Milenianews.com, Mata Akademisi — Kita hidup dalam dunia yang penuh paradoks. Informasi tersedia secara berlimpah, namun kebenaran justru terasa semakin sulit ditemukan. Di tengah banjir data yang tidak pernah surut, fakta yang keras dan objektif sering kali tenggelam, dikalahkan oleh gelombang emosi dan narasi yang menggugah perasaan. Inilah zaman post-truth (pasca-kebenaran), sebuah istilah yang menggelisahkan sekaligus menyentuh inti persoalan kemanusiaan kita hari ini.
Fenomena post-truth bukan sekadar persoalan politik atau media semata. Ia merupakan gejala epistemologis yang serius, yakni gangguan dalam cara manusia mengetahui, mempercayai, dan membangun realitas bersama. Ketika keyakinan publik lebih mudah dibentuk oleh cerita yang menyentuh hati dibandingkan data yang membuka mata, maka fondasi rasionalitas yang menopang peradaban perlahan mulai tergerus. Esai ini berupaya membedah bagaimana perasaan dapat mengalahkan fakta, bukan sebagai kekeliruan logika biasa, melainkan sebagai pergeseran mendalam dalam struktur pengetahuan manusia.
Runtuhnya Otoritas Pengetahuan
Secara klasik, pengetahuan dianggap sahih apabila didukung oleh bukti dan logika yang dapat dipertanggungjawabkan. Namun, dalam ruang digital yang padat dan penuh tekanan emosional, prinsip tersebut mengalami distorsi. Sebuah klaim tidak lagi harus diverifikasi secara ketat. Ia cukup terasa “masuk akal”, sejalan dengan prasangka yang telah tertanam, atau mampu membenarkan emosi yang sedang dirasakan.
Fenomena ini terlihat jelas dalam suburnya teori konspirasi, seperti penolakan terhadap vaksin, yang tetap dipercaya meskipun telah dibantah berulang kali oleh riset ilmiah. Dalam konteks ini, epistemologi publik mengalami penyempitan. Sumber pengetahuan tidak lagi berasal dari metode ilmiah atau otoritas keilmuan, melainkan dari perasaan internal dan komunitas daring yang saling mengafirmasi keyakinan tersebut. Akibatnya, kebenaran tidak lagi dipahami sebagai sesuatu yang diketahui, tetapi sekadar sesuatu yang diyakini.
Ruang Gema Digital dan Ilusi Kebenaran
Media sosial, yang pada awalnya dipandang sebagai sarana memperluas wawasan, justru sering kali berubah menjadi ruang gema digital. Algoritma dirancang untuk menyajikan konten yang selaras dengan kecenderungan emosional pengguna, sehingga terbentuk apa yang dikenal sebagai echo chamber atau filter bubble.
Di dalam ruang ini, fakta yang bertentangan dengan keyakinan kelompok kerap ditolak mentah-mentah dan dicap sebagai ancaman. Ikatan emosional yang dibangun atas dasar ketakutan atau kebencian menjadi lebih kuat dibandingkan komitmen pada kebenaran objektif. Pengetahuan yang seharusnya membebaskan justru digunakan untuk mengukuhkan penjara keyakinan yang nyaman. Kenyamanan berada di antara mereka yang sepaham sering kali dipilih daripada keberanian untuk mempertanyakan diri sendiri.
Baca juga: Qirā’at QS. Al-Ahzab: 33 dan Ruang Karir Perempuan dalam Perspektif Matan Syatibi
Post-Truth dan Rapuhnya Demokrasi
Dampak paling serius dari fenomena post-truth terasa dalam kehidupan demokrasi. Demokrasi yang sehat menuntut warga yang terinformasi dan ruang publik yang berpijak pada realitas bersama. Namun, ketika debat publik berubah menjadi kontes sentimen, kebenaran menjadi korban utama.
Kampanye politik kerap lebih efektif ketika memainkan emosi ketimbang menawarkan program yang terukur. Identitas dan afiliasi kelompok menjadi alat mobilisasi yang ampuh, sementara laporan ilmiah dan data faktual dipandang sebagai sesuatu yang dingin dan jauh dari realitas. Kepercayaan terhadap institusi penjaga pengetahuan—seperti akademisi, pers, dan ilmuwan—perlahan terkikis, digantikan oleh figur karismatik atau influencer yang pandai menyentuh naluri massa. Fondasi demokrasi pun menjadi rapuh karena dibangun di atas opini yang berubah-ubah, bukan fakta yang kokoh.
Krisis Realitas Bersama
Gejala epistemologis yang paling berbahaya dari era post-truth adalah runtuhnya kepercayaan pada realitas bersama. Masyarakat tidak hanya berbeda pandangan mengenai solusi, tetapi mulai hidup dalam dunia yang sepenuhnya berbeda. Fakta yang tidak sejalan dengan identitas kelompok sering kali ditolak bukan karena keliru, melainkan karena dirasakan mengancam.
Dalam kondisi ini, mekanisme pertahanan psikologis berubah menjadi sensor publik. Kebenaran dinilai berdasarkan dampaknya terhadap perasaan, bukan berdasarkan keabsahannya. Ruang dialog pun menyempit, karena setiap upaya koreksi dianggap sebagai serangan.
Kerendahan Hati Epistemik sebagai Jalan Keluar
Zaman post-truth mencerminkan sisi rapuh kemanusiaan kita. Ia menunjukkan bahwa manusia bukan semata makhluk rasional, tetapi juga makhluk emosional yang diliputi ketakutan, harapan, dan kebutuhan untuk merasa memiliki. Namun, menyerah sepenuhnya pada naluri ini berarti mengkhianati potensi terbaik manusia: kemampuan untuk berpikir, menguji, dan mencari kebenaran yang melampaui kepentingan diri.
Melawan post-truth bukan berarti menyingkirkan emosi, melainkan menempatkannya secara proporsional. Yang dibutuhkan adalah kerendahan hati epistemik—kesadaran bahwa kita bisa keliru dan kesiapan untuk dikoreksi. Literasi media dan digital penting, tetapi tidak cukup. Kita juga memerlukan literasi emosional dan epistemik agar mampu mengenali bagaimana perasaan dapat membajak nalar.
Menjaga Kebenaran sebagai Tindakan Kemanusiaan
Pada akhirnya, memperjuangkan fakta di era post-truth adalah bentuk kepedulian terhadap masa depan bersama. Kebenaran mungkin tidak selalu nyaman, tetapi hanya di atasnya kebebasan dan kemajuan dapat dibangun. Dengan membangun budaya yang menghargai bukti, menghormati proses pengetahuan, dan memuliakan dialog yang jujur, retakan epistemologis dalam masyarakat dapat perlahan disembuhkan.
Kebenaran tidak seharusnya dikorbankan demi kenyamanan. Justru dengan menyatukan akal dan perasaan secara bijak, pengetahuan yang dihasilkan tidak hanya akan benar, tetapi juga manusiawi.
Penulis: Nihayatussa’dia, Mahasiswa Semester 1 (IAT) Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.







