Mata Akademisi, Milenianews.com – Merasakan jeda. Tetapi jeda ini terlalu panjang. Terlebih, rintik hujan tak henti-henti. Kami terjebak limbo di Bandara Kualanamu, Medan. Aku hendak menghadiri temu ekonom muda dalam perayaan perlawanan.
Apa yang dilawan? Dua proyek besar: denasionalisasi dan deindonesianisasi. Tentu saja ini kerja raksasa—lebih tepatnya, kerja peradaban. Dan dalam perayaan itu harus ditegaskan bahwa perjuangan ini tidak tergantung pada kemenangan dan kursi.
Baca juga: Dari Pupuk ke Penjara Opini, Ironi Demokrasi di Negeri Agraris
Tentu, karena hidup keren bisa dinikmati dan dirayakan tanpa harus menjual diri. Tanpa harus menjilat dan menghamba; tidak wajib mengubah merdeka menjadi budak dan gedibal.
Ini semua berkebalikan dengan para penyembah kursi, hamba kuasa. Merekalah yang selama 50 tahun terakhir beroperasi di sekitar istana: Bappenas, Kemenkeu, dan Bank Indonesia. Para ekonom neoliberalis yang membuat Indonesia menjadi negara predator—negara (elite) yang menggunakan kekuasaan untuk mengeksploitasi dan memangsa sumber daya manusia (SDM) serta sumber daya alam (SDA) demi kepentingan kelompok tertentu.
Negara Predator, Rakyat Jadi Santapan
Di negara predatoris, korupsi, kolusi, nepotisme, dan penyalahgunaan wewenang menjadi tradisi. Defisit akuntabilitas dan tindakan sewenang-wenang tanpa konsekuensi menjadi menu sehari-hari. Pelanggaran hak asasi manusia (HAM), penindasan terhadap oposisi, pembatasan kebebasan, dan kekerasan terhadap masyarakat sipil menjadi kurikulum harian.
Peningkatan kemiskinan, pengangguran, dan kesakitan sangat signifikan. Bahkan, penghancuran ketiganya bukan tujuan; kurikulumnya justru pelanggengan. Menjijikkan sekali. Tentu saja, ekonom gelap (neoliberal) tidak bisa menerangi ekonomi Indonesia yang gelap. Kegelapan itu justru memastikan terciptanya negara predatoris. Sebab yang bisa menerangi ekonomi gelap hanyalah ekonom terang—ekonom Pancasila.
Setelah bertemu pasukan, perjamuan, dan perayaan perlawanan ekonomi, kertas kerja disepakati: sejarah menunjukkan bahwa seidealis apa pun seseorang, ketika bertemu kepentingan diri, keluarga, dan kelompoknya, banyak yang runtuh jiwanya. Menghadapi realitas itu, setidaknya kami memilih “mati dengan terhormat,” agar DNA patriotisme dan jiwa revolusioner tidak punah dan redup di negeri ini.
Baca juga: Saatnya Mengembalikan Kekuasaan Ekonomi ke Tangan Warga Negara
Bila patriotisme punah, yang tersisa hanya hitung-hitungan untung-rugi. Lalu negeri ini bakal jadi pasar tanpa jiwa—tempat orang saling menjual harga diri demi posisi. Tanpa patriotisme, bangsa cuma nama di peta. Bukan rumah tempat tertawa bersama dan kaya bersama. Bukan negeri Pancasila. Bukan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Bukan negeri yang diimpikan para pendirinya.
Menjadi subjek kerja peradaban ini, mari kita kutip nasihat sastrawan besar Republik Indonesia, Suryaesa (2025):
“Idealis yang tak pernah belajar mengalah, akhirnya kalah oleh dirinya sendiri. Tapi idealis yang bisa menunduk tanpa tunduk—dialah yang benar-benar tegak.”
Penulis: Yudhie Haryono, CEO Nusantara Centre
Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.







