Peran Teknologi dalam Menyebarkan Dakwah Qur’ani di Era Modern

Dakwah Digital Qur’ani

Milenianews.com, Mata Akademisi – Di era digital yang berkembang begitu cepat seperti sekarang, teknologi telah masuk ke hampir semua sisi kehidupan masyarakat. Hampir setiap hari orang mengandalkan internet untuk belajar, bekerja, berinteraksi, dan mencari informasi, termasuk informasi keagamaan. Kondisi ini membuka peluang besar bagi dakwah Qur’ani untuk menjangkau audiens yang lebih luas. Jika dahulu seseorang harus datang ke majelis taklim untuk mendengarkan ceramah, kini pesan Al-Qur’an dapat diakses melalui video, podcast, aplikasi Al-Qur’an digital, hingga berbagai platform media sosial. Perubahan ini menunjukkan bahwa dakwah tidak lagi bergantung pada ruang dan waktu; dakwah mengikuti pola baru masyarakat dalam mengonsumsi informasi. Namun, transformasi ini sekaligus menjadi peringatan bahwa dakwah yang tidak menyesuaikan diri akan mudah tertinggal dan kurang menarik bagi generasi serba cepat.

Teknologi membuat dakwah lebih mudah dijangkau berbagai kelompok masyarakat, terutama generasi muda yang hampir setiap saat memegang ponsel. Banyak anak muda lebih tertarik pada pesan dakwah yang disampaikan melalui format santai, singkat, visual, dan interaktif. Hal ini berbeda jauh dengan gaya dakwah klasik yang cenderung formal dan kerap kurang menarik bagi masyarakat digital, khususnya generasi milenial dan Gen Z. Dengan bantuan teknologi, dakwah hadir melalui video pendek, infografis menarik, maupun ruang interaksi komentar di media sosial. Meskipun demikian, terdapat pertanyaan kritis: apakah audiens benar-benar memahami pesan dakwah tersebut, atau hanya menontonnya sekilas lalu melupakan? Di sinilah tantangan dakwah digital muncul.

Saat ini pemanfaatan teknologi dalam dakwah Qur’ani semakin beragam. Banyak dai menggunakan TikTok, YouTube, dan Instagram untuk menyampaikan pesan singkat yang relevan dengan persoalan harian. Video pendek lebih mudah diterima oleh pengguna yang tidak memiliki kesabaran untuk menyimak kajian panjang. Infografis berisi ayat, hadis, dan kutipan ulama juga membantu masyarakat memahami pesan Qur’ani dengan cepat. Aplikasi Al-Qur’an digital kini tidak hanya menyediakan mushaf, tetapi juga terjemahan, tafsir, murottal, dan alat pencarian tema. Namun algoritma media sosial bekerja berdasarkan popularitas, bukan kebenaran. Konten dakwah mendalam sering kalah dari konten ringan yang mudah viral. Risiko terbesarnya: pesan Qur’ani hanya dipahami secara permukaan.

Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) juga membawa bentuk baru dakwah digital. Aplikasi digital mampu menampilkan ayat sesuai tema, merekomendasikan bacaan, bahkan menjawab pertanyaan agama dasar. Inovasi ini membuat proses pembelajaran agama semakin personal. Namun AI tetap alat yang tidak memiliki otoritas ilmu agama; jika basis data atau sumber yang digunakan tidak tepat, maka jawaban yang diberikan dapat menyesatkan. Di sini peran manusia, ulama, dan akademisi tetap sangat penting untuk memastikan kebenaran informasi.

Baca juga: Dari Kacamata Al Mannar: Memahami Poligami dengan Lensa Hermeneutika

Meski membawa banyak manfaat, dakwah digital juga memiliki tantangan berat. Arus informasi yang terlalu cepat membuat hoaks keagamaan mudah menyebar. Banyak orang membagikan ayat dan hadis tanpa memastikan kebenarannya, padahal Al-Qur’an menekankan pentingnya tabayyun. Jika tidak diberi pemahaman yang kuat, masyarakat mudah terseret informasi yang salah dan konflik sosial dapat muncul. Oleh sebab itu, literasi digital dalam bidang agama menjadi kebutuhan penting agar masyarakat mampu memilah sumber yang kredibel.

Tantangan berikutnya adalah durasi konten. Banyak dai harus memadatkan materi agar sesuai dengan format media sosial. Akibatnya, pesan Qur’ani kadang kehilangan konteks dan kedalaman ilmiah. Budaya serba instan di internet sering bertentangan dengan tradisi keilmuan Islam yang menekankan ketelatenan dan proses belajar bertahap. Jika tidak dijaga dengan baik, dakwah dapat berubah menjadi hiburan semata.

Walaupun demikian, era digital tetap memberikan peluang besar bagi dakwah Qur’ani untuk berkembang. Kajian online, halaqah virtual, hingga webinar keagamaan memungkinkan orang belajar tanpa harus hadir secara fisik. Namun pembelajaran digital tidak sepenuhnya bisa menggantikan hubungan langsung antara guru dan murid yang merupakan tradisi penting dalam ilmu Islam. Teknologi sebaiknya ditempatkan sebagai alat bantu, bukan pengganti.

Jika teknologi digunakan dengan mengikuti nilai Qur’ani seperti tawazun (keseimbangan), tabayyun (klarifikasi), dan ihsan (budi pekerti), dakwah digital dapat memberi manfaat besar. Selain memperluas jangkauan dakwah, teknologi dapat mempererat hubungan umat melalui komunikasi dua arah. Dalam konteks yang lebih luas, teknologi juga membuka ruang kolaborasi dakwah lintas negara. Dai dari berbagai belahan dunia dapat saling terhubung untuk berbagi gagasan. Namun kolaborasi global tetap harus mempertimbangkan budaya lokal agar dakwah tidak terkesan memaksakan.

Pada akhirnya, keberhasilan dakwah Qur’ani di era digital tidak hanya ditentukan oleh kecanggihan teknologi, tetapi oleh kedalaman ilmu, integritas moral, dan keikhlasan para dai. Teknologi hanyalah sarana; substansi dakwah tetap harus bertumpu pada ajaran Qur’ani yang autentik dan bertanggung jawab. Dengan pendekatan yang tepat, dakwah digital akan semakin relevan, menarik, serta mampu menjawab kebutuhan spiritual masyarakat modern yang hidup di tengah perubahan yang cepat.

Penulis: Nova Ardiyanti, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube Milenianews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *