Peran Perempuan sebagai Hakim dalam Perspektif Fiqh Islam: Telaah terhadap Madzhab Hanbali

Qur’an surah An-Nisa’ ayat 34 menjadi dasar kesepakatan para ulama salaf terhadap kepemimpinan seorang perempuan, dan hadis Bukhari tersebut sebagai dalil untuk menolak perempuan menjabat sebagai hakim disebabkan jabatan hakim identik dengan masalah kepemimpinan atau kepala negara.

Untuk itu syarat-syarat yang diperlukan bagi kepala negara berlaku pula persyaratan jabatan hakim. Isyarat ini dapat juga dihubungkan dengan persyaratan yang dinyatakan, sebagaimana dikatakan dalam kitab Bidayah Al-Mujtahid yang menyatakan bahwa mereka tidak membenarkan perempuan menjabat sebagai hakim dangan alasan atau dengan menganalogikan kepada Imam Kubra yang sudah disepakati para ulama tentang ketidakbolehan perempuan menjabat menjadi hakim. Pernyataan dan kesepakatan ulama ini menjadi pertanyaan dan pernyataan, bahwa yang berhak menjabat menjadi seorang hakim hanya di perbolehkan kepada kaum laki-laki, adapun perempuan tidak di perbolehkan.

Selain itu juga Imam Al-Nafrawi (w. 1126 H) yang mensyaratkan bahwa seorang hakim haruslah adil, laki-laki cerdas, dan mampu berijtihad. Selain itu, ia juga menambahkan bahwa seorang hakim harus memiliki kemampuan untuk melihat, mendengar, dan berbicara dengan baik. Imam Al-Syanqiti (w.1302 H) juga menetapkan syarat untuk menjadi hakim sebagaimana Imam Al-Nafrawi (w. 1126 H). Ia menjelaskan lebih jauh dengan menambah bahwa syaratnya itu tidak diragukan lagi dan perempuan tidak dibolehkan menjadi hakim.

Perselisihan pendapat tentang status hakim perempuan, disamping karena faktor perbedaan penggunaan metode istinbath dan cara pandang terhadap nash, ternyata juga banyak dipengaruhi oleh faktor sosial budaya dan kondisi setempat. Jika dalam kultur masyarakat tertentu tradisi pingitan terhadap perempuan masih begitu dominan, sebagaimana di zaman Ahmad ibnu Hanbal ketika hidup, maka fatwa atau ijtihad tentang hakim Perempuanpun merupakan refleksi dari kondisi tersebut. Sebaliknya jika kultur masyarakat cenderung liberal, akulturasi budaya masuk deras seperti di zaman sekarang, maka hakim perempuanpun tak dianggap masalah dan sah-sah saja.

Pendapat Ahmad Ibnu Hanbal ini bertentangan dengan pandangan seorang ulama kontemporer, Yusuf Al-Qaradawi dalam karya Min Fiqhi al-Dawlah fi al-Islam, yang menegaskan bahwa surah An-Nisa ayat 34 hanya membahas kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga saja, bukan di ranah publik. Al-Qaradawi menyatakan tidak ada ijma’ ulama atau nash yang secara tegas melarang perempuan memegang kekuasaan, termasuk menjadi hakim, selama memenuhi syarat dan memiliki keahlian. Jenis kelamin bukanlah penghalang dalam jabatan kehakiman.

Namun, jika tersedia laki-laki yang kompeten, mereka sebaiknya diprioritaskan, kecuali dalam kondisi darurat (Al-ḍarūri). Ia juga membolehkan perempuan mencalonkan diri dalam parlemen atau menduduki jabatan tinggi negara, selama tidak terkait langsung dengan kepemimpinan umat Islam dan tetap menjaga adab Islami, seperti cara berpakaian dan menghindari pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan.

Oleh karena itu, Imam Ahmad bin Hanbal secara tegas menyatakan bahwa hanya laki-laki yang memenuhi syarat menjadi hakim dalam Islam. Pandangan ini juga dipengaruhi oleh struktur sosial dan budaya masyarakat Islam pada masa beliau. Telaah terhadap pandangan Imam Ahmad bin Hanbal perlu dilihat secara kontekstual agar tidak menimbulkan kesimpulan hukum yang kaku di masa kini. Pemahaman terhadap maqashid syariah dan perubahan sosial harus menjadi pertimbangan dalam menetapkan hukum kontemporer.

Baca juga: Jejak Khawarij dalam Konteks Modern: Tantangan dan Solusi bagi Umat Islam

Dapat disimpulkan bahwa dalam perspektif Imam Ahmad bin Hanbal, perempuan tidak diperbolehkan menjadi hakim dalam kondisi apapun. Larangan ini didasarkan pada pemahaman terhadap surah An-Nisa ayat 34 dan hadis Nabi yang menunjukkan bahwa kepemimpinan merupakan tanggung jawab laki-laki.

Menurut beliau, jabatan hakim termasuk bagian dari kepemimpinan publik yang memerlukan kecerdasan, ketegasan, serta keterlibatan dalam ruang-ruang yang mayoritas dihadiri laki-laki, yang dikhawatirkan menimbulkan fitnah.

Penulis: Ahmad Hawasi, Dosen serta Aisya Humaira, Nafilah  Salsabila Kurniawati, Shafarina Putri, Mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta

Tonton podcast Milenianews yang menghadirkan bintang tamu beragam dari Sobat Milenia dengan cerita yang menghibur, inspiratif serta gaul hanya di youtube MileniaNews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *