian qirā’at QS. Al-Ahzab: 33 melalui perspektif Matan Syatibi.
Perdebatan tentang perempuan bekerja bukan hanya soal hukum fikih, melainkan pertarungan tafsir yang mengakar pada teks Al-Qur’an dan tradisi ilmu qirā’at. Dalam banyak perbincangan publik, ayat ini disederhanakan menjadi perintah literal agar perempuan menetap di rumah. Namun, ayat ini sejatinya berdiri di atas ragam qirā’at dengan diferensiasi makna yang tidak tunggal. Ketika ragam bacaan ini ditelaah bersama konteks sosial hari ini, muncul pemahaman baru bahwa pembacaan Al-Qur’an selalu bergerak, hidup, dan dialogis dengan realitas zaman. Di sinilah metode qirā’at berperan: memperlihatkan keluasan tafsir yang tidak terikat pada satu tafsiran sosial tertentu.
Melalui Matan Syatibi, ragam qirā’at menjadi lebih mudah ditelusuri. Imam asy-Syatibi mengubah sistematika ilmu qirā’at menjadi bait syair indah yang memuat identifikasi imam dan perawi bacaan. Bentuk syair ini bukan sekadar estetika, tetapi struktur ilmiah yang membantu pengkaji memahami perbedaan bacaan, gramatika, dan makna. Karena itu, Matan Syatibi bukan hanya teks akademik, tetapi metode epistemik yang memungkinkan umat berinteraksi dengan Al-Qur’an melalui pintu variasi bacaan. Pendekatan ini membuka jalan bagi pembacaan baru terhadap QS. Al-Ahzab: 33, khususnya terkait telaah perempuan dan karir.
Pada kata “وَقَرْنَ” dalam QS. Al-Ahzab: 33 misalnya, terjadi persimpangan makna yang memengaruhi interpretasi gender. Pada qirā’at fathah—diriwayatkan oleh Imam Nāfi’ dan Imam ‘Āshim—kata ini bermakna perintah berdiam diri di rumah. Bacaan ini sering menjadi landasan pandangan restriktif, menekankan keterikatan perempuan pada ruang domestik. Namun, pada qirā’at kasrah—diriwayatkan oleh Imam Ibnu Katsīr, Ibnu ‘Āmir, Abu ‘Amr, Hamzah, dan Al-Kisā’i—maknanya berubah: bukan sekadar “tinggallah di rumah”, melainkan “jadilah pribadi yang tenang dan penuh kehormatan dalam rumah”. Perbedaan tipis dalam vokal ini berubah menjadi perbedaan besar dalam metodologi tafsir: pembacaan literal versus pembacaan etis.
Perbedaan qirā’at itu membuka ruang tafsir yang lebih kontekstual. Bacaan fathah berfokus pada larangan fisik keluar rumah, sementara bacaan kasrah menekankan etika sosial perempuan: menjaga kehormatan diri, adab publik, dan martabat moral. Dalam perspektif ini, perempuan diperbolehkan berkarir di ruang publik selama tidak melanggar adab dan nilai syariat. Qirā’at kasrah menjadi fondasi epistemik yang menjelaskan bahwa Islam tidak menutup pintu perempuan bekerja, tetapi justru memberi ruang melalui etika gerak sosial yang bermartabat.
Islam juga tidak pernah membangun relasi laki-laki dan perempuan sebagai struktur hierarkis. Relasi keduanya berdiri di atas prinsip komplementer: saling melengkapi dalam peran biologis dan tanggung jawab sosial. Ayat-ayat Al-Qur’an mengakui perbedaan bentuk peran, tetapi tidak menjadikan perbedaan itu alat pembatasan kemampuan. Konsep kesetaraan dalam Islam bukan penyeragaman kerja, tetapi kesetaraan nilai: kualitas amal, kontribusi moral, dan tanggung jawab sosial menjadi ukuran utama. Karena itu, perempuan tidak harus memilih antara rumah atau karir; justru keduanya dapat berjalan berdampingan melalui prinsip keseimbangan.
Sejarah Islam membenarkan hal tersebut. Pada masa Nabi, perempuan hadir sebagai ilmuwan, pedagang, dan tokoh publik. Khadijah adalah pengusaha sukses, Aisyah ahli hadis dan akademisi, Rufaidah ahli medis, dan Nusaybah pahlawan perang. Fakta sejarah ini memperlihatkan bahwa keterlibatan perempuan di ruang publik bukan inovasi modern, tetapi bagian dari identitas awal Islam. Qirā’at kasrah memberi dasar tekstual bagi sejarah ini: bahwa larangan keluar rumah tidak dipahami secara mutlak, tetapi melalui moralitas gerak sosial yang terhormat.
Karena itu, isu karir perempuan bukan persoalan “boleh atau tidak boleh”, tetapi bagaimana praktik kerja perempuan menjaga nilai-nilai Islam: tidak melalaikan keluarga, tidak merusak kehormatan diri, dan tidak melanggar syariat. Dalam bingkai ini, qirā’at menjadi gerbang teologis yang menunjukkan keluasan Al-Qur’an dalam merespons isu gender. Dari bacaan tekstual menuju tafsir kontekstual, dari domestifikasi menuju kesetaraan etis, Al-Qur’an memberi ruang bagi perempuan untuk hadir dan berkarya.
Dengan membaca QS. Al-Ahzab: 33 melalui ragam qirā’at yang dikodifikasikan Matan Syatibi, jelas bahwa Islam tidak menutup ruang perempuan dalam karir. Variasi bacaan menegaskan bahwa teks Al-Qur’an tidak kaku, tetapi luwes dalam pembacaan sosial. Artinya, perempuan memiliki hak untuk bekerja dan berperan dalam masyarakat selama menjaga adab dan identitas moralnya. Di tengah dunia modern yang menuntut partisipasi perempuan dalam banyak aspek kehidupan, tafsir ini menjadi jembatan penting antara teks klasik dan realitas kontemporer, menegaskan bahwa kesetaraan gender dalam Islam berakar pada tradisi ilmiah Al-Qur’an itu sendiri.
Penulis: Fatia Aulia Majida, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.







